Selasa, 28 Desember 2010

Wacana Islam dan Kekerasan

Oleh Moh. Isomuddin Aqilians (Sapu Jagad)

Abstract
In recent times, Muslim societies have been plagued by many events that have stuck the world as offensive and even shocking. This has reached the extent that one finds that Islamic culture has become associated with harshness and cruelty in the popular. When one interacts with people from different part of the world, one consistently finds that the image of Islam is not that of the humane religion. From this perspective, the event described above ought not to give us pause; it simply becomes yet another inhumane incident in the history of modern Islam that borders on the incomprehensible and insane. Placed in the context of many other morally offensive events, such us The Satanic Verses and the death sentence against Salman Rushdie, the treatment of women by Taliban, the destruction of the Buddha statues in Afghanistan, the sexual violation of domestic workers in Saudi Arabia, the excommunication writers in Egypt, and the killing of civilians in terrorist attacks, this event seems to be just another chapter in a long Muslim saga of ugliness.


Pra-wacana: Reorientasi Jihad di Dunia Islam.
Di dunia Islam kini, menurut Karen Armstrong, beberapa kalangan Muslim sangat memperhatikan dua masalah. Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah menurut hukum syari’at, hukum Islam. Kedua hal inilah yang dalam perkembangan Islam selanjutnya memperhadapkan Islam dengan etos revolusioner masyarakat Barat yang mendewakan kebebasan. Perjalanan sejarah itulah yang melahirkan apa yang disebut Armstrong sebagai semangat konservatif dalam Islam.

Semangat konservatif selalu menjadikan masa keemasan sebagai pijakan orientasinya, yaitu masa Nabi Muhammad serta masa al-Khulafa>’ al-Rasyidi>n yang meneruskan kekuasaan politik Nabi. Mereka memerintah masyarakat menurut hukum Islam . Nabi Muhammad adalah seorang rasul, sekaligus pimpinan politik dari jamaahnya. Al-Qur'an yang disampaikannya kepada bangsa Arab pada tahun-tahun awal ke-7. menegaskan bahwa kewajiban utama seorang Muslim adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter. Hal ini menuntut jihad—sebuah kata yang, menurut Armstrong, lebih tepat diterjemahkan sebagai “perjuangan” atau “usaha,” dan bukannya “perang suci,” seperti selama ini dianggap orang-orang Barat. Jihad yang dimaksud di sini adalah mencakup segala bidang: baik bidang spiritual, politik, sosial, pribadi, militer, dan ekonomi. Jika seorang Muslim mampu menata kehidupannya dengan memprioritaskan Tuhan dan perwujudan rencana-Nya bagi kemanusiaan, maka ia akan mendapatkan kemantapan personal dan sosial yang membuat dirinya menyatu dengan Tuhan. Memagari satu wilayah kehidupan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang tidak perlu dijihadkan, sama saja dengan melanggar prinsip tauhid—artinya, sama dengan mengingkari Tuhan. Dari perspektif inilah, kemudian, Armstrong menyimpulkan bahwa bagi seorang Muslim yang taat, politik bisa disamakan dengan sakramen dalam istilah Kristen. Dibahasakan dengan cara yang lebih sederhana, politik adalah aktivitas yang harus disakralkan.
Fundamentalisme Konservatif: Sebuah Tinjauan Historis
Ibarat gelombang, semangat konservatif itu mencapai puncaknya pada tahun 1951—yaitu, ketika karya seorang jurnalis dan politisi Pakistan, Abu> al-A’la> al-Maudu>di> (1903-1979) mulai diterbitkan di Mesir. Al-Maudu>di> khawatir Islam akan dihancurkan. Dia melihat kekuatan Barat yang besar bersatu untuk menghancurkan dan melumatkan Islam. Oleh karena itu, umat Muslim harus melawannya. Dasar ideologi al-Maudu>di> adalah doktrin kedaulatan Tuhan. Hal ini, mungkin, bisa dilihat sebagai operasi kekuatan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam diktum Michel Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.
