Ibnu Aqil
Labels
- Artikel (21)
- English (3)
- Filsafat (9)
- Hot News (1)
- Ibnu Aqil (19)
- Karya (7)
- Kolom Sastra (1)
- Makalah (9)
- Opini (10)
- Pengetahuan (9)
- Perjuangan (20)
- Rayon (19)
- Sejarah (6)
- tugas Aqilians All (4)
Blog Archive
Diberdayakan oleh Blogger.
Rabu, 29 Desember 2010
Label:
Ibnu Aqil,
Karya,
Perjuangan,
Rayon,
tugas Aqilians All
Selasa, 28 Desember 2010
Wacana Islam dan Kekerasan
Oleh Moh. Isomuddin Aqilians (Sapu Jagad)
Abstract
In recent times, Muslim societies have been plagued by many events that have stuck the world as offensive and even shocking. This has reached the extent that one finds that Islamic culture has become associated with harshness and cruelty in the popular. When one interacts with people from different part of the world, one consistently finds that the image of Islam is not that of the humane religion. From this perspective, the event described above ought not to give us pause; it simply becomes yet another inhumane incident in the history of modern Islam that borders on the incomprehensible and insane. Placed in the context of many other morally offensive events, such us The Satanic Verses and the death sentence against Salman Rushdie, the treatment of women by Taliban, the destruction of the Buddha statues in Afghanistan, the sexual violation of domestic workers in Saudi Arabia, the excommunication writers in Egypt, and the killing of civilians in terrorist attacks, this event seems to be just another chapter in a long Muslim saga of ugliness.
Pra-wacana: Reorientasi Jihad di Dunia Islam.
Di dunia Islam kini, menurut Karen Armstrong, beberapa kalangan Muslim sangat memperhatikan dua masalah. Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah menurut hukum syari’at, hukum Islam. Kedua hal inilah yang dalam perkembangan Islam selanjutnya memperhadapkan Islam dengan etos revolusioner masyarakat Barat yang mendewakan kebebasan. Perjalanan sejarah itulah yang melahirkan apa yang disebut Armstrong sebagai semangat konservatif dalam Islam.
Semangat konservatif selalu menjadikan masa keemasan sebagai pijakan orientasinya, yaitu masa Nabi Muhammad serta masa al-Khulafa>’ al-Rasyidi>n yang meneruskan kekuasaan politik Nabi. Mereka memerintah masyarakat menurut hukum Islam . Nabi Muhammad adalah seorang rasul, sekaligus pimpinan politik dari jamaahnya. Al-Qur'an yang disampaikannya kepada bangsa Arab pada tahun-tahun awal ke-7. menegaskan bahwa kewajiban utama seorang Muslim adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter. Hal ini menuntut jihad—sebuah kata yang, menurut Armstrong, lebih tepat diterjemahkan sebagai “perjuangan” atau “usaha,” dan bukannya “perang suci,” seperti selama ini dianggap orang-orang Barat. Jihad yang dimaksud di sini adalah mencakup segala bidang: baik bidang spiritual, politik, sosial, pribadi, militer, dan ekonomi. Jika seorang Muslim mampu menata kehidupannya dengan memprioritaskan Tuhan dan perwujudan rencana-Nya bagi kemanusiaan, maka ia akan mendapatkan kemantapan personal dan sosial yang membuat dirinya menyatu dengan Tuhan. Memagari satu wilayah kehidupan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang tidak perlu dijihadkan, sama saja dengan melanggar prinsip tauhid—artinya, sama dengan mengingkari Tuhan. Dari perspektif inilah, kemudian, Armstrong menyimpulkan bahwa bagi seorang Muslim yang taat, politik bisa disamakan dengan sakramen dalam istilah Kristen. Dibahasakan dengan cara yang lebih sederhana, politik adalah aktivitas yang harus disakralkan.
Fundamentalisme Konservatif: Sebuah Tinjauan Historis
Ibarat gelombang, semangat konservatif itu mencapai puncaknya pada tahun 1951—yaitu, ketika karya seorang jurnalis dan politisi Pakistan, Abu> al-A’la> al-Maudu>di> (1903-1979) mulai diterbitkan di Mesir. Al-Maudu>di> khawatir Islam akan dihancurkan. Dia melihat kekuatan Barat yang besar bersatu untuk menghancurkan dan melumatkan Islam. Oleh karena itu, umat Muslim harus melawannya. Dasar ideologi al-Maudu>di> adalah doktrin kedaulatan Tuhan. Hal ini, mungkin, bisa dilihat sebagai operasi kekuatan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam diktum Michel Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.
Al-Maudu>di> meyakini nilai suatu ideologi. Dia menganggap Islam merupakan ideologi revolusioner sebagaimana Fasisme dan Marxisme, tapi memiliki perbedaan penting. Kaum Nazi dan Marxis telah memperbudak manusia lain, sementara Islam berusaha untuk membebaskan manusia dari ketundukan kepada apa pun selain Tuhan. Sebuah negara Islam, menurut al-Maudu>di>, adalah bersifat totaliter, sebab negara menyerahkan segala hal kepada Tuhan. Sebagai seorang ideolog ulung, al-Maudu>di> tidak mengembangkan teori ilmiah yang muskil, melainkan mengeluarkan seruan untuk angkat senjata. Dia menuntut jihad universal, yang dia nyatakan sebagai rukun Islam yang utama.
Al-Maudu>di> hanyalah satu contoh kecil dari sekian banyak umat Muslim yang secara ideologis telah mereduksi Islam menjadi program protes satu-satunya melawan kekuatan-kekuatan dominan sistem dunia modern—termasuk, yang paling nyata, hegemoni Barat . Akan tetapi, dalam perkembangannya, apa yang terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against every man seperti dituturkan Hobbes, melainkan berubah menjadi the war of every civilization against every civilization yang menjadi tesis besar Samuel Huntington—ahli politik ternama dari Universitas Harvard dalam sebuah wawancara dengan majalah Time, 28 Juli 1992. Karena tidak ada lagi “rasionalitas universal” untuk menghakimi siapa yang “benar”, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan cara lain. Alhasil, muncullah pameo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut “universal” yang, pada galibnya, berhubungan dengan klaim kebenaran “final”.
Sejak awal, sebagaimana dalam pelbagai catatan sejarah, kaum Muslim percaya bahwa mereka dibebani tugas misi global. Pada awal tahun 628 M, sebelum penaklukan kota Mekah, Nabi Muhammad memulai kampanyenya—yaitu, melalui penulisan suratnya yang terkenal. Inisiatifnya yang gesit tak lain adalah sebuah ajakan untuk memeluk Islam kepada seluruh raja di Balkan dan Timur tengah, termasuk Herakluis I, Kaisar Bizantium di Konstantinopel; Chosroes II, Syah Sasania Persia di Cteiphon; dan Muqauqis, uskup besar Koptik di Alexandria—surat tersebut tertulis di atas kulit dan, hingga saat ini, masih dipamerkan di Museum Topkapi, Istanbul.
Dalam perkembangannya, sebagaimana penuturan Murad W. Hofmann, “ketakutan” menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan karakter hubungan historis antara Timur dan Barat—termasuk, apa yang mereka rasakan dewasa ini. Semua itu bermula dari penyebaran kilat Islam yang menakjubkan di abad ke-7 hingga abad ke-8. Prajurit Arab yang ada—jumlahnya, selalu hanya dalam kisaran 20-30 ribu personel—dengan semangat keagamaan dan keberanian menantang maut, tidak akan mampu melakukan penyebaran yang mencengangkan ini seandainya penduduk Bizantium dan Persia tidak berserah diri secara berbondong-bondong .
Dunia Kristen di Roma dan Konstantinopel tidak dapat menerima semua fakta ini. Mereka tidak dapat memahami signifikansi Islam dalam konteks sejarah agama-agama; Islam menjadi yang pertama dalam upaya pemulihan agama Kristen—yakni, dengan mengembalikannya ke akar Yudeo-Kristennya . Akan tetapi, Barat mempertahankan klaim atas superioritasnya dengan mengkonstruksi sebuah legenda, yaitu bahwa Islam telah disebarkan dengan “api dan pedang.” Yang digaungkan, salah satunya, tidakkah kaum barbar ini pun telah membakar habis Perpustakaan Alexandria yang terkenal itu? Tuduhan seperti ini, ternyata, berhasil dalam menanamkan ketakutan abadi terhadap Islam. Akhirnya, Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan—sebuah prasangka yang, celakanya, hingga saat ini masih sangat kentara setiap kali media melaporkan kejadian-kejadian di dunia Muslim seperti di Aljazair, Mesir, Palestina, atau Kashmir.
Dalam penelusuran sejarahnya, Hofmann menyebut invasi Turki di Wina sebagai cikal-bakal bagi dikaitkannya Islam dengan kekerasan. Pada masa itu, pasukan Islam Turki menebar ancaman ke seantero Eropa. Kavaleri mereka yang hanya bersenjata ringan, bahkan, berhasil membuat takut wilayah bawah Bavaria di Jerman Selatan . Sejak saat itu, maka wajar sekali bila bangsa Eropa mengaitkan Islam dengan kekerasan. Hofmann menyebut hal itu sebagai memori kolektif—misalnya, ungkapan bahwa sejarah telah memberitahu kita: mereka berbahaya, dan kaum Muslim harus diusir. Memori kolektif inilah yang, pada akhirnya, melegitimasi pasukan Salib untuk membabat umat Islam .
Sejarah 1400 tahun hubungan Islam dengan Barat ditandai oleh masa konfrontasi yang panjang dan menyedihkan. Pada mulanya, Barat memahami Islam sebagai ancaman. Kemudian, selama kira-kira 300 tahun dari pertengahan abad ke-18 hingga abad ke-19, Islam diubah menjadi sebuah problem belaka. Akan tetapi, setelah itu, Islam dinaikkan tingkatannya dengan kembali menjadi sebuah ancaman. William Cantwell Smith, baru-baru ini, menggambarkan memori kolektif itu sebagai sindrom:
“Dalam kasus khusus menyangkut Islam, Barat mewarisi sebentuk antagonisme yang berakar pada seribu tahun silam yang, mengenainya, terdapat sangat sedikit orang yang mengetahui keberlangsungannya (sampai hari ini), begitu pula kedalamannya......Terhadap Islam, Barat terkadang ketakutan, dan selama berabad-abad selalu merasa terancam.....Ketakutan dan kebencian Barat saat ini yang diekspresikan dalam bentuk anti-komunisme relatif melunak, dan masanya sangat pendek, dibandingkan dengan persepsi dan emosi Abad Pertengahan yang anti-Islam yang berlangsung berabad-abad.”
Kesan yang sangat tidak menyenangkan semacam itu, menurut Hofmann, acap kali diperparah oleh pelbagai tindakan Muslim sendiri yang cenderung tidak Islami—sesuatu yang hanya akan membuat orang Barat menggelengkan kepala, dan, akhirnya, citra buruk Islam semakin tak terkendali.
Reaktualisasi Konsep Jihad dan Pencitraan Islam
Berbeda dengan Hofmann yang lebih mencermati aspek citra yang tidak seimbang dan cenderung dibuat-buat oleh Barat, Bruce B. Lawrence lebih menyoroti dari sudut pandang Islam sendiri—yakni, Islam yang bergerak, bereaksi, dan tidak statis. Lawrence mengemukakan bahwa ada tiga gerakan Islam yang berskala luas—yang merupakan pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam yang dipicu oleh ekspansi kolonial Eropa pada abad ke-18 dan k-19—yaitu: revivalisme, reformisme, dan fundamentalisme. Revivalisme adalah reaksi pertamanya. Ketika revivalisme gagal mencapai tujuan jangka panjang, gerakan ini digantikan oleh upaya melakukan reformasi Islam dengan menggandeng gerakan-gerakan nasionalis. Ketika gerakan ini juga tidak membuahkan hasil, barulah muncul gerakan Islam fundamentalis.
Gerakan revivalisme, atau kebangkitan kembali, Islam memperebutkan penguasaan atas komoditas-komoditas penting—tekstil, budak, kopi, teh, rempah-rempah, dan emas—yang diperdagangkan melalui jalur-jalur perdagangan utama dari pantai Atlantik Afrika Barat sampai ke Kepulauan Indonesia. Alhasil, berbicara mengenai Islam revivalis berarti mengakui adanya reaksi ideologis dari kelompok-kelompok kepentingan Muslim tertentu atas kerugian yang mereka alami. Islam pun menjadi simbol perlawanan menghadapi penciutan secara bertahap atas perdagangan internal dan eksternal, yang diakibatkan oleh kegiatan dagang negara-negara maritim Eropa—khususnya: Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis.
Adapun kelompok reformis Islam menekankan pada sains dan teknologi dalam bidang pendidikan, pada struktur konstitusi dan demokrasi parlementer di bidang politik, serta peran perempuan yang ditinjau ulang dalam ranah masyarakat. Kaum reformis identik dengan para pemikir Muslim. Oleh karena itu, jumlah mereka tidak banyak . Pun demikian, hampir selalu terdapat kesenjangan di kalangan internal kaum reformis Muslim, yaitu antara mereka yang tertarik dengan prestasi Eropa—dan memetik manfaatnya, tetapi dikemas dalam ungkapan lokal—dan para penentang mereka, dengan alasan bahwa penyesuaian tidak mungkin dilakukan tanpa kehilangan autentisitas.
Selanjutnya, bila orang bisa menunjukkan substansi dari pemikiran Islam fundamentalis, esensinya tak lain adalah respons keagamaan yang cerdik terhadap keterbatasan nasionalisme Arab yang bergaya sekular . Yang tampak dari kalangan fundamentalis adalah cara mereka mengemas bahasa emosional dalam upaya perlawanan mereka. Penting untuk dicuplik di sini, sebagai sebuah acuan, sebuah kecaman terhadap Barat yang disampaikan oleh Dr. Mohammed Sakr—profesor ekonomi di Universitas Amman, memperoleh gelar Ph.D. ekonomi dari Universitas Harvard, dan anggota cabang Ikhwan al-Muslimin di Yordania. Dalam wawancara di sebuah majalah, Dr. Sakr mengatakan, “Barat anti kita”. Alternatif bagi Barat adalah dunia Islam yang bersatu, yang memungkinkan negara-negara berbagi sumber daya mereka dengan cara saling melengapi. “Baberapa negara seperti Arab Saudi dan Qatar memiliki uang, sementara yang lainnya seperti Yordania dan Mesir memiliki tenaga kerja. Persatuan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semuanya.” Persatuan akan memungkinkan manfaat eksploitasi minyak untuk dibagi bersama karena “saat ini kekayaan dari kawasan ini berada di tangan segelintir Syekh , sementara mayoritas masyarakat tetap miskin.” Ia memperingatkan bahwa pada akhirnya massa akan main hakim sendiri. Lalu, apa yang harus dilakukan Barat? Ada dua hal: pertama, Barat harus memperhatikan bahwa “kita memiliki jutaan orang yang berpendidikan AS yang bukan budak Barat”; dan yang kedua, perusahaan-perusahaan Eropa-Amerika harus berhenti memerah kawasan ini, dan sebaiknya membiarkan warga kawasan ini mengatur dirinya sendiri “tanpa dikte dari Washington, Paris, atau Bonn.” Bentuk tudingan yang berbau kekesalan inilah yang, menurut Lawrence, menggambarkan nuansa wacana yang jamak di kalangan fundamentalis Islam.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, salah satu solusi yang sangat konstruktif, menurut hemat penulis, adalah proposal metodologis yang diajukan oleh Khaled Abou El Fadl—profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat. Abou El Fadl memilih untuk menegosiasikan bentuk-bentuk kekerasan yang sering dipraktikkan kalangan Muslim fundamentalis dengan konsep-konsep al-Qur'an yang anti-kekerasan. Hal ini dipicu oleh anggapan sebagian kalangan non-Muslim di dunia yang, menurut Abou El Fadl, telah menjadikan Islam sebagai simbol tradisi yang bengis—yakni, dengan hanya memberikan tekanan dalam jumlah yang kecil akan belas kasih dan sikap memaafkan terhadap kemanusiaan. Tak berlebihan kiranya tatkala seorang Muslim berinteraksi dengan pelbagai kalangan yang beraneka ragam di dunia ini, kecenderungannya adalah ia akan senantiasa menemukan kesan bahwa agamanya bukanlah agama humanis.
Tidak ada aspek di dalam agama Islam yang begitu mendapat sorotan masyarakat dan semua media melebihi isu jihad dan terorisme . Pada kenyataannya, topik jihad di dalam Islam berdiri di atas fondasi banyaknya pernyataan tentang kemampuan Islam untuk hidup bersama dan bekerja sama dengan kaum non-Muslim. Sekalipun terdapat tulisan-tulisan perihal topik tersebut, namun apa yang masih menimbulkan teka-teki adalah bagaimana sedemikian banyak umat Islam memahami doktrin tersebut secara begitu berbeda. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi bahwa banyak dari apa yang ditulis tentang jihad itu kurang berwawasan atau buruk. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri pula bahwa khususnya di era modern ini, pernyataan-pernyataan dan perilaku orang Islam telah menjadikan konsep jihad kian membingungkan dan bahkan kacau-balau.
Abou El Fadl sendiri berpendapat bahwa jihad merupakan prinsip utama dalam akidah Islam. Istilah jihad sendiri secara harfiah berarti “berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, dan mempertahankan.” Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimungkinkan tanpa jihad—yaitu, tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, menyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk jihad.
Al-Qur'an tidak menggunakan istilah jiha>d untuk merujuk pada perang atau pertempuran; perang atau pertempuran dirujuk dengan kata qita>l. Sementara al-Qur'an menyebut jihad sebagai mutlak (unconditional) dan tak terbatas (unrestricted), hal yang sama tak berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu yang pada dasarnya baik, sementara qita>l tidak demikian. Setiap acuan di dalam al-Qur'an pada qita>l itu dibatasi oleh kondisi tertentu; tetapi, desakan akan jihad (exhortations to jihad), seperti acuan pada keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat. Pada tiap kesempatan terpisah ketika al-Qur'an mendesak umat Islam untuk berperang, al-Qur'an segera mensyaratkan tuntutan itu dengan sebuah perintah kepada kaum beriman untuk tidak melampaui batas (transgress) , untuk memaafkan, dan mencari perdamaian.
Dalam al-Qur'an disebutkan:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Baqarah [2]: 190).
Abou El Fadl juga menegaskan bahwa justifikasi untuk memerangi non-Muslim secara langsung berbanding lurus dengan ancaman fisik yang mereka tunjukkan kepada umat Islam. Jika kaum non-Muslim tidak mengancam atau hendak merusak umat Islam, maka memerangi mereka tidaklah dibenarkan. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, ketidakimanan atau kekafiran (kufr) bukanlah alasan yang memadai untuk memerangi mereka karena pada dasarnya mengakhiri hidup manusia itu tidaklah dibenarkan .
Kesimpulan
Di zaman ketika wibawa agama mulai goyah—dan hidup dalam agama, tampaknya, menjadi laku yang tegang—kita memerlukan sebuah halte kecil untuk sejenak berpikir, berdialog, dan berusaha untuk menggali kearifan moral di dalam ajaran agama. Bukankah Nabi Muhammad SAW, sang penerima wahyu Islam, diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam? Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita dapat menampilkan Islam sebagai agama rahmat itu sendiri.
Proposal metodologis yang ditawarkan Khaled Abou Fadl, misalnya, barangkali memang sudah semestinya kita terjemahkan ke dunia praktis. Interpretasi konsep jihad memang tengah mendesak untuk dinegosiasikan dengan konsep-konsep lain yang juga bersumber dari al-Qu’an, seperti konsep shulh} (perdamaian), ma’ruf (toleransi), salam (ketentraman), dan lain sebagainya.
Akhirnya, wallahu A’lam bi al-shawab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui akan kebenaran yang sejati.
Read More..
Abstract
In recent times, Muslim societies have been plagued by many events that have stuck the world as offensive and even shocking. This has reached the extent that one finds that Islamic culture has become associated with harshness and cruelty in the popular. When one interacts with people from different part of the world, one consistently finds that the image of Islam is not that of the humane religion. From this perspective, the event described above ought not to give us pause; it simply becomes yet another inhumane incident in the history of modern Islam that borders on the incomprehensible and insane. Placed in the context of many other morally offensive events, such us The Satanic Verses and the death sentence against Salman Rushdie, the treatment of women by Taliban, the destruction of the Buddha statues in Afghanistan, the sexual violation of domestic workers in Saudi Arabia, the excommunication writers in Egypt, and the killing of civilians in terrorist attacks, this event seems to be just another chapter in a long Muslim saga of ugliness.
Pra-wacana: Reorientasi Jihad di Dunia Islam.
Di dunia Islam kini, menurut Karen Armstrong, beberapa kalangan Muslim sangat memperhatikan dua masalah. Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah menurut hukum syari’at, hukum Islam. Kedua hal inilah yang dalam perkembangan Islam selanjutnya memperhadapkan Islam dengan etos revolusioner masyarakat Barat yang mendewakan kebebasan. Perjalanan sejarah itulah yang melahirkan apa yang disebut Armstrong sebagai semangat konservatif dalam Islam.
Semangat konservatif selalu menjadikan masa keemasan sebagai pijakan orientasinya, yaitu masa Nabi Muhammad serta masa al-Khulafa>’ al-Rasyidi>n yang meneruskan kekuasaan politik Nabi. Mereka memerintah masyarakat menurut hukum Islam . Nabi Muhammad adalah seorang rasul, sekaligus pimpinan politik dari jamaahnya. Al-Qur'an yang disampaikannya kepada bangsa Arab pada tahun-tahun awal ke-7. menegaskan bahwa kewajiban utama seorang Muslim adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter. Hal ini menuntut jihad—sebuah kata yang, menurut Armstrong, lebih tepat diterjemahkan sebagai “perjuangan” atau “usaha,” dan bukannya “perang suci,” seperti selama ini dianggap orang-orang Barat. Jihad yang dimaksud di sini adalah mencakup segala bidang: baik bidang spiritual, politik, sosial, pribadi, militer, dan ekonomi. Jika seorang Muslim mampu menata kehidupannya dengan memprioritaskan Tuhan dan perwujudan rencana-Nya bagi kemanusiaan, maka ia akan mendapatkan kemantapan personal dan sosial yang membuat dirinya menyatu dengan Tuhan. Memagari satu wilayah kehidupan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang tidak perlu dijihadkan, sama saja dengan melanggar prinsip tauhid—artinya, sama dengan mengingkari Tuhan. Dari perspektif inilah, kemudian, Armstrong menyimpulkan bahwa bagi seorang Muslim yang taat, politik bisa disamakan dengan sakramen dalam istilah Kristen. Dibahasakan dengan cara yang lebih sederhana, politik adalah aktivitas yang harus disakralkan.
Fundamentalisme Konservatif: Sebuah Tinjauan Historis
Ibarat gelombang, semangat konservatif itu mencapai puncaknya pada tahun 1951—yaitu, ketika karya seorang jurnalis dan politisi Pakistan, Abu> al-A’la> al-Maudu>di> (1903-1979) mulai diterbitkan di Mesir. Al-Maudu>di> khawatir Islam akan dihancurkan. Dia melihat kekuatan Barat yang besar bersatu untuk menghancurkan dan melumatkan Islam. Oleh karena itu, umat Muslim harus melawannya. Dasar ideologi al-Maudu>di> adalah doktrin kedaulatan Tuhan. Hal ini, mungkin, bisa dilihat sebagai operasi kekuatan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam diktum Michel Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.
Al-Maudu>di> meyakini nilai suatu ideologi. Dia menganggap Islam merupakan ideologi revolusioner sebagaimana Fasisme dan Marxisme, tapi memiliki perbedaan penting. Kaum Nazi dan Marxis telah memperbudak manusia lain, sementara Islam berusaha untuk membebaskan manusia dari ketundukan kepada apa pun selain Tuhan. Sebuah negara Islam, menurut al-Maudu>di>, adalah bersifat totaliter, sebab negara menyerahkan segala hal kepada Tuhan. Sebagai seorang ideolog ulung, al-Maudu>di> tidak mengembangkan teori ilmiah yang muskil, melainkan mengeluarkan seruan untuk angkat senjata. Dia menuntut jihad universal, yang dia nyatakan sebagai rukun Islam yang utama.
Al-Maudu>di> hanyalah satu contoh kecil dari sekian banyak umat Muslim yang secara ideologis telah mereduksi Islam menjadi program protes satu-satunya melawan kekuatan-kekuatan dominan sistem dunia modern—termasuk, yang paling nyata, hegemoni Barat . Akan tetapi, dalam perkembangannya, apa yang terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against every man seperti dituturkan Hobbes, melainkan berubah menjadi the war of every civilization against every civilization yang menjadi tesis besar Samuel Huntington—ahli politik ternama dari Universitas Harvard dalam sebuah wawancara dengan majalah Time, 28 Juli 1992. Karena tidak ada lagi “rasionalitas universal” untuk menghakimi siapa yang “benar”, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan cara lain. Alhasil, muncullah pameo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut “universal” yang, pada galibnya, berhubungan dengan klaim kebenaran “final”.
Sejak awal, sebagaimana dalam pelbagai catatan sejarah, kaum Muslim percaya bahwa mereka dibebani tugas misi global. Pada awal tahun 628 M, sebelum penaklukan kota Mekah, Nabi Muhammad memulai kampanyenya—yaitu, melalui penulisan suratnya yang terkenal. Inisiatifnya yang gesit tak lain adalah sebuah ajakan untuk memeluk Islam kepada seluruh raja di Balkan dan Timur tengah, termasuk Herakluis I, Kaisar Bizantium di Konstantinopel; Chosroes II, Syah Sasania Persia di Cteiphon; dan Muqauqis, uskup besar Koptik di Alexandria—surat tersebut tertulis di atas kulit dan, hingga saat ini, masih dipamerkan di Museum Topkapi, Istanbul.
Dalam perkembangannya, sebagaimana penuturan Murad W. Hofmann, “ketakutan” menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan karakter hubungan historis antara Timur dan Barat—termasuk, apa yang mereka rasakan dewasa ini. Semua itu bermula dari penyebaran kilat Islam yang menakjubkan di abad ke-7 hingga abad ke-8. Prajurit Arab yang ada—jumlahnya, selalu hanya dalam kisaran 20-30 ribu personel—dengan semangat keagamaan dan keberanian menantang maut, tidak akan mampu melakukan penyebaran yang mencengangkan ini seandainya penduduk Bizantium dan Persia tidak berserah diri secara berbondong-bondong .
Dunia Kristen di Roma dan Konstantinopel tidak dapat menerima semua fakta ini. Mereka tidak dapat memahami signifikansi Islam dalam konteks sejarah agama-agama; Islam menjadi yang pertama dalam upaya pemulihan agama Kristen—yakni, dengan mengembalikannya ke akar Yudeo-Kristennya . Akan tetapi, Barat mempertahankan klaim atas superioritasnya dengan mengkonstruksi sebuah legenda, yaitu bahwa Islam telah disebarkan dengan “api dan pedang.” Yang digaungkan, salah satunya, tidakkah kaum barbar ini pun telah membakar habis Perpustakaan Alexandria yang terkenal itu? Tuduhan seperti ini, ternyata, berhasil dalam menanamkan ketakutan abadi terhadap Islam. Akhirnya, Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan—sebuah prasangka yang, celakanya, hingga saat ini masih sangat kentara setiap kali media melaporkan kejadian-kejadian di dunia Muslim seperti di Aljazair, Mesir, Palestina, atau Kashmir.
Dalam penelusuran sejarahnya, Hofmann menyebut invasi Turki di Wina sebagai cikal-bakal bagi dikaitkannya Islam dengan kekerasan. Pada masa itu, pasukan Islam Turki menebar ancaman ke seantero Eropa. Kavaleri mereka yang hanya bersenjata ringan, bahkan, berhasil membuat takut wilayah bawah Bavaria di Jerman Selatan . Sejak saat itu, maka wajar sekali bila bangsa Eropa mengaitkan Islam dengan kekerasan. Hofmann menyebut hal itu sebagai memori kolektif—misalnya, ungkapan bahwa sejarah telah memberitahu kita: mereka berbahaya, dan kaum Muslim harus diusir. Memori kolektif inilah yang, pada akhirnya, melegitimasi pasukan Salib untuk membabat umat Islam .
Sejarah 1400 tahun hubungan Islam dengan Barat ditandai oleh masa konfrontasi yang panjang dan menyedihkan. Pada mulanya, Barat memahami Islam sebagai ancaman. Kemudian, selama kira-kira 300 tahun dari pertengahan abad ke-18 hingga abad ke-19, Islam diubah menjadi sebuah problem belaka. Akan tetapi, setelah itu, Islam dinaikkan tingkatannya dengan kembali menjadi sebuah ancaman. William Cantwell Smith, baru-baru ini, menggambarkan memori kolektif itu sebagai sindrom:
“Dalam kasus khusus menyangkut Islam, Barat mewarisi sebentuk antagonisme yang berakar pada seribu tahun silam yang, mengenainya, terdapat sangat sedikit orang yang mengetahui keberlangsungannya (sampai hari ini), begitu pula kedalamannya......Terhadap Islam, Barat terkadang ketakutan, dan selama berabad-abad selalu merasa terancam.....Ketakutan dan kebencian Barat saat ini yang diekspresikan dalam bentuk anti-komunisme relatif melunak, dan masanya sangat pendek, dibandingkan dengan persepsi dan emosi Abad Pertengahan yang anti-Islam yang berlangsung berabad-abad.”
Kesan yang sangat tidak menyenangkan semacam itu, menurut Hofmann, acap kali diperparah oleh pelbagai tindakan Muslim sendiri yang cenderung tidak Islami—sesuatu yang hanya akan membuat orang Barat menggelengkan kepala, dan, akhirnya, citra buruk Islam semakin tak terkendali.
Reaktualisasi Konsep Jihad dan Pencitraan Islam
Berbeda dengan Hofmann yang lebih mencermati aspek citra yang tidak seimbang dan cenderung dibuat-buat oleh Barat, Bruce B. Lawrence lebih menyoroti dari sudut pandang Islam sendiri—yakni, Islam yang bergerak, bereaksi, dan tidak statis. Lawrence mengemukakan bahwa ada tiga gerakan Islam yang berskala luas—yang merupakan pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam yang dipicu oleh ekspansi kolonial Eropa pada abad ke-18 dan k-19—yaitu: revivalisme, reformisme, dan fundamentalisme. Revivalisme adalah reaksi pertamanya. Ketika revivalisme gagal mencapai tujuan jangka panjang, gerakan ini digantikan oleh upaya melakukan reformasi Islam dengan menggandeng gerakan-gerakan nasionalis. Ketika gerakan ini juga tidak membuahkan hasil, barulah muncul gerakan Islam fundamentalis.
Gerakan revivalisme, atau kebangkitan kembali, Islam memperebutkan penguasaan atas komoditas-komoditas penting—tekstil, budak, kopi, teh, rempah-rempah, dan emas—yang diperdagangkan melalui jalur-jalur perdagangan utama dari pantai Atlantik Afrika Barat sampai ke Kepulauan Indonesia. Alhasil, berbicara mengenai Islam revivalis berarti mengakui adanya reaksi ideologis dari kelompok-kelompok kepentingan Muslim tertentu atas kerugian yang mereka alami. Islam pun menjadi simbol perlawanan menghadapi penciutan secara bertahap atas perdagangan internal dan eksternal, yang diakibatkan oleh kegiatan dagang negara-negara maritim Eropa—khususnya: Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis.
Adapun kelompok reformis Islam menekankan pada sains dan teknologi dalam bidang pendidikan, pada struktur konstitusi dan demokrasi parlementer di bidang politik, serta peran perempuan yang ditinjau ulang dalam ranah masyarakat. Kaum reformis identik dengan para pemikir Muslim. Oleh karena itu, jumlah mereka tidak banyak . Pun demikian, hampir selalu terdapat kesenjangan di kalangan internal kaum reformis Muslim, yaitu antara mereka yang tertarik dengan prestasi Eropa—dan memetik manfaatnya, tetapi dikemas dalam ungkapan lokal—dan para penentang mereka, dengan alasan bahwa penyesuaian tidak mungkin dilakukan tanpa kehilangan autentisitas.
Selanjutnya, bila orang bisa menunjukkan substansi dari pemikiran Islam fundamentalis, esensinya tak lain adalah respons keagamaan yang cerdik terhadap keterbatasan nasionalisme Arab yang bergaya sekular . Yang tampak dari kalangan fundamentalis adalah cara mereka mengemas bahasa emosional dalam upaya perlawanan mereka. Penting untuk dicuplik di sini, sebagai sebuah acuan, sebuah kecaman terhadap Barat yang disampaikan oleh Dr. Mohammed Sakr—profesor ekonomi di Universitas Amman, memperoleh gelar Ph.D. ekonomi dari Universitas Harvard, dan anggota cabang Ikhwan al-Muslimin di Yordania. Dalam wawancara di sebuah majalah, Dr. Sakr mengatakan, “Barat anti kita”. Alternatif bagi Barat adalah dunia Islam yang bersatu, yang memungkinkan negara-negara berbagi sumber daya mereka dengan cara saling melengapi. “Baberapa negara seperti Arab Saudi dan Qatar memiliki uang, sementara yang lainnya seperti Yordania dan Mesir memiliki tenaga kerja. Persatuan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semuanya.” Persatuan akan memungkinkan manfaat eksploitasi minyak untuk dibagi bersama karena “saat ini kekayaan dari kawasan ini berada di tangan segelintir Syekh , sementara mayoritas masyarakat tetap miskin.” Ia memperingatkan bahwa pada akhirnya massa akan main hakim sendiri. Lalu, apa yang harus dilakukan Barat? Ada dua hal: pertama, Barat harus memperhatikan bahwa “kita memiliki jutaan orang yang berpendidikan AS yang bukan budak Barat”; dan yang kedua, perusahaan-perusahaan Eropa-Amerika harus berhenti memerah kawasan ini, dan sebaiknya membiarkan warga kawasan ini mengatur dirinya sendiri “tanpa dikte dari Washington, Paris, atau Bonn.” Bentuk tudingan yang berbau kekesalan inilah yang, menurut Lawrence, menggambarkan nuansa wacana yang jamak di kalangan fundamentalis Islam.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, salah satu solusi yang sangat konstruktif, menurut hemat penulis, adalah proposal metodologis yang diajukan oleh Khaled Abou El Fadl—profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat. Abou El Fadl memilih untuk menegosiasikan bentuk-bentuk kekerasan yang sering dipraktikkan kalangan Muslim fundamentalis dengan konsep-konsep al-Qur'an yang anti-kekerasan. Hal ini dipicu oleh anggapan sebagian kalangan non-Muslim di dunia yang, menurut Abou El Fadl, telah menjadikan Islam sebagai simbol tradisi yang bengis—yakni, dengan hanya memberikan tekanan dalam jumlah yang kecil akan belas kasih dan sikap memaafkan terhadap kemanusiaan. Tak berlebihan kiranya tatkala seorang Muslim berinteraksi dengan pelbagai kalangan yang beraneka ragam di dunia ini, kecenderungannya adalah ia akan senantiasa menemukan kesan bahwa agamanya bukanlah agama humanis.
Tidak ada aspek di dalam agama Islam yang begitu mendapat sorotan masyarakat dan semua media melebihi isu jihad dan terorisme . Pada kenyataannya, topik jihad di dalam Islam berdiri di atas fondasi banyaknya pernyataan tentang kemampuan Islam untuk hidup bersama dan bekerja sama dengan kaum non-Muslim. Sekalipun terdapat tulisan-tulisan perihal topik tersebut, namun apa yang masih menimbulkan teka-teki adalah bagaimana sedemikian banyak umat Islam memahami doktrin tersebut secara begitu berbeda. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi bahwa banyak dari apa yang ditulis tentang jihad itu kurang berwawasan atau buruk. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri pula bahwa khususnya di era modern ini, pernyataan-pernyataan dan perilaku orang Islam telah menjadikan konsep jihad kian membingungkan dan bahkan kacau-balau.
Abou El Fadl sendiri berpendapat bahwa jihad merupakan prinsip utama dalam akidah Islam. Istilah jihad sendiri secara harfiah berarti “berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, dan mempertahankan.” Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimungkinkan tanpa jihad—yaitu, tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, menyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk jihad.
Al-Qur'an tidak menggunakan istilah jiha>d untuk merujuk pada perang atau pertempuran; perang atau pertempuran dirujuk dengan kata qita>l. Sementara al-Qur'an menyebut jihad sebagai mutlak (unconditional) dan tak terbatas (unrestricted), hal yang sama tak berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu yang pada dasarnya baik, sementara qita>l tidak demikian. Setiap acuan di dalam al-Qur'an pada qita>l itu dibatasi oleh kondisi tertentu; tetapi, desakan akan jihad (exhortations to jihad), seperti acuan pada keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat. Pada tiap kesempatan terpisah ketika al-Qur'an mendesak umat Islam untuk berperang, al-Qur'an segera mensyaratkan tuntutan itu dengan sebuah perintah kepada kaum beriman untuk tidak melampaui batas (transgress) , untuk memaafkan, dan mencari perdamaian.
Dalam al-Qur'an disebutkan:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Baqarah [2]: 190).
Abou El Fadl juga menegaskan bahwa justifikasi untuk memerangi non-Muslim secara langsung berbanding lurus dengan ancaman fisik yang mereka tunjukkan kepada umat Islam. Jika kaum non-Muslim tidak mengancam atau hendak merusak umat Islam, maka memerangi mereka tidaklah dibenarkan. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, ketidakimanan atau kekafiran (kufr) bukanlah alasan yang memadai untuk memerangi mereka karena pada dasarnya mengakhiri hidup manusia itu tidaklah dibenarkan .
Kesimpulan
Di zaman ketika wibawa agama mulai goyah—dan hidup dalam agama, tampaknya, menjadi laku yang tegang—kita memerlukan sebuah halte kecil untuk sejenak berpikir, berdialog, dan berusaha untuk menggali kearifan moral di dalam ajaran agama. Bukankah Nabi Muhammad SAW, sang penerima wahyu Islam, diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam? Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita dapat menampilkan Islam sebagai agama rahmat itu sendiri.
Proposal metodologis yang ditawarkan Khaled Abou Fadl, misalnya, barangkali memang sudah semestinya kita terjemahkan ke dunia praktis. Interpretasi konsep jihad memang tengah mendesak untuk dinegosiasikan dengan konsep-konsep lain yang juga bersumber dari al-Qu’an, seperti konsep shulh} (perdamaian), ma’ruf (toleransi), salam (ketentraman), dan lain sebagainya.
Akhirnya, wallahu A’lam bi al-shawab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui akan kebenaran yang sejati.
Read More..
Label:
Artikel,
English,
Filsafat,
Ibnu Aqil,
Karya,
Makalah,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon
Minggu, 12 Desember 2010
Kepemimpinan “Ideal” ala Shodr al-Islam
Oleh: Dung de Jogle
Ada beberapa hal yang penting namakala berbicara masalah kepemimpinan. Yaitu pemimpin, pola kepemimpinan dan yang dipimpin. Semua orang bisa dan pasti menjadi pemimpin setidaknya memimpin dirinya sendiri. Kullukum ro’in wakullukum mas’ulun an ro’iyyatihi. Akan tetapi, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin yang benar and baik (baca: Ideal). Perlu beberapa syarat dan faktor pendukung. Salah satu dari syarat tersebut adalah adanya team yang mampu dibidangnya.
Keberhasilan rosulullah –jika memang dianggap berhasil- dalam membentuk negara madinah juga tidak bisa lepas dari peranan team yang dalam hal ini adalah sahabat-sahabat Nabi. Sahabat Abu Bakar misalnya, ia sosok yang jujur dan santun, sahabat Umar bin Khottob sosok yang sangat berani, perkasa dan disegani, Utsman bin Affan sosok yang sangat dermawan, dan Ali bin Talib sosok yang cerdas dan progresif dibidang keilmuan. Selain juga para sahabat-sahabat yang lain seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya...
Pada konteks pemerintahan, para sahabat nabi -selain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagai ahli tafsir- memiliki peran penting dalam pemerintahan. Kejujuran Abu Bakar menggambarkan bahwa kepemimpinan dalam sebuah oraganisasi atau negara, harus ada kejujuran antara pemimpin dan yang dipimpin. Yang diawali dengan adanya keterbukaan. Keperkasaan dan keberanian sahabat Umar menggambarkan pertahanan bagi sebuah negara harus kuat dan kokoh. Hal ini untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Kedermawanan Utsman menggambarkan bahwa dalam sebuah negara harus Pro-rakyat. Untuk menjadi bangsa yang mamiliki peradaban yang tinggi, sosok Ali menggambarkan bahwa sebuah bangsa yang maju harus cerdas baik pemimpinnya ataupun yang dipimpin (baca: masyarakat).
Terlepas bahwa rosulullah merupakan insan kamil dan manusia pilihan, disinilah, menurut penulis letak keberhasilan rosulullah dalam mempertahankan dan menciptakan masyarakat yang madani dan negara yang tamaddun. Selain akhlak -yang ada pada dirinya-, rosulullah sadar bahwa bangsa yang beradab dan berdaulat harus memiliki kejujuran, kekuatan, kedermawanan dan kecerdasan.
Akan tetapi, hari ini, muncul permasalahan manakala berbicara kepemimpinan, orang sudah berlomba-lomba untuk “menjadi” pemimpin, bukan “dijadikan” pemimpin, yang berasaskan kepentingan Pribadi atau kelomok tertentu. Bukan berasaskan pada potensi diri dan pondasi-pondasi di atas, harta dan masa yang banyak menjadi senjata utamanya. Sehingga segala cara dilakukan untuk mencapainya, menjadi pemimpin. Sedangkan orang yang “dijadikan” pemimpin, akan selalu berusaha untuk menjadi orang baik, tidak hanya dijadikan orang penting. “Menjadi orang penting itu baik tetapi menjadi orang baik itu jauh lebih penting”, kata orang bijak.
Akhirnya, berangkat dari kepentingan itulah, pola kepemimpinan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan (sempurna). Wallahau a’lam. Read More..
Ada beberapa hal yang penting namakala berbicara masalah kepemimpinan. Yaitu pemimpin, pola kepemimpinan dan yang dipimpin. Semua orang bisa dan pasti menjadi pemimpin setidaknya memimpin dirinya sendiri. Kullukum ro’in wakullukum mas’ulun an ro’iyyatihi. Akan tetapi, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin yang benar and baik (baca: Ideal). Perlu beberapa syarat dan faktor pendukung. Salah satu dari syarat tersebut adalah adanya team yang mampu dibidangnya.
Keberhasilan rosulullah –jika memang dianggap berhasil- dalam membentuk negara madinah juga tidak bisa lepas dari peranan team yang dalam hal ini adalah sahabat-sahabat Nabi. Sahabat Abu Bakar misalnya, ia sosok yang jujur dan santun, sahabat Umar bin Khottob sosok yang sangat berani, perkasa dan disegani, Utsman bin Affan sosok yang sangat dermawan, dan Ali bin Talib sosok yang cerdas dan progresif dibidang keilmuan. Selain juga para sahabat-sahabat yang lain seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya...
Pada konteks pemerintahan, para sahabat nabi -selain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagai ahli tafsir- memiliki peran penting dalam pemerintahan. Kejujuran Abu Bakar menggambarkan bahwa kepemimpinan dalam sebuah oraganisasi atau negara, harus ada kejujuran antara pemimpin dan yang dipimpin. Yang diawali dengan adanya keterbukaan. Keperkasaan dan keberanian sahabat Umar menggambarkan pertahanan bagi sebuah negara harus kuat dan kokoh. Hal ini untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Kedermawanan Utsman menggambarkan bahwa dalam sebuah negara harus Pro-rakyat. Untuk menjadi bangsa yang mamiliki peradaban yang tinggi, sosok Ali menggambarkan bahwa sebuah bangsa yang maju harus cerdas baik pemimpinnya ataupun yang dipimpin (baca: masyarakat).
Terlepas bahwa rosulullah merupakan insan kamil dan manusia pilihan, disinilah, menurut penulis letak keberhasilan rosulullah dalam mempertahankan dan menciptakan masyarakat yang madani dan negara yang tamaddun. Selain akhlak -yang ada pada dirinya-, rosulullah sadar bahwa bangsa yang beradab dan berdaulat harus memiliki kejujuran, kekuatan, kedermawanan dan kecerdasan.
Akan tetapi, hari ini, muncul permasalahan manakala berbicara kepemimpinan, orang sudah berlomba-lomba untuk “menjadi” pemimpin, bukan “dijadikan” pemimpin, yang berasaskan kepentingan Pribadi atau kelomok tertentu. Bukan berasaskan pada potensi diri dan pondasi-pondasi di atas, harta dan masa yang banyak menjadi senjata utamanya. Sehingga segala cara dilakukan untuk mencapainya, menjadi pemimpin. Sedangkan orang yang “dijadikan” pemimpin, akan selalu berusaha untuk menjadi orang baik, tidak hanya dijadikan orang penting. “Menjadi orang penting itu baik tetapi menjadi orang baik itu jauh lebih penting”, kata orang bijak.
Akhirnya, berangkat dari kepentingan itulah, pola kepemimpinan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan (sempurna). Wallahau a’lam. Read More..
Label:
Artikel,
Filsafat,
Ibnu Aqil,
Karya,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon,
Sejarah
Rabu, 08 Desember 2010
Pemahaman Fiqih yang Moderat
Moh. Isomuddin AQILIANS (Sapu Jagad)
Menurut Yusuf al-Qardhawy, kecenderungan pemahaman fiqih dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Pemahaman yang ekstem dan cenderung menyulitkan (ghuluw, tasyaddud)
2. Pemahaman yang moderat (i’tidal).
3. Pemahaman yang cenderung memudah-mudahkan dan jahil (tasahhul, tarakhkhush)
Pemahaman yang pertama ini biasanya timbul dari seseorang yang belum begitu memahami secara mendalam syari’ah Islam. Akibatnya , dalam memandang syari’ah, dia bagaikan seekor kuda bendi yang ditutup samping matanya sehingga hanya bisa melihat pada satu sisi saja.
Corak pemahaman yang ketiga biasanya terjadi pada seseorang yang sudah mempelajari seluk-beluk syari’ah, namun didalam hatinya ada penyakit. Hal ini antara lain karena
pemahaman aqidahnya belum benar , belum datangnya hidayah Allah, ataupun berbagai sebab yang lain. Tipe orang ini sangat membahayakan ummat sebab dia biasanya pandai berbicara dan mengemukakan argumentasi tetapi dibalik itu terbersit sesuatu yang sangat jahat.
Pemahaman yang paling tepat adalah yang kedua. Moderat disini hendaknya diartikan pada tempatnya dan jangan diartikan sebagaaimana kesalahkaprahan sebagian orang sekarang ini. Dalam corak pemahaman ini, syari’ah ditempatkan dalam posisi yang luwes, tergantung pada masa, situasi, dan kondisi namun tetap tidak akan pernah melampaui pokok-pokok syari’ah itu sendiri.
ANALISIS
Sebetulnya, syari’ah Islam sangatlah indah apabila berhasil dipahami dengan benar. Keindahan itu antara lain terletak pada elastisitasnya dan keadilannya. Elastisitas syari’ah Islam dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menuntutnya, sehingga akan benar-benar tampak oleh mata betapa tinggi keadilan Islam.
Selama ini, kekakuan dan kejumudan dalam memahami syari’ ah antara lain disebabkan oleh pola pikir yang salah. Beberapa kalangan memahami fiqih hanya dengan cara taqlid semata. Mereka secara membabibuta berpegang dengan kuatnya pada salah satu madzhab tanpa pernah meneliti pada situasi dan kondisi seperti apa para imam madzhab tersebut mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Hal ini penting karena para imam tersebut tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi tertentu dalam berfatwa.Karenanya, yang harus kita pegang teguh dari para imam tersebut adalah pola (kerangka) pikir mereka dan bukan hasil pemikiran mereka, karena hasil pemikiran dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, padahal situasi dan koindisi yang kita alami belum tentu sama dengan yang dialami oleh para imam tersebut.
Hal tersebut dengan jelas terbukti pada diri Imam Syafi’i. Pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir tidaklah sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya (ketika di Irak).Pendapat-pendapatnya selama di Irak kini dikenal dengan qaulul qadim sedangkan selama di Mesir dikenal denga qaulul jadid. Dengan demikian pola pikir kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut (taqlid al-manhaj} dan bukan berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid al-qaul).
Untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui seperti apa pola pikir mereka. Dalam hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-istimbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah) dan kaidah fiqhiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih dan fiqih itu sendiri.
Untuk bisa berijtihad dengan lebih tepat, masih ada lagi satu perangkat ilmu yang dibutuhkan yaitu falsafah at-tasyri’ (filsafat pensyariatan hukum-hukum Islam). Dengan perangkat ini, seorang mujtahid akan dapat meng-istimbath segala macam hukum dengan tepat dan luwes, jauh dari kesempitan, kepicikan, dan kejahilan, sesuai dengan tuntutan jaman, situasi, dan kondisi.
Falsafah at-tasyri’ merupakan kajian fiqih yang tertinggi. Kajian ini akan banyak bersinggungan (overlap) dengan kajian tasawuf. Dalam kajian ini, istilah-istilah fiqih dan ushul fiqih sudah jarang ditemui. Beberapa kalangan mempelajari kajian ini dengan nama yang lain, yaitu hikmah at-tasyri’ ataupun asrar al-ahkam ( rahasia-rahasia hukum Islam).
Karena itu, setelah seseorang mengkaji falsafah at-tasyri’, biasanya dia akan beralih ke kajian tasawuf. Inilah antara lain yang dimaksudkan oleh al-Junaid, seorang sufi besar, dengan perkataannya “Siapapun yang ingin masuk ke dunuia ini (maksudnya tasawuf) harus terlebih dulu memahami syariah dengan baik ”.Sebetulnya, kalau dipikirkan dengan mendalam, sangat benarlah apa yang dikatakan oleh al-Junaid. Tasawuf dipelajari oleh manusia dengan tujuan untuk untuk menggapai tujuan akhir (hakikat) ibadah, namun untuk menggapai tujuan tersebut kita harus melewati jalan yang bisa mengantarkan. Jalan itu tidak lain adalah syariah. Lalu bagaimana seseorang akan mampu menapaki jalan yang berujung pada hakikat kalau dia tidak tahu jalan tersebut.
Dalam menempuh jalan (thariqah) tasawuf, seorang salik (penempuh) sangatlah membutuhkan rambu-rambu agar tidak terjerumus kedalam kesesatan yang membinasakan. Rambu-rambu itu tidak lain adalah syariah. Untuk keperluan inilah, seorang salik harus didampingi oleh seorang mursyid.
SEJARAH IJTIHAD HUKUM-HUKUM ISLAM
Di jaman nabi saw dapat dikatakan tidak ada ijtihad karena segala persoalan dapat langsung ditanyakan pada nabi. Hanya dalam kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertanya pada nabi dan kondisi yang mengharuskan agar masalah segera diputuskan, para sahabat memberanikan diri untuk berijtihad. Namun setelah itupun mereka akan menanyakan kembali permasalahan tersebut kepada nabi pada kesempatan yang lain.
Suatu contoh, pada saat rasulullah berpesan pada sekelompok sahabat yang akan beliau utus menempuh perjalanan agar tidak menuaikan shalat ashar sebelum mencapai tujuan. Para sahabat berbeda pendapat dalam menafsirkan pesan rasulullah tersebut. Sebagian menafsirkan bahwa rasulullah bermaksud menyuruh agar para sahabat mempercepat perjalanan. Namun sebagian yang lain menafsirkan apa adanya kata-kata rasulullah tersebut. Akhirnya mereka beramal sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, yang boleh dilakukan oleh siapapun juga tanpa terkecuali. Seseorang yang belum layak berijtihad namun memaksakan diri untuk berijtihad sangat tidak dibenarkan oleh syari’ah, terlebih-lebih jika ijtihadnya menyangkut orang lain. Mengenai hal ini, kiranya kita patut mengambil ibrah dari suatu kejadian di masa rasulullah. Pada saat itu ada seseorang yang sakit parah dan akan melaksanakan shalat, sementara dia dalam keadaan junub. Dia bingung apakah harus mandi atau tidak. Karenanya dia segera bertanya pada para sahabat yang lain. Seorang sahabat memberanikan diri untuk menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Apa yang terjadi? Si sakit tersebut langsung tewas gara-gara menyentuh air mandi. Seorang sahabat yang lain segera melaporkan kejadian ini pada rasulullah. Betapa marahnya rasulullah mendengar hal itu. Beliau bersabda, ”Orang itu telah membunuhnya.”!!! Masya Allah, begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang yang berijtihad. Ijtihad bukan suatu main-main belaka. Karena itu ulama Hanafiyyah melarang minta fatwa kepada seseorang yang gemar berkelakar.
Sepeninggal rasulullah, barulah para sahabat dituntut untuk berijtihad karena begitu banyaknya permasalahan baru yang harus dipecahkan. Dalam hal ini, para sahabat akan mengutamakan tradisi nabi. Untuk keperluan ini, bahkan para sahabat rela bersusah-susah untuk mendapatkan informasi bagaimana nabi mengambil hukum dalam berbagai masalah.
Pada masa para tabi’in (generasi sepeningggal.para sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negeri (kota) yang berada dibawah kekuasaan dinasti Amawiyah. Guru-guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan Zaid ibn Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr ibn Ash di Mesir, dan sebagainya.
Pada generasi tabi’ut tabi’in, ijtihad pun masih berlangsung sampai pada akhirnya datanglah masa-masa yang suram dalam dunia Islam. Pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya para ulama yang seharusnya mengemban tugas sebagai mujtahid hanya mencukupkan diri dengan bertaqlid kepada para imam-imam sebelumnya. Sebetulnya kejadian menyedihkan ini bukannya tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Pada masa itu banyak orang-orang yang belum layak untuk berijtihad dengan lancangnya memberanikan diri untuk berijtihad. Melihat gejala inilah maka para ulama mengeluarkan seruan bahwa pintu ijthad telah tertutup. Fenomena seperti ini, dimana kaum muslimin terlalu jauh dalam meng-counter penyimpamgan yang terjadi, memang sering sekali terjadi dalam sejarah. Dalam hal ini, contoh lainnya adalah munculnya tasawuf yang terlalu jauh dari syari’ah dan terkesan rahbaniyyah (kerahib-rahiban). Tasawuf seperti ini banyak muncul di masa dinasti Amawiyyah yang dinilai menerapkan Islam sebagai sesuatu yang kering dan kehilangan ruhnya, dimana hal ini jauh berbeda dengan Islam yang ditempuh oleh generasi sebelumnya.
Namun alhamdulillah, Allah tidak membiarkan kondisi syari’ah mengalami kejumudan. Allah menghendaki munculnya para mujaddid dan mujtahid di muka bumi ini. Diantara mereka terdapat Syaikhul Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah, yang berusaha menggebrak pintu ijtihad yang telah ditutup itu, meskipun harus menghadapi kecaman dari banyak pihak. Setelah itu bermunculanlah para mujtahid dalam usahanya menyelamatkan syari’ah Allah yang mulia.
SARANA IJTIHAD
Dalam berijtihad, seseorang harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kualifikasi ini hanya bisa dicapai dengan usaha yang tidak ringan. Seseorang dituntut untuk tekun mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pendukung yang diperlukan, agar bisa mencapai derajat mujtahid. Kualifikasi seorang mujtahid antara lain:
1.Menguasai bahasa Arab dengan baik.
Hal ini mutlak karena seorang mujtahid harus berinteraksi dengan Alqur’an dan Alhadits yang ditulis dalam bahasa Arab. Kedua sumber hukum ini harus dipahami menurut pemahaman bahasa Arab dan tidak mungkin dipahami dengan cara pikir bahasa lain, karena bahasa Arab mempunyai segi-segi linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Lalu bagaimana kalau ada yang berijtihad dengan bersandarkan pada terjemahan semata?
2. Memahami ushul fiqih yang meliputi kaidah-kaidah lughawiyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah. Dalam hal kaidah-kaidah lughawiyah, dibutuhkan penguasaan bahasa Arab yang baik sebagaimana disebutkan sebelumnya.
3. Memahami tafsir ayat-ayat hukum dalam Alqur’an. Jumlah ayat-ayat hukum ini diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya kurang dari separuh Alqur’an. Ada pula yang berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan ayat-ayat hukum.
4. Menguasai ilmu-ilmu hadits baik riwayatul hadits maupun dirayatul hadits. Mengenai ini perlu dicamkan bahwa dalam ijtihad, seorang mujtahid akan jauh lebih banyak bersandar pada Alhadits daripada Alqur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena Alqur’an hanya memuat hal-hal pokok saja, sementara Alhadits merupakan penafsir Alqur’an.
5. Mengetahui ijma’ para fuqaha’ (dengan asumsi mengakui adanya ijma’ mereka) atau sekurang-kurangnya ijma’ para sahabat (jika berpendirian bahwa ijma’ hanya berlaku untuk para sahabat nabi).
6. Menguasai semua cabang syari’ah. Hal ini penting karena cabang-cabang syari’ah seringkali berkaitan satu sama lain.
Malang, 06 – 12 – 2010. Read More..
Menurut Yusuf al-Qardhawy, kecenderungan pemahaman fiqih dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Pemahaman yang ekstem dan cenderung menyulitkan (ghuluw, tasyaddud)
2. Pemahaman yang moderat (i’tidal).
3. Pemahaman yang cenderung memudah-mudahkan dan jahil (tasahhul, tarakhkhush)
Pemahaman yang pertama ini biasanya timbul dari seseorang yang belum begitu memahami secara mendalam syari’ah Islam. Akibatnya , dalam memandang syari’ah, dia bagaikan seekor kuda bendi yang ditutup samping matanya sehingga hanya bisa melihat pada satu sisi saja.
Corak pemahaman yang ketiga biasanya terjadi pada seseorang yang sudah mempelajari seluk-beluk syari’ah, namun didalam hatinya ada penyakit. Hal ini antara lain karena
pemahaman aqidahnya belum benar , belum datangnya hidayah Allah, ataupun berbagai sebab yang lain. Tipe orang ini sangat membahayakan ummat sebab dia biasanya pandai berbicara dan mengemukakan argumentasi tetapi dibalik itu terbersit sesuatu yang sangat jahat.
Pemahaman yang paling tepat adalah yang kedua. Moderat disini hendaknya diartikan pada tempatnya dan jangan diartikan sebagaaimana kesalahkaprahan sebagian orang sekarang ini. Dalam corak pemahaman ini, syari’ah ditempatkan dalam posisi yang luwes, tergantung pada masa, situasi, dan kondisi namun tetap tidak akan pernah melampaui pokok-pokok syari’ah itu sendiri.
ANALISIS
Sebetulnya, syari’ah Islam sangatlah indah apabila berhasil dipahami dengan benar. Keindahan itu antara lain terletak pada elastisitasnya dan keadilannya. Elastisitas syari’ah Islam dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menuntutnya, sehingga akan benar-benar tampak oleh mata betapa tinggi keadilan Islam.
Selama ini, kekakuan dan kejumudan dalam memahami syari’ ah antara lain disebabkan oleh pola pikir yang salah. Beberapa kalangan memahami fiqih hanya dengan cara taqlid semata. Mereka secara membabibuta berpegang dengan kuatnya pada salah satu madzhab tanpa pernah meneliti pada situasi dan kondisi seperti apa para imam madzhab tersebut mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Hal ini penting karena para imam tersebut tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi tertentu dalam berfatwa.Karenanya, yang harus kita pegang teguh dari para imam tersebut adalah pola (kerangka) pikir mereka dan bukan hasil pemikiran mereka, karena hasil pemikiran dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, padahal situasi dan koindisi yang kita alami belum tentu sama dengan yang dialami oleh para imam tersebut.
Hal tersebut dengan jelas terbukti pada diri Imam Syafi’i. Pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir tidaklah sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya (ketika di Irak).Pendapat-pendapatnya selama di Irak kini dikenal dengan qaulul qadim sedangkan selama di Mesir dikenal denga qaulul jadid. Dengan demikian pola pikir kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut (taqlid al-manhaj} dan bukan berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid al-qaul).
Untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui seperti apa pola pikir mereka. Dalam hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-istimbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah) dan kaidah fiqhiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih dan fiqih itu sendiri.
Untuk bisa berijtihad dengan lebih tepat, masih ada lagi satu perangkat ilmu yang dibutuhkan yaitu falsafah at-tasyri’ (filsafat pensyariatan hukum-hukum Islam). Dengan perangkat ini, seorang mujtahid akan dapat meng-istimbath segala macam hukum dengan tepat dan luwes, jauh dari kesempitan, kepicikan, dan kejahilan, sesuai dengan tuntutan jaman, situasi, dan kondisi.
Falsafah at-tasyri’ merupakan kajian fiqih yang tertinggi. Kajian ini akan banyak bersinggungan (overlap) dengan kajian tasawuf. Dalam kajian ini, istilah-istilah fiqih dan ushul fiqih sudah jarang ditemui. Beberapa kalangan mempelajari kajian ini dengan nama yang lain, yaitu hikmah at-tasyri’ ataupun asrar al-ahkam ( rahasia-rahasia hukum Islam).
Karena itu, setelah seseorang mengkaji falsafah at-tasyri’, biasanya dia akan beralih ke kajian tasawuf. Inilah antara lain yang dimaksudkan oleh al-Junaid, seorang sufi besar, dengan perkataannya “Siapapun yang ingin masuk ke dunuia ini (maksudnya tasawuf) harus terlebih dulu memahami syariah dengan baik ”.Sebetulnya, kalau dipikirkan dengan mendalam, sangat benarlah apa yang dikatakan oleh al-Junaid. Tasawuf dipelajari oleh manusia dengan tujuan untuk untuk menggapai tujuan akhir (hakikat) ibadah, namun untuk menggapai tujuan tersebut kita harus melewati jalan yang bisa mengantarkan. Jalan itu tidak lain adalah syariah. Lalu bagaimana seseorang akan mampu menapaki jalan yang berujung pada hakikat kalau dia tidak tahu jalan tersebut.
Dalam menempuh jalan (thariqah) tasawuf, seorang salik (penempuh) sangatlah membutuhkan rambu-rambu agar tidak terjerumus kedalam kesesatan yang membinasakan. Rambu-rambu itu tidak lain adalah syariah. Untuk keperluan inilah, seorang salik harus didampingi oleh seorang mursyid.
SEJARAH IJTIHAD HUKUM-HUKUM ISLAM
Di jaman nabi saw dapat dikatakan tidak ada ijtihad karena segala persoalan dapat langsung ditanyakan pada nabi. Hanya dalam kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertanya pada nabi dan kondisi yang mengharuskan agar masalah segera diputuskan, para sahabat memberanikan diri untuk berijtihad. Namun setelah itupun mereka akan menanyakan kembali permasalahan tersebut kepada nabi pada kesempatan yang lain.
Suatu contoh, pada saat rasulullah berpesan pada sekelompok sahabat yang akan beliau utus menempuh perjalanan agar tidak menuaikan shalat ashar sebelum mencapai tujuan. Para sahabat berbeda pendapat dalam menafsirkan pesan rasulullah tersebut. Sebagian menafsirkan bahwa rasulullah bermaksud menyuruh agar para sahabat mempercepat perjalanan. Namun sebagian yang lain menafsirkan apa adanya kata-kata rasulullah tersebut. Akhirnya mereka beramal sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, yang boleh dilakukan oleh siapapun juga tanpa terkecuali. Seseorang yang belum layak berijtihad namun memaksakan diri untuk berijtihad sangat tidak dibenarkan oleh syari’ah, terlebih-lebih jika ijtihadnya menyangkut orang lain. Mengenai hal ini, kiranya kita patut mengambil ibrah dari suatu kejadian di masa rasulullah. Pada saat itu ada seseorang yang sakit parah dan akan melaksanakan shalat, sementara dia dalam keadaan junub. Dia bingung apakah harus mandi atau tidak. Karenanya dia segera bertanya pada para sahabat yang lain. Seorang sahabat memberanikan diri untuk menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Apa yang terjadi? Si sakit tersebut langsung tewas gara-gara menyentuh air mandi. Seorang sahabat yang lain segera melaporkan kejadian ini pada rasulullah. Betapa marahnya rasulullah mendengar hal itu. Beliau bersabda, ”Orang itu telah membunuhnya.”!!! Masya Allah, begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang yang berijtihad. Ijtihad bukan suatu main-main belaka. Karena itu ulama Hanafiyyah melarang minta fatwa kepada seseorang yang gemar berkelakar.
Sepeninggal rasulullah, barulah para sahabat dituntut untuk berijtihad karena begitu banyaknya permasalahan baru yang harus dipecahkan. Dalam hal ini, para sahabat akan mengutamakan tradisi nabi. Untuk keperluan ini, bahkan para sahabat rela bersusah-susah untuk mendapatkan informasi bagaimana nabi mengambil hukum dalam berbagai masalah.
Pada masa para tabi’in (generasi sepeningggal.para sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negeri (kota) yang berada dibawah kekuasaan dinasti Amawiyah. Guru-guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan Zaid ibn Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr ibn Ash di Mesir, dan sebagainya.
Pada generasi tabi’ut tabi’in, ijtihad pun masih berlangsung sampai pada akhirnya datanglah masa-masa yang suram dalam dunia Islam. Pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya para ulama yang seharusnya mengemban tugas sebagai mujtahid hanya mencukupkan diri dengan bertaqlid kepada para imam-imam sebelumnya. Sebetulnya kejadian menyedihkan ini bukannya tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Pada masa itu banyak orang-orang yang belum layak untuk berijtihad dengan lancangnya memberanikan diri untuk berijtihad. Melihat gejala inilah maka para ulama mengeluarkan seruan bahwa pintu ijthad telah tertutup. Fenomena seperti ini, dimana kaum muslimin terlalu jauh dalam meng-counter penyimpamgan yang terjadi, memang sering sekali terjadi dalam sejarah. Dalam hal ini, contoh lainnya adalah munculnya tasawuf yang terlalu jauh dari syari’ah dan terkesan rahbaniyyah (kerahib-rahiban). Tasawuf seperti ini banyak muncul di masa dinasti Amawiyyah yang dinilai menerapkan Islam sebagai sesuatu yang kering dan kehilangan ruhnya, dimana hal ini jauh berbeda dengan Islam yang ditempuh oleh generasi sebelumnya.
Namun alhamdulillah, Allah tidak membiarkan kondisi syari’ah mengalami kejumudan. Allah menghendaki munculnya para mujaddid dan mujtahid di muka bumi ini. Diantara mereka terdapat Syaikhul Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah, yang berusaha menggebrak pintu ijtihad yang telah ditutup itu, meskipun harus menghadapi kecaman dari banyak pihak. Setelah itu bermunculanlah para mujtahid dalam usahanya menyelamatkan syari’ah Allah yang mulia.
SARANA IJTIHAD
Dalam berijtihad, seseorang harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kualifikasi ini hanya bisa dicapai dengan usaha yang tidak ringan. Seseorang dituntut untuk tekun mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pendukung yang diperlukan, agar bisa mencapai derajat mujtahid. Kualifikasi seorang mujtahid antara lain:
1.Menguasai bahasa Arab dengan baik.
Hal ini mutlak karena seorang mujtahid harus berinteraksi dengan Alqur’an dan Alhadits yang ditulis dalam bahasa Arab. Kedua sumber hukum ini harus dipahami menurut pemahaman bahasa Arab dan tidak mungkin dipahami dengan cara pikir bahasa lain, karena bahasa Arab mempunyai segi-segi linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Lalu bagaimana kalau ada yang berijtihad dengan bersandarkan pada terjemahan semata?
2. Memahami ushul fiqih yang meliputi kaidah-kaidah lughawiyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah. Dalam hal kaidah-kaidah lughawiyah, dibutuhkan penguasaan bahasa Arab yang baik sebagaimana disebutkan sebelumnya.
3. Memahami tafsir ayat-ayat hukum dalam Alqur’an. Jumlah ayat-ayat hukum ini diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya kurang dari separuh Alqur’an. Ada pula yang berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan ayat-ayat hukum.
4. Menguasai ilmu-ilmu hadits baik riwayatul hadits maupun dirayatul hadits. Mengenai ini perlu dicamkan bahwa dalam ijtihad, seorang mujtahid akan jauh lebih banyak bersandar pada Alhadits daripada Alqur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena Alqur’an hanya memuat hal-hal pokok saja, sementara Alhadits merupakan penafsir Alqur’an.
5. Mengetahui ijma’ para fuqaha’ (dengan asumsi mengakui adanya ijma’ mereka) atau sekurang-kurangnya ijma’ para sahabat (jika berpendirian bahwa ijma’ hanya berlaku untuk para sahabat nabi).
6. Menguasai semua cabang syari’ah. Hal ini penting karena cabang-cabang syari’ah seringkali berkaitan satu sama lain.
Malang, 06 – 12 – 2010. Read More..
Label:
Artikel,
Ibnu Aqil,
Karya,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon,
Sejarah,
tugas Aqilians All
Minggu, 05 Desember 2010
Almamater Aqilians
InsyaAllah ini almamater resmi Rayon "perjuangan" Ibnu Aqil untuk seterusnya.
Pesan:
Harga Rp.65.000
untuk informasi lebih lanjut hubungi 085731946004 (Sahabat Takhfif)
Read More..
Pesan:
Harga Rp.65.000
untuk informasi lebih lanjut hubungi 085731946004 (Sahabat Takhfif)
http://www.facebook.com/afif.mrfivePesan:
Harga Rp.65.000
untuk informasi lebih lanjut hubungi 085731946004 (Sahabat Takhfif)
Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)