Oleh: Dung de Jogle
Ada beberapa hal yang penting namakala berbicara masalah kepemimpinan. Yaitu pemimpin, pola kepemimpinan dan yang dipimpin. Semua orang bisa dan pasti menjadi pemimpin setidaknya memimpin dirinya sendiri. Kullukum ro’in wakullukum mas’ulun an ro’iyyatihi. Akan tetapi, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin yang benar and baik (baca: Ideal). Perlu beberapa syarat dan faktor pendukung. Salah satu dari syarat tersebut adalah adanya team yang mampu dibidangnya.
Keberhasilan rosulullah –jika memang dianggap berhasil- dalam membentuk negara madinah juga tidak bisa lepas dari peranan team yang dalam hal ini adalah sahabat-sahabat Nabi. Sahabat Abu Bakar misalnya, ia sosok yang jujur dan santun, sahabat Umar bin Khottob sosok yang sangat berani, perkasa dan disegani, Utsman bin Affan sosok yang sangat dermawan, dan Ali bin Talib sosok yang cerdas dan progresif dibidang keilmuan. Selain juga para sahabat-sahabat yang lain seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya...
Pada konteks pemerintahan, para sahabat nabi -selain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagai ahli tafsir- memiliki peran penting dalam pemerintahan. Kejujuran Abu Bakar menggambarkan bahwa kepemimpinan dalam sebuah oraganisasi atau negara, harus ada kejujuran antara pemimpin dan yang dipimpin. Yang diawali dengan adanya keterbukaan. Keperkasaan dan keberanian sahabat Umar menggambarkan pertahanan bagi sebuah negara harus kuat dan kokoh. Hal ini untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Kedermawanan Utsman menggambarkan bahwa dalam sebuah negara harus Pro-rakyat. Untuk menjadi bangsa yang mamiliki peradaban yang tinggi, sosok Ali menggambarkan bahwa sebuah bangsa yang maju harus cerdas baik pemimpinnya ataupun yang dipimpin (baca: masyarakat).
Terlepas bahwa rosulullah merupakan insan kamil dan manusia pilihan, disinilah, menurut penulis letak keberhasilan rosulullah dalam mempertahankan dan menciptakan masyarakat yang madani dan negara yang tamaddun. Selain akhlak -yang ada pada dirinya-, rosulullah sadar bahwa bangsa yang beradab dan berdaulat harus memiliki kejujuran, kekuatan, kedermawanan dan kecerdasan.
Akan tetapi, hari ini, muncul permasalahan manakala berbicara kepemimpinan, orang sudah berlomba-lomba untuk “menjadi” pemimpin, bukan “dijadikan” pemimpin, yang berasaskan kepentingan Pribadi atau kelomok tertentu. Bukan berasaskan pada potensi diri dan pondasi-pondasi di atas, harta dan masa yang banyak menjadi senjata utamanya. Sehingga segala cara dilakukan untuk mencapainya, menjadi pemimpin. Sedangkan orang yang “dijadikan” pemimpin, akan selalu berusaha untuk menjadi orang baik, tidak hanya dijadikan orang penting. “Menjadi orang penting itu baik tetapi menjadi orang baik itu jauh lebih penting”, kata orang bijak.
Akhirnya, berangkat dari kepentingan itulah, pola kepemimpinan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan (sempurna). Wallahau a’lam.
Ibnu Aqil
Labels
- Artikel (21)
- English (3)
- Filsafat (9)
- Hot News (1)
- Ibnu Aqil (19)
- Karya (7)
- Kolom Sastra (1)
- Makalah (9)
- Opini (10)
- Pengetahuan (9)
- Perjuangan (20)
- Rayon (19)
- Sejarah (6)
- tugas Aqilians All (4)
Blog Archive
Diberdayakan oleh Blogger.
Minggu, 12 Desember 2010
Kepemimpinan “Ideal” ala Shodr al-Islam
Label:
Artikel,
Filsafat,
Ibnu Aqil,
Karya,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon,
Sejarah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Opini yang terlalu normatif, kontek hari ini menjadi acuan...
BalasHapuspadahal pola pikir yang seperti itu bisa membawa kita ke kesadaran Magis..bahkan ke Kesadaran Naif....
Kita bisa kembalikan wawasan tentang kepemimpinan dengan konsep Imam Mawardi memberikan sejumlah kriteria pemimpin yang baik, yakni memiliki ilmu, sehat panca indra, serta dapat menangkap masalah masyarakat dengan benar dan cepat. Tak perlu muluk-muluk laaaah...
BalasHapusheheheh...