Al-Maudu>di> meyakini nilai suatu ideologi. Dia menganggap Islam merupakan ideologi revolusioner sebagaimana Fasisme dan Marxisme, tapi memiliki perbedaan penting. Kaum Nazi dan Marxis telah memperbudak manusia lain, sementara Islam berusaha untuk membebaskan manusia dari ketundukan kepada apa pun selain Tuhan. Sebuah negara Islam, menurut al-Maudu>di>, adalah bersifat totaliter, sebab negara menyerahkan segala hal kepada Tuhan. Sebagai seorang ideolog ulung, al-Maudu>di> tidak mengembangkan teori ilmiah yang muskil, melainkan mengeluarkan seruan untuk angkat senjata. Dia menuntut jihad universal, yang dia nyatakan sebagai rukun Islam yang utama.
Al-Maudu>di> hanyalah satu contoh kecil dari sekian banyak umat Muslim yang secara ideologis telah mereduksi Islam menjadi program protes satu-satunya melawan kekuatan-kekuatan dominan sistem dunia modern—termasuk, yang paling nyata, hegemoni Barat . Akan tetapi, dalam perkembangannya, apa yang terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against every man seperti dituturkan Hobbes, melainkan berubah menjadi the war of every civilization against every civilization yang menjadi tesis besar Samuel Huntington—ahli politik ternama dari Universitas Harvard dalam sebuah wawancara dengan majalah Time, 28 Juli 1992. Karena tidak ada lagi “rasionalitas universal” untuk menghakimi siapa yang “benar”, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan cara lain. Alhasil, muncullah pameo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut “universal” yang, pada galibnya, berhubungan dengan klaim kebenaran “final”.
Sejak awal, sebagaimana dalam pelbagai catatan sejarah, kaum Muslim percaya bahwa mereka dibebani tugas misi global. Pada awal tahun 628 M, sebelum penaklukan kota Mekah, Nabi Muhammad memulai kampanyenya—yaitu, melalui penulisan suratnya yang terkenal. Inisiatifnya yang gesit tak lain adalah sebuah ajakan untuk memeluk Islam kepada seluruh raja di Balkan dan Timur tengah, termasuk Herakluis I, Kaisar Bizantium di Konstantinopel; Chosroes II, Syah Sasania Persia di Cteiphon; dan Muqauqis, uskup besar Koptik di Alexandria—surat tersebut tertulis di atas kulit dan, hingga saat ini, masih dipamerkan di Museum Topkapi, Istanbul.
Dalam perkembangannya, sebagaimana penuturan Murad W. Hofmann, “ketakutan” menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan karakter hubungan historis antara Timur dan Barat—termasuk, apa yang mereka rasakan dewasa ini. Semua itu bermula dari penyebaran kilat Islam yang menakjubkan di abad ke-7 hingga abad ke-8. Prajurit Arab yang ada—jumlahnya, selalu hanya dalam kisaran 20-30 ribu personel—dengan semangat keagamaan dan keberanian menantang maut, tidak akan mampu melakukan penyebaran yang mencengangkan ini seandainya penduduk Bizantium dan Persia tidak berserah diri secara berbondong-bondong .
Dunia Kristen di Roma dan Konstantinopel tidak dapat menerima semua fakta ini. Mereka tidak dapat memahami signifikansi Islam dalam konteks sejarah agama-agama; Islam menjadi yang pertama dalam upaya pemulihan agama Kristen—yakni, dengan mengembalikannya ke akar Yudeo-Kristennya . Akan tetapi, Barat mempertahankan klaim atas superioritasnya dengan mengkonstruksi sebuah legenda, yaitu bahwa Islam telah disebarkan dengan “api dan pedang.” Yang digaungkan, salah satunya, tidakkah kaum barbar ini pun telah membakar habis Perpustakaan Alexandria yang terkenal itu? Tuduhan seperti ini, ternyata, berhasil dalam menanamkan ketakutan abadi terhadap Islam. Akhirnya, Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan—sebuah prasangka yang, celakanya, hingga saat ini masih sangat kentara setiap kali media melaporkan kejadian-kejadian di dunia Muslim seperti di Aljazair, Mesir, Palestina, atau Kashmir.
Dalam penelusuran sejarahnya, Hofmann menyebut invasi Turki di Wina sebagai cikal-bakal bagi dikaitkannya Islam dengan kekerasan. Pada masa itu, pasukan Islam Turki menebar ancaman ke seantero Eropa. Kavaleri mereka yang hanya bersenjata ringan, bahkan, berhasil membuat takut wilayah bawah Bavaria di Jerman Selatan . Sejak saat itu, maka wajar sekali bila bangsa Eropa mengaitkan Islam dengan kekerasan. Hofmann menyebut hal itu sebagai memori kolektif—misalnya, ungkapan bahwa sejarah telah memberitahu kita: mereka berbahaya, dan kaum Muslim harus diusir. Memori kolektif inilah yang, pada akhirnya, melegitimasi pasukan Salib untuk membabat umat Islam .
Sejarah 1400 tahun hubungan Islam dengan Barat ditandai oleh masa konfrontasi yang panjang dan menyedihkan. Pada mulanya, Barat memahami Islam sebagai ancaman. Kemudian, selama kira-kira 300 tahun dari pertengahan abad ke-18 hingga abad ke-19, Islam diubah menjadi sebuah problem belaka. Akan tetapi, setelah itu, Islam dinaikkan tingkatannya dengan kembali menjadi sebuah ancaman. William Cantwell Smith, baru-baru ini, menggambarkan memori kolektif itu sebagai sindrom:
“Dalam kasus khusus menyangkut Islam, Barat mewarisi sebentuk antagonisme yang berakar pada seribu tahun silam yang, mengenainya, terdapat sangat sedikit orang yang mengetahui keberlangsungannya (sampai hari ini), begitu pula kedalamannya......Terhadap Islam, Barat terkadang ketakutan, dan selama berabad-abad selalu merasa terancam.....Ketakutan dan kebencian Barat saat ini yang diekspresikan dalam bentuk anti-komunisme relatif melunak, dan masanya sangat pendek, dibandingkan dengan persepsi dan emosi Abad Pertengahan yang anti-Islam yang berlangsung berabad-abad.”
Kesan yang sangat tidak menyenangkan semacam itu, menurut Hofmann, acap kali diperparah oleh pelbagai tindakan Muslim sendiri yang cenderung tidak Islami—sesuatu yang hanya akan membuat orang Barat menggelengkan kepala, dan, akhirnya, citra buruk Islam semakin tak terkendali.
Reaktualisasi Konsep Jihad dan Pencitraan Islam
Berbeda dengan Hofmann yang lebih mencermati aspek citra yang tidak seimbang dan cenderung dibuat-buat oleh Barat, Bruce B. Lawrence lebih menyoroti dari sudut pandang Islam sendiri—yakni, Islam yang bergerak, bereaksi, dan tidak statis. Lawrence mengemukakan bahwa ada tiga gerakan Islam yang berskala luas—yang merupakan pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam yang dipicu oleh ekspansi kolonial Eropa pada abad ke-18 dan k-19—yaitu: revivalisme, reformisme, dan fundamentalisme. Revivalisme adalah reaksi pertamanya. Ketika revivalisme gagal mencapai tujuan jangka panjang, gerakan ini digantikan oleh upaya melakukan reformasi Islam dengan menggandeng gerakan-gerakan nasionalis. Ketika gerakan ini juga tidak membuahkan hasil, barulah muncul gerakan Islam fundamentalis.
Gerakan revivalisme, atau kebangkitan kembali, Islam memperebutkan penguasaan atas komoditas-komoditas penting—tekstil, budak, kopi, teh, rempah-rempah, dan emas—yang diperdagangkan melalui jalur-jalur perdagangan utama dari pantai Atlantik Afrika Barat sampai ke Kepulauan Indonesia. Alhasil, berbicara mengenai Islam revivalis berarti mengakui adanya reaksi ideologis dari kelompok-kelompok kepentingan Muslim tertentu atas kerugian yang mereka alami. Islam pun menjadi simbol perlawanan menghadapi penciutan secara bertahap atas perdagangan internal dan eksternal, yang diakibatkan oleh kegiatan dagang negara-negara maritim Eropa—khususnya: Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis.
Adapun kelompok reformis Islam menekankan pada sains dan teknologi dalam bidang pendidikan, pada struktur konstitusi dan demokrasi parlementer di bidang politik, serta peran perempuan yang ditinjau ulang dalam ranah masyarakat. Kaum reformis identik dengan para pemikir Muslim. Oleh karena itu, jumlah mereka tidak banyak . Pun demikian, hampir selalu terdapat kesenjangan di kalangan internal kaum reformis Muslim, yaitu antara mereka yang tertarik dengan prestasi Eropa—dan memetik manfaatnya, tetapi dikemas dalam ungkapan lokal—dan para penentang mereka, dengan alasan bahwa penyesuaian tidak mungkin dilakukan tanpa kehilangan autentisitas.
Selanjutnya, bila orang bisa menunjukkan substansi dari pemikiran Islam fundamentalis, esensinya tak lain adalah respons keagamaan yang cerdik terhadap keterbatasan nasionalisme Arab yang bergaya sekular . Yang tampak dari kalangan fundamentalis adalah cara mereka mengemas bahasa emosional dalam upaya perlawanan mereka. Penting untuk dicuplik di sini, sebagai sebuah acuan, sebuah kecaman terhadap Barat yang disampaikan oleh Dr. Mohammed Sakr—profesor ekonomi di Universitas Amman, memperoleh gelar Ph.D. ekonomi dari Universitas Harvard, dan anggota cabang Ikhwan al-Muslimin di Yordania. Dalam wawancara di sebuah majalah, Dr. Sakr mengatakan, “Barat anti kita”. Alternatif bagi Barat adalah dunia Islam yang bersatu, yang memungkinkan negara-negara berbagi sumber daya mereka dengan cara saling melengapi. “Baberapa negara seperti Arab Saudi dan Qatar memiliki uang, sementara yang lainnya seperti Yordania dan Mesir memiliki tenaga kerja. Persatuan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semuanya.” Persatuan akan memungkinkan manfaat eksploitasi minyak untuk dibagi bersama karena “saat ini kekayaan dari kawasan ini berada di tangan segelintir Syekh , sementara mayoritas masyarakat tetap miskin.” Ia memperingatkan bahwa pada akhirnya massa akan main hakim sendiri. Lalu, apa yang harus dilakukan Barat? Ada dua hal: pertama, Barat harus memperhatikan bahwa “kita memiliki jutaan orang yang berpendidikan AS yang bukan budak Barat”; dan yang kedua, perusahaan-perusahaan Eropa-Amerika harus berhenti memerah kawasan ini, dan sebaiknya membiarkan warga kawasan ini mengatur dirinya sendiri “tanpa dikte dari Washington, Paris, atau Bonn.” Bentuk tudingan yang berbau kekesalan inilah yang, menurut Lawrence, menggambarkan nuansa wacana yang jamak di kalangan fundamentalis Islam.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, salah satu solusi yang sangat konstruktif, menurut hemat penulis, adalah proposal metodologis yang diajukan oleh Khaled Abou El Fadl—profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat. Abou El Fadl memilih untuk menegosiasikan bentuk-bentuk kekerasan yang sering dipraktikkan kalangan Muslim fundamentalis dengan konsep-konsep al-Qur'an yang anti-kekerasan. Hal ini dipicu oleh anggapan sebagian kalangan non-Muslim di dunia yang, menurut Abou El Fadl, telah menjadikan Islam sebagai simbol tradisi yang bengis—yakni, dengan hanya memberikan tekanan dalam jumlah yang kecil akan belas kasih dan sikap memaafkan terhadap kemanusiaan. Tak berlebihan kiranya tatkala seorang Muslim berinteraksi dengan pelbagai kalangan yang beraneka ragam di dunia ini, kecenderungannya adalah ia akan senantiasa menemukan kesan bahwa agamanya bukanlah agama humanis.
Tidak ada aspek di dalam agama Islam yang begitu mendapat sorotan masyarakat dan semua media melebihi isu jihad dan terorisme . Pada kenyataannya, topik jihad di dalam Islam berdiri di atas fondasi banyaknya pernyataan tentang kemampuan Islam untuk hidup bersama dan bekerja sama dengan kaum non-Muslim. Sekalipun terdapat tulisan-tulisan perihal topik tersebut, namun apa yang masih menimbulkan teka-teki adalah bagaimana sedemikian banyak umat Islam memahami doktrin tersebut secara begitu berbeda. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi bahwa banyak dari apa yang ditulis tentang jihad itu kurang berwawasan atau buruk. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri pula bahwa khususnya di era modern ini, pernyataan-pernyataan dan perilaku orang Islam telah menjadikan konsep jihad kian membingungkan dan bahkan kacau-balau.
Abou El Fadl sendiri berpendapat bahwa jihad merupakan prinsip utama dalam akidah Islam. Istilah jihad sendiri secara harfiah berarti “berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, dan mempertahankan.” Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimungkinkan tanpa jihad—yaitu, tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, menyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk jihad.
Al-Qur'an tidak menggunakan istilah jiha>d untuk merujuk pada perang atau pertempuran; perang atau pertempuran dirujuk dengan kata qita>l. Sementara al-Qur'an menyebut jihad sebagai mutlak (unconditional) dan tak terbatas (unrestricted), hal yang sama tak berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu yang pada dasarnya baik, sementara qita>l tidak demikian. Setiap acuan di dalam al-Qur'an pada qita>l itu dibatasi oleh kondisi tertentu; tetapi, desakan akan jihad (exhortations to jihad), seperti acuan pada keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat. Pada tiap kesempatan terpisah ketika al-Qur'an mendesak umat Islam untuk berperang, al-Qur'an segera mensyaratkan tuntutan itu dengan sebuah perintah kepada kaum beriman untuk tidak melampaui batas (transgress) , untuk memaafkan, dan mencari perdamaian.
Dalam al-Qur'an disebutkan:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Baqarah [2]: 190).
Abou El Fadl juga menegaskan bahwa justifikasi untuk memerangi non-Muslim secara langsung berbanding lurus dengan ancaman fisik yang mereka tunjukkan kepada umat Islam. Jika kaum non-Muslim tidak mengancam atau hendak merusak umat Islam, maka memerangi mereka tidaklah dibenarkan. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, ketidakimanan atau kekafiran (kufr) bukanlah alasan yang memadai untuk memerangi mereka karena pada dasarnya mengakhiri hidup manusia itu tidaklah dibenarkan .
Kesimpulan
Di zaman ketika wibawa agama mulai goyah—dan hidup dalam agama, tampaknya, menjadi laku yang tegang—kita memerlukan sebuah halte kecil untuk sejenak berpikir, berdialog, dan berusaha untuk menggali kearifan moral di dalam ajaran agama. Bukankah Nabi Muhammad SAW, sang penerima wahyu Islam, diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam? Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita dapat menampilkan Islam sebagai agama rahmat itu sendiri.
Proposal metodologis yang ditawarkan Khaled Abou Fadl, misalnya, barangkali memang sudah semestinya kita terjemahkan ke dunia praktis. Interpretasi konsep jihad memang tengah mendesak untuk dinegosiasikan dengan konsep-konsep lain yang juga bersumber dari al-Qu’an, seperti konsep shulh} (perdamaian), ma’ruf (toleransi), salam (ketentraman), dan lain sebagainya.
Akhirnya, wallahu A’lam bi al-shawab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui akan kebenaran yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar