A.Pendahuluan
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya...
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa nggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.
B. Fungsi Bahasa
Lebih dahulu marilah kita berdiskusi tentang fungsi atau peranan. Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan fungsionalisme."Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang. Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara. Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
C. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yangtanpa arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".
Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.
Mengenai apa itu simbol maka bisa kita rujuk pendapat dari William A. Folley (1997: 26); "A simbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.
TVRI bisa jadi dianggap sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia karena dia mampu menyebarkan informasi dengan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok negara. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang berbeda etnis maupun bahasa ibu, sebagai bahasa resmi kenegaraan termasuk bahasa dokumen atau arsip maupun buku-buku pelajaran di sekolah, dan bahasa resmi bagi penyebaran informasi di media massa. TVRI memiliki makna mendalam karena dia dihubungkan dengan keberadaan bahasa Indonesia maupun keberadaan bangsa Indonesia. TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis maupun kultural adalah masyarakat majemuk.
Media televisi, terutama dalam siaran berita misalnya TVRI (siaran Dunia dalam Berita, Berita Malam), RCTI (siaran Nuansa Pagi, Buletin Siang), Indosiar (siaran Fokus), SCTV (siaran Liputan 6 pagi, Liputan 6 Siang) dan lain-lain, kalau diamati maka pasti para penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia baku. Akan tetapi dalam berbagai siaran yang lain misalnya berbagai siaran iklan, pertunjukan musik, siaran kuis, atau siaran kesenian maka akan terlihat bahasa pop atau "bahasa gaul" dengan berbagai varian menjadi bahasa pengantar. Di sini bisa dilihat adanya aspek langue (pada bahasa berita) sekaligus adanya aspek parole (pada berbagai siaran yang lain) dalam siaran televisi di Indonesia. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam siaran berita menggunakan bahasa Indonesia baku, sedangkan dalam siaran yang lain menggunakan bahasa pop ? Tentu tidak akan mudah untuk menjawabnya secara rasional, sistematis, dan jernih. Fenomena bahasa berita di media televisi ini menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa berita bisa meng-hegemoni sebagian masyarakat pemirsa televisi sehingga mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan). Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat, beroperasi di wilayah publik serta wilayah domestik.
Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, di mana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasaan dominasi itu dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan dominasi karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemegang dominasi.
Bahasa siaran berita televisi beroperasi pada wilayah hegemoni, akan tetapi pada saat tertentu juga beroperasi pada wilayah dominasi. Contoh dari dominasi ini adalah saat sang pembaca berita memerintahkan kepada pemirsa, "Jangan kemana-mana dulu karena kami akan hadir lagi setelah jeda iklan berikut ini" atau "Tetaplah bersama saluran kami". Kalimat-kalimat imperatif dan "tembak langsung" ini sering kita jumpai pada siaran berita di televisi. Di dalam membacakan berita maupun format penghadiran berita maka juga bisa dilihat adanya aspek seni. Sentuhan seni ini juga menjadi daya tarik khalayak untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Dari sini terlihat, seni telah dimanfaatkan oleh para pembaca berita pada siaran televisi untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang berhubungan dengan informasi kepada khalayak pemirsa televisi. Mengenai makna seni, maka dapat diperhatikan pendapat dari Taufik Abdullah, "…pada tahap awal seni adalah suatu pilihan dari berbagai cara untuk melukiskan dan mengkomunikasikan sesuatu. Tentu saja setiap bentuk seni sesungguhnya adalah perkembangan dari cara-cara yang biasa dilakukan dalam hidup manusia--sajak tentu berawal dari ucapan, dan tarian tentu berawal dari gerakan" (Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11). Keinginan para pembaca berita di televisi untuk mendapat perhatian dan tawaran ketertarikan menyaksikan berita, dikomunikasikan kepada masyarakat pemirsa melalui seni membaca berita. Seni menjadi media yang dimanfaatkan untuk menghadirkan pesona siaran berita.
D. Integrasi Sosial
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Ernst Cassirer (1987: 186) mengatakan bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidahkaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya". Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu.
Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial. Langue yang memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu menjadi media integrasi sosial lewat siaran berita televisi. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara langue juga bisa bersifat politis. Seperti yang ditulis oleh Eriyanto, "Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan bahasa, sastra, dan kebudayaan. Pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun 1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah. Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau 'pemakaian bahasa yang baik dan benar'. Perundangan kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa bahasa harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar" (Eriyanto, 2000; 74-75). Langkah pemerintah itu bisa jadi adalah usaha untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia lewat kebijakan bahasa Indonesia. Kebijakan ini tentu berdampak terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat karena bahasa Indonesia yang dibakukan kemudian menjadi referensi tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulisan dalam berbagai surat keputusan, surat- menyurat resmi, arsip-arsip birokrasi, acara protokoler, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, siaran-siaran resmi di televisi atau di radio adalah realitas sosial yang secara langsung akan mengikuti kebijakan bahasa oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini bukannya berjalan mulus tanpa hambatan.
Sebagian kaum akademisi secara kritis dan tajam mengoreksi kebijakan bahasa dari pemerintah ini. Contoh dari mereka ini adalah Virginia Matheson Hooker dan Ariel Heryanto, yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah salah satu bentuk manipulasi pemerintah untuk mengukuhkan kekuasaan terhadap rakyat. Bahasa yang baik dan benar bisa dianggap sebagai simbol adanya pusat kebenaran yang harus memiliki kewibawaan, di mana semua kebijakannya harus ditaati oleh masyarakat. Bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh pemerintah, sedangkan yang digunakan oleh masyarakat adalah sebaliknya, sehingga masyarakat harus mengikuti pusat kebenaran yaitu pemerintah.
Pembakuan bahasa, oleh kalangan pengritik juga dianggap sebagai pengingkaran terhadap dinamika sosial-masyarakat sebab bahasa adalah bagian dari sebuah dinamika sosial-masyarakat yang sifatnya natural (alamiah). Dari hal ini kita bisa melihat bahwa fenomena bahasa Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik dalam kehidupan bernegara. Bahasa Indonesia yang diposisikan sebagai bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia secara otomatis telah menciptakan fenomena bahasa berdampingan dengan fenomena politik, dalam hal ini adalah politik kebahasaan. Mengenai bahasa yang identik dengan dinamika sosial-masyarakat ini juga bisa kita telah dari pandangannya de
Saussure (1996; 361) bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol dan mudah diamati dari suatu masyarakat.
Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-perbedaan. Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat di Indonesia, maka bahasa Indonesia yang digunakan pada masa perjuangan tahun 1945-1949 memiliki karakter heroik, sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru bahasa Indonesia karakternya sarat dengan eufemisme atau penghalusan kata untuk menyembunyikan makna yang sesungguhnya.
Lain lagi karakter bahasa Indonesia pada masa puncak reformasi tahun 1998 hingga 1999 yang syarat dengan hujatan, caci-maki, dan pembongkaran aib mantan penguasa. Fenomena kebahasaan pada tahun 1998-1999 itu bisa disaksikan pada berbagai liputan berita (bukan pembacaan siaran berita--pen) stasiun-stasiun televisi tentang peristiwa yang terjadi di lapangan. Begitu cepatnya berita-berita tentang kerusuhan sebagai ekses proses peralihan kekuasaan di Jakarta dan beberapa kota di Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.Pada sisi kecepatan penyampaian berita sehingga menyebar kepada masyarakat Indonesia, juga bisa dilihat bahwa siaran berita televisi bisa menjadi media pembangun integrasi sosial karena masyarakat luas tidak tersekat atau terpisahkan oleh ruang dan waktu. E. Kesimpulan Pada bagian ini dengan memperhatikan uraian di muka dapatlah ditarik sebuah benang merah yang berupa kesimpulan. Dengan mengambil kasus siaran berita yang menggunakan bahasa Indonesia baku pada stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI maupun stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Metro TV dan lain-lain maka tulisan ini telah berusaha mengkaji fenomena bahasa dan dinamika masyarakat di Indonesia.
Bahasa Indonesia baku yang digunakan dalam siaran berita berbagai stasiun televisi tersebut telah menjadi salah satu media integrasi sosial bangsa Indonesia. Siaran berita dengan bahasa Indonesia baku ini merupakan aspek langue dari kajian tentang siaran televisi. Langue beroperasi pada wilayah sosial dan bukannya pada wilayah individual, sehingga langue bisa disebut sebagai fakta sosial. Bahasa dan dinamika masyarakat adalah fenomena yang bersifat natural, akan tetapi bisa juga berubah menjadi fenomena politis karena adanya campur tangan dari penguasa. Bahasa kemudian dijadikan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan lebih jauh lagi adalah untuk mengokohkan kekuasaan atau malah untuk mewujudkan integrasi sosial. Integrasi sosial bisa juga terjadi karena adanya identitas kebersamaan yang bisa menjadi pembeda dengan entitas sosial yang lain, yang kadang-kadang diikuti oleh kebanggaan terhadap entitas sendiri dan tidak jarang mengganggap remeh entitas sosial yang lain. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial.
Semiotika Alquran yang Membebaskan
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
***
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.
***
Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.
Berkenalan Dengan Post Strukturalisme
Pengantar singkat wacana post strukturalisme dalam kesusasteraan
Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure* bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan.
Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).
Derrida menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan “penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**-nya ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya pada New Criticsm.
Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik sastra.
Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual bahasa dan makna secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis.
Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
De Man berpendapat bahwa ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.Edward W Said menerima pandangan post strukturalis tapi menolak pada apa yang dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui dimensi sosial dan politis teks.
Catatan:
* Ferdinand de Saussure, 1857-1913, dari sinilah kemudian berkembang “gerakan” strukturalisme Prancis. Sebagaimana filsuf Prancis sezamannya, filsafat Derrida tak lepas dari linguistik, terutama linguistik modern yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure.
** Konsep dekonstruksinya (Derrida sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya) telah mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana pemikiran filsafat kontemporer seperti struturalisme, pascastrukturalisme, pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).
MAKNA LEKSIKAL DARI SUDUT PANDANG SINGKRONIK DAN DIAKRONIK
Dapat dibedakan tiga komponen dalam makna leksikal (Maslov, 1987): (a)hubungan dengan denotasi; (b) hubungan dengan kategori logik; (c) hubungandengan makna konseptual dan makna konotatif dengan perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Masalah penting semantik sinkronik merujuk kepada hubungan makna pusat dan makna pinggiran. Beberapa banyak ahli bahasa berbicara tentang makna bebas dan makna bersandar. Saya mengikut penggunan ini karena ia nampaknya mencerminkan hakikat sebenarnya. Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil
perkembangan yang panjang. Kajian perkembangan ini merupakan masalah utama semantik sejarah dan diakronik.Satu dari pada hukum umum yang terkenal dalam perkembangan semantik ialah perubahan dari pada konkrit kepada abstrak. Dalam tulisan ini beberapa contoh dari pada bahasa Bulgaria, Rusia, Iran, Greek, dan sebagainya.
Teori Ferdinand de Saussure penting secara asasi bagi perkembangaan semantik. Pertama karena adanya konsepsi beliau tentang tanda linguistik. Makna merupakan ramuan yang perlu bagi tanda linguistik, signifie lawan 'auditif atau akustik imej', yaitu Signifiant. Hari ini terdapat beberapa takrifan makna yang berlainan, tetapi Saussure tidak boleh diabaikan. Satu lagi sumbangan teori linguistic Saussure merujuk kepada pertimbangan bahasa dari sudut pandangan sinkronik dan diakronik. Kesahihan dikotomi ini diketahui untuk semua aras bahasa, termasuk aras semantik.
Masalah yang berikut, yang telah diselediki secara intensif oleh ahli bahasa ahli psikologi, ahli falsafah, dansebagainya, tergolong dalam aras sinkronik :
(1). Sifat makna sebagai fenomena linguistik dan hubungannya dengan konsep
sebagai kategori logikal;
(2). Hubungan makna leksikal lawan makna struktural (atau tatabahasa); makna leksikal dan rujukan dalam masalah kata nama, kata kerja, kata sifat, adverba, (yang dinamakan Offene klasse "kelas terbuka") dan dalam masalah makna struktural yang dikaitkan dengan kelas tertutup kategori tatabahasa dan hubungan (kasus, modus, aspek, bandingan, dan sebagainya);
(3). Hubungan semantik perkataan (yaitu; semantik leksikal Wortsemantik) dengan semantik kalimat;
(4). Kategori semantik dalam rangka kerja morfosintaksis.
(5). Masalah polisemi dan perkataan.
Topik tulisan ini terbatas pada makna leksikal. Antara takrif berlainan idea ini, saya mengikut takrif yaug diberikan oleh ahli bahasa Soviet, Maslov (1987:90): "Rujukan terhadap satu kandugan tertentu, yaug spesifik bagi satu perkataan hanya sebagai perbedaan dengan semua perkataan lain, dinamakan makna leksikal". Seperti yang kita ketahui, makna leksikal biasanya sarna dalam semua bentuk tatabahasa (dalam semua aloleks) perkataan termasuk bentuk analitis atau deskriptif, yaitu ia tergolong dalam leksem.
2003 Digital by USU digital library 2
Menurut Maslov (1987:91) kita dapat membedakan tiga komponen dalam
makna leksikal :
(1). Hubungan dengan denotasi. Inilah yang dinamakan rujukan objek perkataan (bahasa Rusia : predmetnaja otuesennost' slova);
(2). Hubungan dengan kategori logik, terutama dengan konsep, yaitu rujukan konsep (bahasa Rusia : ponjatijnaja otnesennost');
(3). Hubungan dengan makna konseptual dan makna konotatif perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Aspek makna ini kadangkala dinamakan valeur dalam bahasa Prancis (bahasa Rusia : znacimost').
Suatu masalah penting semantik sinkronik memperkatakan hubungan makna pokok (asas) (Hauptbedutung) dan makna skunder tambahan yang sisian (pinggiran) (bahasa Rusia : vtorostepennoje, dopolnitel'noje znacenie). Hjelmslev (1961 : 28) mendakwa bahwa tidak ada tanda yang mempunyai makna "dalam pengasingan mutlak". Menurut beliau makna berasal pertamanya dalam konteks situasi atau konteks eksplisit. Pandangan yang bertentangan dipegang oleh kebanyakan ahli bahasa, yaitu bahwa perkataan mempunyai makna teras atau makna asas dalam sistem bahasa bebas dari pada konteks (bahasa Jerman: kontextunabhängig). Lihat Kurylowicz (1955), Pike (1960), Harmann (1965), Ullman (1967), Brekle (1972), dan sebagainya Maslov (1987 : 102-103) berbicara tentang makna bebas perkataan dan makna bersandar masing-masing, dengan makna yang kemudian terjadi dalam teks. Saya bersetuju dengan analisis ini yang nampaknya mencerminkan hakikat yang sebenarnya. Sebagai contoh, jika kita mendengar perkataan Inggeris apple, street, go, window di luar teks, kita dapat menentukan makna leksikal masing-masing kata tanpa ragu-ragu, yang berupa makna asas (pokok). Yang sama juga benar bagi perkataan Rusia yang sepadan jabloko "apple", ulica "street", itti" go", okno "window". Bagaimanapun ada masalah apabila makna asa perkataan Inggeris tidak dapat dipahami tanpa konteks, sebagai contoh, green (adj. atau Subst) ketimbang perkataan Rusia zel'onyj "green", yang berautonomi dari segi semantik.
Struktur semantik perkataan, yang kita boleh katakan sebagai semen, mewakili kuantiti makna (alosem), makna asas dan makna sebilangan makna terbitan. Semen sepadan dengan leksem sebagai mikrokosme pada paksi paradigma. Dalam parole, semen direalisasikan bersama-sama alosem. Huraian semen tergolong dalam semantik sinkronik. Satu kaedah huraian adalah analisis komponen, yang didasarkan pada prinsip logik. Kaedah huraian semen belum lagi digunakan dalam kamus.
Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil perkembangan yang panjang, melewati beberapa abad. Kajian perkembangan ini merupakan tugas utama semantik sejarah, atau kajian perubahan makna mengikut masa. Dalam peristilahan Saussure ini dinamakan semantik diakronik. Sebenarnya semantik diakronik berkaitan dengan perkembangan semen perkataan individu. Semantik sejarah berkaitan dengan perkembangan subsistem semantik. Adalah menakjubkan bahwa istilah semantik pertama kali digunakan untuk merujuk kepada perkembangan dan perubahan makna. Disini saya ingin memperlihatkan masalah penting semantik sejarah sehubungan dengan linguisti umum: adakah terdapat hukum-hukum umum dalam perkembangan semantik atau tidak? Ia merupakan perkara remeh untuk menyebutkan perubahan makna dari pada konkrit kepada abstrak. Sebagai contoh bahasa Bulgaria griza "care", dari pada griz'a "nibble"; bahasa Iran Kuno suxra "red" memberikan akar suk- "fire'; to burn (Abaev, 1956: 292); Bulgaria Kuno goresti "bitterness", bahasa Bulgaria gorest "sorrow" kepada akar gor- dalam bahasa Bulgaria Kuno ,goresti to burn", dan akar yang sama dalam bahasa Bulgaria gorak "bitter", bahasa Rusia gor'kij, bahasa Serbo-Cr. gorak. Dalam bahasa Bulgaria gorak juga bermaksud "misereble, por, unfortunate", Osset. Arf
2003 Digital by USU digital library 3
"deep" kepada Iran Kuno *apra- dari pada ap- "water", dengan itu "depth" ("water depth"; bahasa Rusia krutoj "steep" kepada Lit. krantas "river bank" (Abaev, 1956 : 292). Contoh-contoh ini juga menunjukan kepada kekoherenan sempit antara semantik diakronik dengan etimologi. Salah satu tugas etimologi adalah untuk menemukan sufat yang bertindak sebagai kelahiran sesuatu perkataan, yaitu apa yang dinamakan makna etimologi (dalam peristilahan golongan Neogramarian dieinnere Form). Sebagai contoh, lit. karve "caw", Bulgaria Kuno krava Bulgaria krava, "caw", bahasa Poland Kuno karw (krwo-s) "old ox" mengandungi akar I.E. *ker- "upper part of the body; head; horn; summit". Antara makna terbina semula ini kita menemukan "horn" dan dari pada itu kita sampai kepada "caw", "old ox" atau "stag", hewan bertanduk (bahasa Jerman gehornte Tiere). Bandingkan bahasa Greek keras "horn" dan keraos "with horns".
Makna etimologi telah dibina semula berdasarkan perkataan teratur dalam teks lama bahasa-bahasa Indo-Eropah. Penyelidikan etimologi mesti dalam masalah ini menyingkirkan makna-makna yang mungkin sebagai perkembangan yang sudah lewat. Sebagai contoh, perkataan untuk kata "mother" dalam bahasa-bahasa Indo-Eropah : I.E. *mater, yang berasal dari pada perkataan raban (bahasa Jerman Lallwort) telah mengekalkan makna kata ini ke dalam Olnd. Matar-,Av,-matar -, Greek meter, Dor. mater, Phryg. matar, materan, Lat. Mater (-tris), Bulgaria Tua mati (-ere), OHG muoter, Lett mate, Iran Kuno mathir, Arm. mair; tetapi dalam bahasa Albania, perkataan ti sepadan motre yang bermakna "sister" Coba lihat (Pokorny, 1959 : 700) "die ltere, Mutterstelle vertretende Schwester", dan dalam Lit. mote (Gen. moters) yang mempunyai makna dalam bahasa Ingerisnya adalah "women, and wife" dan juga di dalam bahasa Latinnya yang bermakna dari pada perkataan mater, kata tersebut telah di telusuri mempunyai dua makna yang baru ; yakni "amme" yang di dalam bahasa Inggerisnya mempunyai makna adalah "wet nurse" dan juga mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris dengan sebuah perkataan yakni "source". Jadi keselarian (kesesuaian) semantik sangatlah penting sekali dalam setiap kajian etimologi. Sebagai contoh, di dalam bahasa Inggeris perkataan dari pada "town" setelah diselidiki bahwa kata tersebut mempunyai kaitan dengan bahasa Jerman, yaitu kata tersebut sepadan dengan perkataan yang terdapat di Jerman "zaun", sedangkan makna yang sepadan dengan perkataan di Inggeris adalah sebuah perkataan "fence" dan kata kerjanya setelah diselidiki adalah "zaunen" di dalam bahasa Jerman, juga telah diselidiki di dalam bahasa Inggerisnya perkataan tersebut ketika menjadi sebuah kata kerja menjadi sebuah perkataan "to fence". Sebenarnya ini adalah yang merupakan sebuah makna etimologi atau (die innere Form) yang mana telah penulis jelaskan di atas tadinya. Sebagai suatu tafsiran yang disebut di dalam bahasa Inggris sebuah perkataan dari pada kata "town" setelah diselediki telah mempunyai padanan dan kesamaan semantik yang sangat baik sekali di dalam bahasa Slavik: adalah salah satu dari pada bahasa Bulgaria Kuno dengan perkataannya adalah gradu, yang mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris yakni dari sebuah perkataan yang mempunyai makna yang sama ialah kata "town", sedangkan di dalam bahasa Bulgaria perkataan tersebut sudah dikenal dengan kata grad, dan di dalam bahasa Rusia dikenal dengan perkataan tersebut gorod, yang berarti mempunyai makna di dalam bahasa Inggrisnya adalah juga "town", sedangkan sebagaimana yang tergolong didalam bahasa Bulgaria Konu ograditi adalah masuk ke dalam golongan kata kerja, yang di dalam bahasa Inggrisnya mempunyai makna menjadi "to fence". Ini semua adalah sejarah etimologi dari sebuah perkataan yang ada di daerah Indo-Eropah, dari pada hasil penyelidikan para ahli bahasa khususnya dibidang etimologi pada waktu itu berdasarkan leteratur yang saya ketemukan bahwa penyebab itu semua karena pada Zaman Pertenghan yang mana kota-kota sedang dipagari. Sehingga penyelidikan
2003 Digital by USU digital library 4
mengenai perjalan sejarah etimilogi didaratan Indo-Eropah sangat terhambat untuk dilaksanakan.Kajian tentang makna leksikal adalah salah satu jenis-jenis kajian makna yang ada dasarnya mempunyai andil yang sangat penting. Sebab makna leksikal juga menjadi dasar dari pada perubahan makna yaitu kajian sejarah etimologi bagii setiap perkembangan setiap bahasa yang terdapat di dunia ini. Di dalam kajian makna kita tidak luput dari pada sub bagian yang terpenting sekali, yakni tentang perubahan makna suatu perkataan dalam satu bahasa yang ada. Kita juga dapat melihat perubahan makna tersebut dari apa yang telah dinamakan etimologi rakyat, sebagaimana tanggapan kita tentang etimologi rakyat itu sekarang ini diartikan dengan 'pentafsiran semula'. Di dalam tulisan ini menulis akan memberikan satu contoh perkataan yang berasal dari pada bahasa Latin.
Perkataan yang berasal dari bahasa Latin tersebut para ahli bahasa dan sejarah etimologi adalah sebuah perkataan yang selalu dipergunakan oleh masyarakat setempat, dan telah diselidiki ternyata kata periculum mempunyai persamaan maknanya di dalam bahasa Inggris yakni ; "danger", sedangkan di dalam bahasa Inggris sendiri perkataan tersebut telah mempunyai padanan maknanya yangasalnya bermaksud dengan perkataan "ettempt, trial, venture, experience" dan '" kata-kata tersebut adalah berasal dari pada kata experiri yang mempunyai makna sesungguhnya adalah "to attempt, to try", juga berasal dari kata peritus yang mempunyai makna "competent". Kemudian, perkataan ini dihubungkan sebagai akibat tafsiran kepada perkataan bahasa Latin perire menjadi "perish" dan memperoleh makna baru "danger, a risky business or enterprise". (pisani, 1967: 150-151; terjemahan saya: I.D.).
KESIMPULAN
Kajian makna leksikal dari sudut pandangan singkronik dan diakronik merupakan suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti dalam rangka untuk sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu linguistik dibidang semantik, karena makna leksikal adalah sebagai salah satu asas yang terpenting untuk kajian perubahan makna yang lagi hangat-hangatnya dibidang linguistic (semantik) untuk pengembangan ilmu makna.
semiotik
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut.
Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Ibnu Aqil
Labels
- Artikel (21)
- English (3)
- Filsafat (9)
- Hot News (1)
- Ibnu Aqil (19)
- Karya (7)
- Kolom Sastra (1)
- Makalah (9)
- Opini (10)
- Pengetahuan (9)
- Perjuangan (20)
- Rayon (19)
- Sejarah (6)
- tugas Aqilians All (4)
Blog Archive
-
▼
2010
(26)
-
▼
Oktober
(14)
- Merawat dan Menindaklanjuti; Pekerjaan tersulit
- "Writing" assignment by: Ilham Efendy Aqilians
- Cara Kerja Ilmu Kemanusian
- Cara Kerja Ilmu Hayat
- Cara Kerja Ilmu Alam
- Cara Kerja Ilmu Empiris
- FILSAFAT ILMU
- Bahasa dan Dinamika Masyarakat : Sebuah Wacana Ten...
- NILAI DASAR PERGERAKAN (NDP) PERGERAKAN MAHASISWA ...
- Sejarah FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA
- Siapa Socrates Sebenarnya??
- Kreativitas sangat dekat hubungannya dengan proses...
- Tanpa judul
- Perjuangan Dalam Hidup
-
▼
Oktober
(14)
Diberdayakan oleh Blogger.
Selasa, 05 Oktober 2010
Bahasa dan Dinamika Masyarakat : Sebuah Wacana Tentang Identitas Kebersamaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar