Rabu, 29 Desember 2010
Label:
Ibnu Aqil,
Karya,
Perjuangan,
Rayon,
tugas Aqilians All
Selasa, 28 Desember 2010
Wacana Islam dan Kekerasan
Oleh Moh. Isomuddin Aqilians (Sapu Jagad)
Abstract
In recent times, Muslim societies have been plagued by many events that have stuck the world as offensive and even shocking. This has reached the extent that one finds that Islamic culture has become associated with harshness and cruelty in the popular. When one interacts with people from different part of the world, one consistently finds that the image of Islam is not that of the humane religion. From this perspective, the event described above ought not to give us pause; it simply becomes yet another inhumane incident in the history of modern Islam that borders on the incomprehensible and insane. Placed in the context of many other morally offensive events, such us The Satanic Verses and the death sentence against Salman Rushdie, the treatment of women by Taliban, the destruction of the Buddha statues in Afghanistan, the sexual violation of domestic workers in Saudi Arabia, the excommunication writers in Egypt, and the killing of civilians in terrorist attacks, this event seems to be just another chapter in a long Muslim saga of ugliness.
Pra-wacana: Reorientasi Jihad di Dunia Islam.
Di dunia Islam kini, menurut Karen Armstrong, beberapa kalangan Muslim sangat memperhatikan dua masalah. Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah menurut hukum syari’at, hukum Islam. Kedua hal inilah yang dalam perkembangan Islam selanjutnya memperhadapkan Islam dengan etos revolusioner masyarakat Barat yang mendewakan kebebasan. Perjalanan sejarah itulah yang melahirkan apa yang disebut Armstrong sebagai semangat konservatif dalam Islam.
Semangat konservatif selalu menjadikan masa keemasan sebagai pijakan orientasinya, yaitu masa Nabi Muhammad serta masa al-Khulafa>’ al-Rasyidi>n yang meneruskan kekuasaan politik Nabi. Mereka memerintah masyarakat menurut hukum Islam . Nabi Muhammad adalah seorang rasul, sekaligus pimpinan politik dari jamaahnya. Al-Qur'an yang disampaikannya kepada bangsa Arab pada tahun-tahun awal ke-7. menegaskan bahwa kewajiban utama seorang Muslim adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter. Hal ini menuntut jihad—sebuah kata yang, menurut Armstrong, lebih tepat diterjemahkan sebagai “perjuangan” atau “usaha,” dan bukannya “perang suci,” seperti selama ini dianggap orang-orang Barat. Jihad yang dimaksud di sini adalah mencakup segala bidang: baik bidang spiritual, politik, sosial, pribadi, militer, dan ekonomi. Jika seorang Muslim mampu menata kehidupannya dengan memprioritaskan Tuhan dan perwujudan rencana-Nya bagi kemanusiaan, maka ia akan mendapatkan kemantapan personal dan sosial yang membuat dirinya menyatu dengan Tuhan. Memagari satu wilayah kehidupan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang tidak perlu dijihadkan, sama saja dengan melanggar prinsip tauhid—artinya, sama dengan mengingkari Tuhan. Dari perspektif inilah, kemudian, Armstrong menyimpulkan bahwa bagi seorang Muslim yang taat, politik bisa disamakan dengan sakramen dalam istilah Kristen. Dibahasakan dengan cara yang lebih sederhana, politik adalah aktivitas yang harus disakralkan.
Fundamentalisme Konservatif: Sebuah Tinjauan Historis
Ibarat gelombang, semangat konservatif itu mencapai puncaknya pada tahun 1951—yaitu, ketika karya seorang jurnalis dan politisi Pakistan, Abu> al-A’la> al-Maudu>di> (1903-1979) mulai diterbitkan di Mesir. Al-Maudu>di> khawatir Islam akan dihancurkan. Dia melihat kekuatan Barat yang besar bersatu untuk menghancurkan dan melumatkan Islam. Oleh karena itu, umat Muslim harus melawannya. Dasar ideologi al-Maudu>di> adalah doktrin kedaulatan Tuhan. Hal ini, mungkin, bisa dilihat sebagai operasi kekuatan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam diktum Michel Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.
Al-Maudu>di> meyakini nilai suatu ideologi. Dia menganggap Islam merupakan ideologi revolusioner sebagaimana Fasisme dan Marxisme, tapi memiliki perbedaan penting. Kaum Nazi dan Marxis telah memperbudak manusia lain, sementara Islam berusaha untuk membebaskan manusia dari ketundukan kepada apa pun selain Tuhan. Sebuah negara Islam, menurut al-Maudu>di>, adalah bersifat totaliter, sebab negara menyerahkan segala hal kepada Tuhan. Sebagai seorang ideolog ulung, al-Maudu>di> tidak mengembangkan teori ilmiah yang muskil, melainkan mengeluarkan seruan untuk angkat senjata. Dia menuntut jihad universal, yang dia nyatakan sebagai rukun Islam yang utama.
Al-Maudu>di> hanyalah satu contoh kecil dari sekian banyak umat Muslim yang secara ideologis telah mereduksi Islam menjadi program protes satu-satunya melawan kekuatan-kekuatan dominan sistem dunia modern—termasuk, yang paling nyata, hegemoni Barat . Akan tetapi, dalam perkembangannya, apa yang terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against every man seperti dituturkan Hobbes, melainkan berubah menjadi the war of every civilization against every civilization yang menjadi tesis besar Samuel Huntington—ahli politik ternama dari Universitas Harvard dalam sebuah wawancara dengan majalah Time, 28 Juli 1992. Karena tidak ada lagi “rasionalitas universal” untuk menghakimi siapa yang “benar”, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan cara lain. Alhasil, muncullah pameo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut “universal” yang, pada galibnya, berhubungan dengan klaim kebenaran “final”.
Sejak awal, sebagaimana dalam pelbagai catatan sejarah, kaum Muslim percaya bahwa mereka dibebani tugas misi global. Pada awal tahun 628 M, sebelum penaklukan kota Mekah, Nabi Muhammad memulai kampanyenya—yaitu, melalui penulisan suratnya yang terkenal. Inisiatifnya yang gesit tak lain adalah sebuah ajakan untuk memeluk Islam kepada seluruh raja di Balkan dan Timur tengah, termasuk Herakluis I, Kaisar Bizantium di Konstantinopel; Chosroes II, Syah Sasania Persia di Cteiphon; dan Muqauqis, uskup besar Koptik di Alexandria—surat tersebut tertulis di atas kulit dan, hingga saat ini, masih dipamerkan di Museum Topkapi, Istanbul.
Dalam perkembangannya, sebagaimana penuturan Murad W. Hofmann, “ketakutan” menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan karakter hubungan historis antara Timur dan Barat—termasuk, apa yang mereka rasakan dewasa ini. Semua itu bermula dari penyebaran kilat Islam yang menakjubkan di abad ke-7 hingga abad ke-8. Prajurit Arab yang ada—jumlahnya, selalu hanya dalam kisaran 20-30 ribu personel—dengan semangat keagamaan dan keberanian menantang maut, tidak akan mampu melakukan penyebaran yang mencengangkan ini seandainya penduduk Bizantium dan Persia tidak berserah diri secara berbondong-bondong .
Dunia Kristen di Roma dan Konstantinopel tidak dapat menerima semua fakta ini. Mereka tidak dapat memahami signifikansi Islam dalam konteks sejarah agama-agama; Islam menjadi yang pertama dalam upaya pemulihan agama Kristen—yakni, dengan mengembalikannya ke akar Yudeo-Kristennya . Akan tetapi, Barat mempertahankan klaim atas superioritasnya dengan mengkonstruksi sebuah legenda, yaitu bahwa Islam telah disebarkan dengan “api dan pedang.” Yang digaungkan, salah satunya, tidakkah kaum barbar ini pun telah membakar habis Perpustakaan Alexandria yang terkenal itu? Tuduhan seperti ini, ternyata, berhasil dalam menanamkan ketakutan abadi terhadap Islam. Akhirnya, Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan—sebuah prasangka yang, celakanya, hingga saat ini masih sangat kentara setiap kali media melaporkan kejadian-kejadian di dunia Muslim seperti di Aljazair, Mesir, Palestina, atau Kashmir.
Dalam penelusuran sejarahnya, Hofmann menyebut invasi Turki di Wina sebagai cikal-bakal bagi dikaitkannya Islam dengan kekerasan. Pada masa itu, pasukan Islam Turki menebar ancaman ke seantero Eropa. Kavaleri mereka yang hanya bersenjata ringan, bahkan, berhasil membuat takut wilayah bawah Bavaria di Jerman Selatan . Sejak saat itu, maka wajar sekali bila bangsa Eropa mengaitkan Islam dengan kekerasan. Hofmann menyebut hal itu sebagai memori kolektif—misalnya, ungkapan bahwa sejarah telah memberitahu kita: mereka berbahaya, dan kaum Muslim harus diusir. Memori kolektif inilah yang, pada akhirnya, melegitimasi pasukan Salib untuk membabat umat Islam .
Sejarah 1400 tahun hubungan Islam dengan Barat ditandai oleh masa konfrontasi yang panjang dan menyedihkan. Pada mulanya, Barat memahami Islam sebagai ancaman. Kemudian, selama kira-kira 300 tahun dari pertengahan abad ke-18 hingga abad ke-19, Islam diubah menjadi sebuah problem belaka. Akan tetapi, setelah itu, Islam dinaikkan tingkatannya dengan kembali menjadi sebuah ancaman. William Cantwell Smith, baru-baru ini, menggambarkan memori kolektif itu sebagai sindrom:
“Dalam kasus khusus menyangkut Islam, Barat mewarisi sebentuk antagonisme yang berakar pada seribu tahun silam yang, mengenainya, terdapat sangat sedikit orang yang mengetahui keberlangsungannya (sampai hari ini), begitu pula kedalamannya......Terhadap Islam, Barat terkadang ketakutan, dan selama berabad-abad selalu merasa terancam.....Ketakutan dan kebencian Barat saat ini yang diekspresikan dalam bentuk anti-komunisme relatif melunak, dan masanya sangat pendek, dibandingkan dengan persepsi dan emosi Abad Pertengahan yang anti-Islam yang berlangsung berabad-abad.”
Kesan yang sangat tidak menyenangkan semacam itu, menurut Hofmann, acap kali diperparah oleh pelbagai tindakan Muslim sendiri yang cenderung tidak Islami—sesuatu yang hanya akan membuat orang Barat menggelengkan kepala, dan, akhirnya, citra buruk Islam semakin tak terkendali.
Reaktualisasi Konsep Jihad dan Pencitraan Islam
Berbeda dengan Hofmann yang lebih mencermati aspek citra yang tidak seimbang dan cenderung dibuat-buat oleh Barat, Bruce B. Lawrence lebih menyoroti dari sudut pandang Islam sendiri—yakni, Islam yang bergerak, bereaksi, dan tidak statis. Lawrence mengemukakan bahwa ada tiga gerakan Islam yang berskala luas—yang merupakan pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam yang dipicu oleh ekspansi kolonial Eropa pada abad ke-18 dan k-19—yaitu: revivalisme, reformisme, dan fundamentalisme. Revivalisme adalah reaksi pertamanya. Ketika revivalisme gagal mencapai tujuan jangka panjang, gerakan ini digantikan oleh upaya melakukan reformasi Islam dengan menggandeng gerakan-gerakan nasionalis. Ketika gerakan ini juga tidak membuahkan hasil, barulah muncul gerakan Islam fundamentalis.
Gerakan revivalisme, atau kebangkitan kembali, Islam memperebutkan penguasaan atas komoditas-komoditas penting—tekstil, budak, kopi, teh, rempah-rempah, dan emas—yang diperdagangkan melalui jalur-jalur perdagangan utama dari pantai Atlantik Afrika Barat sampai ke Kepulauan Indonesia. Alhasil, berbicara mengenai Islam revivalis berarti mengakui adanya reaksi ideologis dari kelompok-kelompok kepentingan Muslim tertentu atas kerugian yang mereka alami. Islam pun menjadi simbol perlawanan menghadapi penciutan secara bertahap atas perdagangan internal dan eksternal, yang diakibatkan oleh kegiatan dagang negara-negara maritim Eropa—khususnya: Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis.
Adapun kelompok reformis Islam menekankan pada sains dan teknologi dalam bidang pendidikan, pada struktur konstitusi dan demokrasi parlementer di bidang politik, serta peran perempuan yang ditinjau ulang dalam ranah masyarakat. Kaum reformis identik dengan para pemikir Muslim. Oleh karena itu, jumlah mereka tidak banyak . Pun demikian, hampir selalu terdapat kesenjangan di kalangan internal kaum reformis Muslim, yaitu antara mereka yang tertarik dengan prestasi Eropa—dan memetik manfaatnya, tetapi dikemas dalam ungkapan lokal—dan para penentang mereka, dengan alasan bahwa penyesuaian tidak mungkin dilakukan tanpa kehilangan autentisitas.
Selanjutnya, bila orang bisa menunjukkan substansi dari pemikiran Islam fundamentalis, esensinya tak lain adalah respons keagamaan yang cerdik terhadap keterbatasan nasionalisme Arab yang bergaya sekular . Yang tampak dari kalangan fundamentalis adalah cara mereka mengemas bahasa emosional dalam upaya perlawanan mereka. Penting untuk dicuplik di sini, sebagai sebuah acuan, sebuah kecaman terhadap Barat yang disampaikan oleh Dr. Mohammed Sakr—profesor ekonomi di Universitas Amman, memperoleh gelar Ph.D. ekonomi dari Universitas Harvard, dan anggota cabang Ikhwan al-Muslimin di Yordania. Dalam wawancara di sebuah majalah, Dr. Sakr mengatakan, “Barat anti kita”. Alternatif bagi Barat adalah dunia Islam yang bersatu, yang memungkinkan negara-negara berbagi sumber daya mereka dengan cara saling melengapi. “Baberapa negara seperti Arab Saudi dan Qatar memiliki uang, sementara yang lainnya seperti Yordania dan Mesir memiliki tenaga kerja. Persatuan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semuanya.” Persatuan akan memungkinkan manfaat eksploitasi minyak untuk dibagi bersama karena “saat ini kekayaan dari kawasan ini berada di tangan segelintir Syekh , sementara mayoritas masyarakat tetap miskin.” Ia memperingatkan bahwa pada akhirnya massa akan main hakim sendiri. Lalu, apa yang harus dilakukan Barat? Ada dua hal: pertama, Barat harus memperhatikan bahwa “kita memiliki jutaan orang yang berpendidikan AS yang bukan budak Barat”; dan yang kedua, perusahaan-perusahaan Eropa-Amerika harus berhenti memerah kawasan ini, dan sebaiknya membiarkan warga kawasan ini mengatur dirinya sendiri “tanpa dikte dari Washington, Paris, atau Bonn.” Bentuk tudingan yang berbau kekesalan inilah yang, menurut Lawrence, menggambarkan nuansa wacana yang jamak di kalangan fundamentalis Islam.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, salah satu solusi yang sangat konstruktif, menurut hemat penulis, adalah proposal metodologis yang diajukan oleh Khaled Abou El Fadl—profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat. Abou El Fadl memilih untuk menegosiasikan bentuk-bentuk kekerasan yang sering dipraktikkan kalangan Muslim fundamentalis dengan konsep-konsep al-Qur'an yang anti-kekerasan. Hal ini dipicu oleh anggapan sebagian kalangan non-Muslim di dunia yang, menurut Abou El Fadl, telah menjadikan Islam sebagai simbol tradisi yang bengis—yakni, dengan hanya memberikan tekanan dalam jumlah yang kecil akan belas kasih dan sikap memaafkan terhadap kemanusiaan. Tak berlebihan kiranya tatkala seorang Muslim berinteraksi dengan pelbagai kalangan yang beraneka ragam di dunia ini, kecenderungannya adalah ia akan senantiasa menemukan kesan bahwa agamanya bukanlah agama humanis.
Tidak ada aspek di dalam agama Islam yang begitu mendapat sorotan masyarakat dan semua media melebihi isu jihad dan terorisme . Pada kenyataannya, topik jihad di dalam Islam berdiri di atas fondasi banyaknya pernyataan tentang kemampuan Islam untuk hidup bersama dan bekerja sama dengan kaum non-Muslim. Sekalipun terdapat tulisan-tulisan perihal topik tersebut, namun apa yang masih menimbulkan teka-teki adalah bagaimana sedemikian banyak umat Islam memahami doktrin tersebut secara begitu berbeda. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi bahwa banyak dari apa yang ditulis tentang jihad itu kurang berwawasan atau buruk. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri pula bahwa khususnya di era modern ini, pernyataan-pernyataan dan perilaku orang Islam telah menjadikan konsep jihad kian membingungkan dan bahkan kacau-balau.
Abou El Fadl sendiri berpendapat bahwa jihad merupakan prinsip utama dalam akidah Islam. Istilah jihad sendiri secara harfiah berarti “berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, dan mempertahankan.” Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimungkinkan tanpa jihad—yaitu, tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, menyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk jihad.
Al-Qur'an tidak menggunakan istilah jiha>d untuk merujuk pada perang atau pertempuran; perang atau pertempuran dirujuk dengan kata qita>l. Sementara al-Qur'an menyebut jihad sebagai mutlak (unconditional) dan tak terbatas (unrestricted), hal yang sama tak berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu yang pada dasarnya baik, sementara qita>l tidak demikian. Setiap acuan di dalam al-Qur'an pada qita>l itu dibatasi oleh kondisi tertentu; tetapi, desakan akan jihad (exhortations to jihad), seperti acuan pada keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat. Pada tiap kesempatan terpisah ketika al-Qur'an mendesak umat Islam untuk berperang, al-Qur'an segera mensyaratkan tuntutan itu dengan sebuah perintah kepada kaum beriman untuk tidak melampaui batas (transgress) , untuk memaafkan, dan mencari perdamaian.
Dalam al-Qur'an disebutkan:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Baqarah [2]: 190).
Abou El Fadl juga menegaskan bahwa justifikasi untuk memerangi non-Muslim secara langsung berbanding lurus dengan ancaman fisik yang mereka tunjukkan kepada umat Islam. Jika kaum non-Muslim tidak mengancam atau hendak merusak umat Islam, maka memerangi mereka tidaklah dibenarkan. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, ketidakimanan atau kekafiran (kufr) bukanlah alasan yang memadai untuk memerangi mereka karena pada dasarnya mengakhiri hidup manusia itu tidaklah dibenarkan .
Kesimpulan
Di zaman ketika wibawa agama mulai goyah—dan hidup dalam agama, tampaknya, menjadi laku yang tegang—kita memerlukan sebuah halte kecil untuk sejenak berpikir, berdialog, dan berusaha untuk menggali kearifan moral di dalam ajaran agama. Bukankah Nabi Muhammad SAW, sang penerima wahyu Islam, diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam? Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita dapat menampilkan Islam sebagai agama rahmat itu sendiri.
Proposal metodologis yang ditawarkan Khaled Abou Fadl, misalnya, barangkali memang sudah semestinya kita terjemahkan ke dunia praktis. Interpretasi konsep jihad memang tengah mendesak untuk dinegosiasikan dengan konsep-konsep lain yang juga bersumber dari al-Qu’an, seperti konsep shulh} (perdamaian), ma’ruf (toleransi), salam (ketentraman), dan lain sebagainya.
Akhirnya, wallahu A’lam bi al-shawab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui akan kebenaran yang sejati.
Read More..
Abstract
In recent times, Muslim societies have been plagued by many events that have stuck the world as offensive and even shocking. This has reached the extent that one finds that Islamic culture has become associated with harshness and cruelty in the popular. When one interacts with people from different part of the world, one consistently finds that the image of Islam is not that of the humane religion. From this perspective, the event described above ought not to give us pause; it simply becomes yet another inhumane incident in the history of modern Islam that borders on the incomprehensible and insane. Placed in the context of many other morally offensive events, such us The Satanic Verses and the death sentence against Salman Rushdie, the treatment of women by Taliban, the destruction of the Buddha statues in Afghanistan, the sexual violation of domestic workers in Saudi Arabia, the excommunication writers in Egypt, and the killing of civilians in terrorist attacks, this event seems to be just another chapter in a long Muslim saga of ugliness.
Pra-wacana: Reorientasi Jihad di Dunia Islam.
Di dunia Islam kini, menurut Karen Armstrong, beberapa kalangan Muslim sangat memperhatikan dua masalah. Pertama, mereka menolak sekularisme masyarakat Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kedua, banyak umat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diperintah menurut hukum syari’at, hukum Islam. Kedua hal inilah yang dalam perkembangan Islam selanjutnya memperhadapkan Islam dengan etos revolusioner masyarakat Barat yang mendewakan kebebasan. Perjalanan sejarah itulah yang melahirkan apa yang disebut Armstrong sebagai semangat konservatif dalam Islam.
Semangat konservatif selalu menjadikan masa keemasan sebagai pijakan orientasinya, yaitu masa Nabi Muhammad serta masa al-Khulafa>’ al-Rasyidi>n yang meneruskan kekuasaan politik Nabi. Mereka memerintah masyarakat menurut hukum Islam . Nabi Muhammad adalah seorang rasul, sekaligus pimpinan politik dari jamaahnya. Al-Qur'an yang disampaikannya kepada bangsa Arab pada tahun-tahun awal ke-7. menegaskan bahwa kewajiban utama seorang Muslim adalah untuk menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter. Hal ini menuntut jihad—sebuah kata yang, menurut Armstrong, lebih tepat diterjemahkan sebagai “perjuangan” atau “usaha,” dan bukannya “perang suci,” seperti selama ini dianggap orang-orang Barat. Jihad yang dimaksud di sini adalah mencakup segala bidang: baik bidang spiritual, politik, sosial, pribadi, militer, dan ekonomi. Jika seorang Muslim mampu menata kehidupannya dengan memprioritaskan Tuhan dan perwujudan rencana-Nya bagi kemanusiaan, maka ia akan mendapatkan kemantapan personal dan sosial yang membuat dirinya menyatu dengan Tuhan. Memagari satu wilayah kehidupan dan menganggapnya sebagai suatu hal yang tidak perlu dijihadkan, sama saja dengan melanggar prinsip tauhid—artinya, sama dengan mengingkari Tuhan. Dari perspektif inilah, kemudian, Armstrong menyimpulkan bahwa bagi seorang Muslim yang taat, politik bisa disamakan dengan sakramen dalam istilah Kristen. Dibahasakan dengan cara yang lebih sederhana, politik adalah aktivitas yang harus disakralkan.
Fundamentalisme Konservatif: Sebuah Tinjauan Historis
Ibarat gelombang, semangat konservatif itu mencapai puncaknya pada tahun 1951—yaitu, ketika karya seorang jurnalis dan politisi Pakistan, Abu> al-A’la> al-Maudu>di> (1903-1979) mulai diterbitkan di Mesir. Al-Maudu>di> khawatir Islam akan dihancurkan. Dia melihat kekuatan Barat yang besar bersatu untuk menghancurkan dan melumatkan Islam. Oleh karena itu, umat Muslim harus melawannya. Dasar ideologi al-Maudu>di> adalah doktrin kedaulatan Tuhan. Hal ini, mungkin, bisa dilihat sebagai operasi kekuatan yang jauh lebih berbahaya daripada represi: semacam productive power, meminjam diktum Michel Foucault, yang bekerja lewat pemikiran orang.
Al-Maudu>di> meyakini nilai suatu ideologi. Dia menganggap Islam merupakan ideologi revolusioner sebagaimana Fasisme dan Marxisme, tapi memiliki perbedaan penting. Kaum Nazi dan Marxis telah memperbudak manusia lain, sementara Islam berusaha untuk membebaskan manusia dari ketundukan kepada apa pun selain Tuhan. Sebuah negara Islam, menurut al-Maudu>di>, adalah bersifat totaliter, sebab negara menyerahkan segala hal kepada Tuhan. Sebagai seorang ideolog ulung, al-Maudu>di> tidak mengembangkan teori ilmiah yang muskil, melainkan mengeluarkan seruan untuk angkat senjata. Dia menuntut jihad universal, yang dia nyatakan sebagai rukun Islam yang utama.
Al-Maudu>di> hanyalah satu contoh kecil dari sekian banyak umat Muslim yang secara ideologis telah mereduksi Islam menjadi program protes satu-satunya melawan kekuatan-kekuatan dominan sistem dunia modern—termasuk, yang paling nyata, hegemoni Barat . Akan tetapi, dalam perkembangannya, apa yang terjadi adalah drama bellum omnium contra omnes bukan lagi sekadar the war of every man against every man seperti dituturkan Hobbes, melainkan berubah menjadi the war of every civilization against every civilization yang menjadi tesis besar Samuel Huntington—ahli politik ternama dari Universitas Harvard dalam sebuah wawancara dengan majalah Time, 28 Juli 1992. Karena tidak ada lagi “rasionalitas universal” untuk menghakimi siapa yang “benar”, maka kompetisi klaim harus diselesaikan dengan cara lain. Alhasil, muncullah pameo might is right, kekuatanlah yang akan menentukan siapa-siapa yang pantas disebut “universal” yang, pada galibnya, berhubungan dengan klaim kebenaran “final”.
Sejak awal, sebagaimana dalam pelbagai catatan sejarah, kaum Muslim percaya bahwa mereka dibebani tugas misi global. Pada awal tahun 628 M, sebelum penaklukan kota Mekah, Nabi Muhammad memulai kampanyenya—yaitu, melalui penulisan suratnya yang terkenal. Inisiatifnya yang gesit tak lain adalah sebuah ajakan untuk memeluk Islam kepada seluruh raja di Balkan dan Timur tengah, termasuk Herakluis I, Kaisar Bizantium di Konstantinopel; Chosroes II, Syah Sasania Persia di Cteiphon; dan Muqauqis, uskup besar Koptik di Alexandria—surat tersebut tertulis di atas kulit dan, hingga saat ini, masih dipamerkan di Museum Topkapi, Istanbul.
Dalam perkembangannya, sebagaimana penuturan Murad W. Hofmann, “ketakutan” menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan karakter hubungan historis antara Timur dan Barat—termasuk, apa yang mereka rasakan dewasa ini. Semua itu bermula dari penyebaran kilat Islam yang menakjubkan di abad ke-7 hingga abad ke-8. Prajurit Arab yang ada—jumlahnya, selalu hanya dalam kisaran 20-30 ribu personel—dengan semangat keagamaan dan keberanian menantang maut, tidak akan mampu melakukan penyebaran yang mencengangkan ini seandainya penduduk Bizantium dan Persia tidak berserah diri secara berbondong-bondong .
Dunia Kristen di Roma dan Konstantinopel tidak dapat menerima semua fakta ini. Mereka tidak dapat memahami signifikansi Islam dalam konteks sejarah agama-agama; Islam menjadi yang pertama dalam upaya pemulihan agama Kristen—yakni, dengan mengembalikannya ke akar Yudeo-Kristennya . Akan tetapi, Barat mempertahankan klaim atas superioritasnya dengan mengkonstruksi sebuah legenda, yaitu bahwa Islam telah disebarkan dengan “api dan pedang.” Yang digaungkan, salah satunya, tidakkah kaum barbar ini pun telah membakar habis Perpustakaan Alexandria yang terkenal itu? Tuduhan seperti ini, ternyata, berhasil dalam menanamkan ketakutan abadi terhadap Islam. Akhirnya, Islam selalu dikaitkan dengan kekerasan—sebuah prasangka yang, celakanya, hingga saat ini masih sangat kentara setiap kali media melaporkan kejadian-kejadian di dunia Muslim seperti di Aljazair, Mesir, Palestina, atau Kashmir.
Dalam penelusuran sejarahnya, Hofmann menyebut invasi Turki di Wina sebagai cikal-bakal bagi dikaitkannya Islam dengan kekerasan. Pada masa itu, pasukan Islam Turki menebar ancaman ke seantero Eropa. Kavaleri mereka yang hanya bersenjata ringan, bahkan, berhasil membuat takut wilayah bawah Bavaria di Jerman Selatan . Sejak saat itu, maka wajar sekali bila bangsa Eropa mengaitkan Islam dengan kekerasan. Hofmann menyebut hal itu sebagai memori kolektif—misalnya, ungkapan bahwa sejarah telah memberitahu kita: mereka berbahaya, dan kaum Muslim harus diusir. Memori kolektif inilah yang, pada akhirnya, melegitimasi pasukan Salib untuk membabat umat Islam .
Sejarah 1400 tahun hubungan Islam dengan Barat ditandai oleh masa konfrontasi yang panjang dan menyedihkan. Pada mulanya, Barat memahami Islam sebagai ancaman. Kemudian, selama kira-kira 300 tahun dari pertengahan abad ke-18 hingga abad ke-19, Islam diubah menjadi sebuah problem belaka. Akan tetapi, setelah itu, Islam dinaikkan tingkatannya dengan kembali menjadi sebuah ancaman. William Cantwell Smith, baru-baru ini, menggambarkan memori kolektif itu sebagai sindrom:
“Dalam kasus khusus menyangkut Islam, Barat mewarisi sebentuk antagonisme yang berakar pada seribu tahun silam yang, mengenainya, terdapat sangat sedikit orang yang mengetahui keberlangsungannya (sampai hari ini), begitu pula kedalamannya......Terhadap Islam, Barat terkadang ketakutan, dan selama berabad-abad selalu merasa terancam.....Ketakutan dan kebencian Barat saat ini yang diekspresikan dalam bentuk anti-komunisme relatif melunak, dan masanya sangat pendek, dibandingkan dengan persepsi dan emosi Abad Pertengahan yang anti-Islam yang berlangsung berabad-abad.”
Kesan yang sangat tidak menyenangkan semacam itu, menurut Hofmann, acap kali diperparah oleh pelbagai tindakan Muslim sendiri yang cenderung tidak Islami—sesuatu yang hanya akan membuat orang Barat menggelengkan kepala, dan, akhirnya, citra buruk Islam semakin tak terkendali.
Reaktualisasi Konsep Jihad dan Pencitraan Islam
Berbeda dengan Hofmann yang lebih mencermati aspek citra yang tidak seimbang dan cenderung dibuat-buat oleh Barat, Bruce B. Lawrence lebih menyoroti dari sudut pandang Islam sendiri—yakni, Islam yang bergerak, bereaksi, dan tidak statis. Lawrence mengemukakan bahwa ada tiga gerakan Islam yang berskala luas—yang merupakan pola interaksi antara Eropa dan dunia Islam yang dipicu oleh ekspansi kolonial Eropa pada abad ke-18 dan k-19—yaitu: revivalisme, reformisme, dan fundamentalisme. Revivalisme adalah reaksi pertamanya. Ketika revivalisme gagal mencapai tujuan jangka panjang, gerakan ini digantikan oleh upaya melakukan reformasi Islam dengan menggandeng gerakan-gerakan nasionalis. Ketika gerakan ini juga tidak membuahkan hasil, barulah muncul gerakan Islam fundamentalis.
Gerakan revivalisme, atau kebangkitan kembali, Islam memperebutkan penguasaan atas komoditas-komoditas penting—tekstil, budak, kopi, teh, rempah-rempah, dan emas—yang diperdagangkan melalui jalur-jalur perdagangan utama dari pantai Atlantik Afrika Barat sampai ke Kepulauan Indonesia. Alhasil, berbicara mengenai Islam revivalis berarti mengakui adanya reaksi ideologis dari kelompok-kelompok kepentingan Muslim tertentu atas kerugian yang mereka alami. Islam pun menjadi simbol perlawanan menghadapi penciutan secara bertahap atas perdagangan internal dan eksternal, yang diakibatkan oleh kegiatan dagang negara-negara maritim Eropa—khususnya: Portugal, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis.
Adapun kelompok reformis Islam menekankan pada sains dan teknologi dalam bidang pendidikan, pada struktur konstitusi dan demokrasi parlementer di bidang politik, serta peran perempuan yang ditinjau ulang dalam ranah masyarakat. Kaum reformis identik dengan para pemikir Muslim. Oleh karena itu, jumlah mereka tidak banyak . Pun demikian, hampir selalu terdapat kesenjangan di kalangan internal kaum reformis Muslim, yaitu antara mereka yang tertarik dengan prestasi Eropa—dan memetik manfaatnya, tetapi dikemas dalam ungkapan lokal—dan para penentang mereka, dengan alasan bahwa penyesuaian tidak mungkin dilakukan tanpa kehilangan autentisitas.
Selanjutnya, bila orang bisa menunjukkan substansi dari pemikiran Islam fundamentalis, esensinya tak lain adalah respons keagamaan yang cerdik terhadap keterbatasan nasionalisme Arab yang bergaya sekular . Yang tampak dari kalangan fundamentalis adalah cara mereka mengemas bahasa emosional dalam upaya perlawanan mereka. Penting untuk dicuplik di sini, sebagai sebuah acuan, sebuah kecaman terhadap Barat yang disampaikan oleh Dr. Mohammed Sakr—profesor ekonomi di Universitas Amman, memperoleh gelar Ph.D. ekonomi dari Universitas Harvard, dan anggota cabang Ikhwan al-Muslimin di Yordania. Dalam wawancara di sebuah majalah, Dr. Sakr mengatakan, “Barat anti kita”. Alternatif bagi Barat adalah dunia Islam yang bersatu, yang memungkinkan negara-negara berbagi sumber daya mereka dengan cara saling melengapi. “Baberapa negara seperti Arab Saudi dan Qatar memiliki uang, sementara yang lainnya seperti Yordania dan Mesir memiliki tenaga kerja. Persatuan akan mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semuanya.” Persatuan akan memungkinkan manfaat eksploitasi minyak untuk dibagi bersama karena “saat ini kekayaan dari kawasan ini berada di tangan segelintir Syekh , sementara mayoritas masyarakat tetap miskin.” Ia memperingatkan bahwa pada akhirnya massa akan main hakim sendiri. Lalu, apa yang harus dilakukan Barat? Ada dua hal: pertama, Barat harus memperhatikan bahwa “kita memiliki jutaan orang yang berpendidikan AS yang bukan budak Barat”; dan yang kedua, perusahaan-perusahaan Eropa-Amerika harus berhenti memerah kawasan ini, dan sebaiknya membiarkan warga kawasan ini mengatur dirinya sendiri “tanpa dikte dari Washington, Paris, atau Bonn.” Bentuk tudingan yang berbau kekesalan inilah yang, menurut Lawrence, menggambarkan nuansa wacana yang jamak di kalangan fundamentalis Islam.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, salah satu solusi yang sangat konstruktif, menurut hemat penulis, adalah proposal metodologis yang diajukan oleh Khaled Abou El Fadl—profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat. Abou El Fadl memilih untuk menegosiasikan bentuk-bentuk kekerasan yang sering dipraktikkan kalangan Muslim fundamentalis dengan konsep-konsep al-Qur'an yang anti-kekerasan. Hal ini dipicu oleh anggapan sebagian kalangan non-Muslim di dunia yang, menurut Abou El Fadl, telah menjadikan Islam sebagai simbol tradisi yang bengis—yakni, dengan hanya memberikan tekanan dalam jumlah yang kecil akan belas kasih dan sikap memaafkan terhadap kemanusiaan. Tak berlebihan kiranya tatkala seorang Muslim berinteraksi dengan pelbagai kalangan yang beraneka ragam di dunia ini, kecenderungannya adalah ia akan senantiasa menemukan kesan bahwa agamanya bukanlah agama humanis.
Tidak ada aspek di dalam agama Islam yang begitu mendapat sorotan masyarakat dan semua media melebihi isu jihad dan terorisme . Pada kenyataannya, topik jihad di dalam Islam berdiri di atas fondasi banyaknya pernyataan tentang kemampuan Islam untuk hidup bersama dan bekerja sama dengan kaum non-Muslim. Sekalipun terdapat tulisan-tulisan perihal topik tersebut, namun apa yang masih menimbulkan teka-teki adalah bagaimana sedemikian banyak umat Islam memahami doktrin tersebut secara begitu berbeda. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi bahwa banyak dari apa yang ditulis tentang jihad itu kurang berwawasan atau buruk. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri pula bahwa khususnya di era modern ini, pernyataan-pernyataan dan perilaku orang Islam telah menjadikan konsep jihad kian membingungkan dan bahkan kacau-balau.
Abou El Fadl sendiri berpendapat bahwa jihad merupakan prinsip utama dalam akidah Islam. Istilah jihad sendiri secara harfiah berarti “berusaha keras, tekun bekerja, berjuang, dan mempertahankan.” Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang kuat secara spiritual dan material di dalam Islam. Kesalehan, pengetahuan, kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan tidaklah dimungkinkan tanpa jihad—yaitu, tanpa kerja keras berkesinambungan dan tekun. Oleh karena itu, membersihkan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut ilmu, menyembuhkan orang yang sakit, memberi makan kaum papa, menegakkan kebenaran dan keadilan, bahkan dengan risiko pribadi yang besar, semuanya adalah bentuk jihad.
Al-Qur'an tidak menggunakan istilah jiha>d untuk merujuk pada perang atau pertempuran; perang atau pertempuran dirujuk dengan kata qita>l. Sementara al-Qur'an menyebut jihad sebagai mutlak (unconditional) dan tak terbatas (unrestricted), hal yang sama tak berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu yang pada dasarnya baik, sementara qita>l tidak demikian. Setiap acuan di dalam al-Qur'an pada qita>l itu dibatasi oleh kondisi tertentu; tetapi, desakan akan jihad (exhortations to jihad), seperti acuan pada keadilan dan kebenaran, mutlak dan tak bersyarat. Pada tiap kesempatan terpisah ketika al-Qur'an mendesak umat Islam untuk berperang, al-Qur'an segera mensyaratkan tuntutan itu dengan sebuah perintah kepada kaum beriman untuk tidak melampaui batas (transgress) , untuk memaafkan, dan mencari perdamaian.
Dalam al-Qur'an disebutkan:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Baqarah [2]: 190).
Abou El Fadl juga menegaskan bahwa justifikasi untuk memerangi non-Muslim secara langsung berbanding lurus dengan ancaman fisik yang mereka tunjukkan kepada umat Islam. Jika kaum non-Muslim tidak mengancam atau hendak merusak umat Islam, maka memerangi mereka tidaklah dibenarkan. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, ketidakimanan atau kekafiran (kufr) bukanlah alasan yang memadai untuk memerangi mereka karena pada dasarnya mengakhiri hidup manusia itu tidaklah dibenarkan .
Kesimpulan
Di zaman ketika wibawa agama mulai goyah—dan hidup dalam agama, tampaknya, menjadi laku yang tegang—kita memerlukan sebuah halte kecil untuk sejenak berpikir, berdialog, dan berusaha untuk menggali kearifan moral di dalam ajaran agama. Bukankah Nabi Muhammad SAW, sang penerima wahyu Islam, diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam? Oleh karena itu, yang terpenting bagi kita adalah bagaimana kita dapat menampilkan Islam sebagai agama rahmat itu sendiri.
Proposal metodologis yang ditawarkan Khaled Abou Fadl, misalnya, barangkali memang sudah semestinya kita terjemahkan ke dunia praktis. Interpretasi konsep jihad memang tengah mendesak untuk dinegosiasikan dengan konsep-konsep lain yang juga bersumber dari al-Qu’an, seperti konsep shulh} (perdamaian), ma’ruf (toleransi), salam (ketentraman), dan lain sebagainya.
Akhirnya, wallahu A’lam bi al-shawab, hanya Allah Yang Maha Mengetahui akan kebenaran yang sejati.
Read More..
Label:
Artikel,
English,
Filsafat,
Ibnu Aqil,
Karya,
Makalah,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon
Minggu, 12 Desember 2010
Kepemimpinan “Ideal” ala Shodr al-Islam
Oleh: Dung de Jogle
Ada beberapa hal yang penting namakala berbicara masalah kepemimpinan. Yaitu pemimpin, pola kepemimpinan dan yang dipimpin. Semua orang bisa dan pasti menjadi pemimpin setidaknya memimpin dirinya sendiri. Kullukum ro’in wakullukum mas’ulun an ro’iyyatihi. Akan tetapi, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin yang benar and baik (baca: Ideal). Perlu beberapa syarat dan faktor pendukung. Salah satu dari syarat tersebut adalah adanya team yang mampu dibidangnya.
Keberhasilan rosulullah –jika memang dianggap berhasil- dalam membentuk negara madinah juga tidak bisa lepas dari peranan team yang dalam hal ini adalah sahabat-sahabat Nabi. Sahabat Abu Bakar misalnya, ia sosok yang jujur dan santun, sahabat Umar bin Khottob sosok yang sangat berani, perkasa dan disegani, Utsman bin Affan sosok yang sangat dermawan, dan Ali bin Talib sosok yang cerdas dan progresif dibidang keilmuan. Selain juga para sahabat-sahabat yang lain seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya...
Pada konteks pemerintahan, para sahabat nabi -selain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagai ahli tafsir- memiliki peran penting dalam pemerintahan. Kejujuran Abu Bakar menggambarkan bahwa kepemimpinan dalam sebuah oraganisasi atau negara, harus ada kejujuran antara pemimpin dan yang dipimpin. Yang diawali dengan adanya keterbukaan. Keperkasaan dan keberanian sahabat Umar menggambarkan pertahanan bagi sebuah negara harus kuat dan kokoh. Hal ini untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Kedermawanan Utsman menggambarkan bahwa dalam sebuah negara harus Pro-rakyat. Untuk menjadi bangsa yang mamiliki peradaban yang tinggi, sosok Ali menggambarkan bahwa sebuah bangsa yang maju harus cerdas baik pemimpinnya ataupun yang dipimpin (baca: masyarakat).
Terlepas bahwa rosulullah merupakan insan kamil dan manusia pilihan, disinilah, menurut penulis letak keberhasilan rosulullah dalam mempertahankan dan menciptakan masyarakat yang madani dan negara yang tamaddun. Selain akhlak -yang ada pada dirinya-, rosulullah sadar bahwa bangsa yang beradab dan berdaulat harus memiliki kejujuran, kekuatan, kedermawanan dan kecerdasan.
Akan tetapi, hari ini, muncul permasalahan manakala berbicara kepemimpinan, orang sudah berlomba-lomba untuk “menjadi” pemimpin, bukan “dijadikan” pemimpin, yang berasaskan kepentingan Pribadi atau kelomok tertentu. Bukan berasaskan pada potensi diri dan pondasi-pondasi di atas, harta dan masa yang banyak menjadi senjata utamanya. Sehingga segala cara dilakukan untuk mencapainya, menjadi pemimpin. Sedangkan orang yang “dijadikan” pemimpin, akan selalu berusaha untuk menjadi orang baik, tidak hanya dijadikan orang penting. “Menjadi orang penting itu baik tetapi menjadi orang baik itu jauh lebih penting”, kata orang bijak.
Akhirnya, berangkat dari kepentingan itulah, pola kepemimpinan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan (sempurna). Wallahau a’lam. Read More..
Ada beberapa hal yang penting namakala berbicara masalah kepemimpinan. Yaitu pemimpin, pola kepemimpinan dan yang dipimpin. Semua orang bisa dan pasti menjadi pemimpin setidaknya memimpin dirinya sendiri. Kullukum ro’in wakullukum mas’ulun an ro’iyyatihi. Akan tetapi, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin yang benar and baik (baca: Ideal). Perlu beberapa syarat dan faktor pendukung. Salah satu dari syarat tersebut adalah adanya team yang mampu dibidangnya.
Keberhasilan rosulullah –jika memang dianggap berhasil- dalam membentuk negara madinah juga tidak bisa lepas dari peranan team yang dalam hal ini adalah sahabat-sahabat Nabi. Sahabat Abu Bakar misalnya, ia sosok yang jujur dan santun, sahabat Umar bin Khottob sosok yang sangat berani, perkasa dan disegani, Utsman bin Affan sosok yang sangat dermawan, dan Ali bin Talib sosok yang cerdas dan progresif dibidang keilmuan. Selain juga para sahabat-sahabat yang lain seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya...
Pada konteks pemerintahan, para sahabat nabi -selain Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas sebagai ahli tafsir- memiliki peran penting dalam pemerintahan. Kejujuran Abu Bakar menggambarkan bahwa kepemimpinan dalam sebuah oraganisasi atau negara, harus ada kejujuran antara pemimpin dan yang dipimpin. Yang diawali dengan adanya keterbukaan. Keperkasaan dan keberanian sahabat Umar menggambarkan pertahanan bagi sebuah negara harus kuat dan kokoh. Hal ini untuk mempertahankan kedaulatan sebuah negara. Kedermawanan Utsman menggambarkan bahwa dalam sebuah negara harus Pro-rakyat. Untuk menjadi bangsa yang mamiliki peradaban yang tinggi, sosok Ali menggambarkan bahwa sebuah bangsa yang maju harus cerdas baik pemimpinnya ataupun yang dipimpin (baca: masyarakat).
Terlepas bahwa rosulullah merupakan insan kamil dan manusia pilihan, disinilah, menurut penulis letak keberhasilan rosulullah dalam mempertahankan dan menciptakan masyarakat yang madani dan negara yang tamaddun. Selain akhlak -yang ada pada dirinya-, rosulullah sadar bahwa bangsa yang beradab dan berdaulat harus memiliki kejujuran, kekuatan, kedermawanan dan kecerdasan.
Akan tetapi, hari ini, muncul permasalahan manakala berbicara kepemimpinan, orang sudah berlomba-lomba untuk “menjadi” pemimpin, bukan “dijadikan” pemimpin, yang berasaskan kepentingan Pribadi atau kelomok tertentu. Bukan berasaskan pada potensi diri dan pondasi-pondasi di atas, harta dan masa yang banyak menjadi senjata utamanya. Sehingga segala cara dilakukan untuk mencapainya, menjadi pemimpin. Sedangkan orang yang “dijadikan” pemimpin, akan selalu berusaha untuk menjadi orang baik, tidak hanya dijadikan orang penting. “Menjadi orang penting itu baik tetapi menjadi orang baik itu jauh lebih penting”, kata orang bijak.
Akhirnya, berangkat dari kepentingan itulah, pola kepemimpinan tidak akan berjalan seperti yang diharapkan (sempurna). Wallahau a’lam. Read More..
Label:
Artikel,
Filsafat,
Ibnu Aqil,
Karya,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon,
Sejarah
Rabu, 08 Desember 2010
Pemahaman Fiqih yang Moderat
Moh. Isomuddin AQILIANS (Sapu Jagad)
Menurut Yusuf al-Qardhawy, kecenderungan pemahaman fiqih dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Pemahaman yang ekstem dan cenderung menyulitkan (ghuluw, tasyaddud)
2. Pemahaman yang moderat (i’tidal).
3. Pemahaman yang cenderung memudah-mudahkan dan jahil (tasahhul, tarakhkhush)
Pemahaman yang pertama ini biasanya timbul dari seseorang yang belum begitu memahami secara mendalam syari’ah Islam. Akibatnya , dalam memandang syari’ah, dia bagaikan seekor kuda bendi yang ditutup samping matanya sehingga hanya bisa melihat pada satu sisi saja.
Corak pemahaman yang ketiga biasanya terjadi pada seseorang yang sudah mempelajari seluk-beluk syari’ah, namun didalam hatinya ada penyakit. Hal ini antara lain karena
pemahaman aqidahnya belum benar , belum datangnya hidayah Allah, ataupun berbagai sebab yang lain. Tipe orang ini sangat membahayakan ummat sebab dia biasanya pandai berbicara dan mengemukakan argumentasi tetapi dibalik itu terbersit sesuatu yang sangat jahat.
Pemahaman yang paling tepat adalah yang kedua. Moderat disini hendaknya diartikan pada tempatnya dan jangan diartikan sebagaaimana kesalahkaprahan sebagian orang sekarang ini. Dalam corak pemahaman ini, syari’ah ditempatkan dalam posisi yang luwes, tergantung pada masa, situasi, dan kondisi namun tetap tidak akan pernah melampaui pokok-pokok syari’ah itu sendiri.
ANALISIS
Sebetulnya, syari’ah Islam sangatlah indah apabila berhasil dipahami dengan benar. Keindahan itu antara lain terletak pada elastisitasnya dan keadilannya. Elastisitas syari’ah Islam dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menuntutnya, sehingga akan benar-benar tampak oleh mata betapa tinggi keadilan Islam.
Selama ini, kekakuan dan kejumudan dalam memahami syari’ ah antara lain disebabkan oleh pola pikir yang salah. Beberapa kalangan memahami fiqih hanya dengan cara taqlid semata. Mereka secara membabibuta berpegang dengan kuatnya pada salah satu madzhab tanpa pernah meneliti pada situasi dan kondisi seperti apa para imam madzhab tersebut mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Hal ini penting karena para imam tersebut tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi tertentu dalam berfatwa.Karenanya, yang harus kita pegang teguh dari para imam tersebut adalah pola (kerangka) pikir mereka dan bukan hasil pemikiran mereka, karena hasil pemikiran dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, padahal situasi dan koindisi yang kita alami belum tentu sama dengan yang dialami oleh para imam tersebut.
Hal tersebut dengan jelas terbukti pada diri Imam Syafi’i. Pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir tidaklah sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya (ketika di Irak).Pendapat-pendapatnya selama di Irak kini dikenal dengan qaulul qadim sedangkan selama di Mesir dikenal denga qaulul jadid. Dengan demikian pola pikir kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut (taqlid al-manhaj} dan bukan berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid al-qaul).
Untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui seperti apa pola pikir mereka. Dalam hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-istimbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah) dan kaidah fiqhiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih dan fiqih itu sendiri.
Untuk bisa berijtihad dengan lebih tepat, masih ada lagi satu perangkat ilmu yang dibutuhkan yaitu falsafah at-tasyri’ (filsafat pensyariatan hukum-hukum Islam). Dengan perangkat ini, seorang mujtahid akan dapat meng-istimbath segala macam hukum dengan tepat dan luwes, jauh dari kesempitan, kepicikan, dan kejahilan, sesuai dengan tuntutan jaman, situasi, dan kondisi.
Falsafah at-tasyri’ merupakan kajian fiqih yang tertinggi. Kajian ini akan banyak bersinggungan (overlap) dengan kajian tasawuf. Dalam kajian ini, istilah-istilah fiqih dan ushul fiqih sudah jarang ditemui. Beberapa kalangan mempelajari kajian ini dengan nama yang lain, yaitu hikmah at-tasyri’ ataupun asrar al-ahkam ( rahasia-rahasia hukum Islam).
Karena itu, setelah seseorang mengkaji falsafah at-tasyri’, biasanya dia akan beralih ke kajian tasawuf. Inilah antara lain yang dimaksudkan oleh al-Junaid, seorang sufi besar, dengan perkataannya “Siapapun yang ingin masuk ke dunuia ini (maksudnya tasawuf) harus terlebih dulu memahami syariah dengan baik ”.Sebetulnya, kalau dipikirkan dengan mendalam, sangat benarlah apa yang dikatakan oleh al-Junaid. Tasawuf dipelajari oleh manusia dengan tujuan untuk untuk menggapai tujuan akhir (hakikat) ibadah, namun untuk menggapai tujuan tersebut kita harus melewati jalan yang bisa mengantarkan. Jalan itu tidak lain adalah syariah. Lalu bagaimana seseorang akan mampu menapaki jalan yang berujung pada hakikat kalau dia tidak tahu jalan tersebut.
Dalam menempuh jalan (thariqah) tasawuf, seorang salik (penempuh) sangatlah membutuhkan rambu-rambu agar tidak terjerumus kedalam kesesatan yang membinasakan. Rambu-rambu itu tidak lain adalah syariah. Untuk keperluan inilah, seorang salik harus didampingi oleh seorang mursyid.
SEJARAH IJTIHAD HUKUM-HUKUM ISLAM
Di jaman nabi saw dapat dikatakan tidak ada ijtihad karena segala persoalan dapat langsung ditanyakan pada nabi. Hanya dalam kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertanya pada nabi dan kondisi yang mengharuskan agar masalah segera diputuskan, para sahabat memberanikan diri untuk berijtihad. Namun setelah itupun mereka akan menanyakan kembali permasalahan tersebut kepada nabi pada kesempatan yang lain.
Suatu contoh, pada saat rasulullah berpesan pada sekelompok sahabat yang akan beliau utus menempuh perjalanan agar tidak menuaikan shalat ashar sebelum mencapai tujuan. Para sahabat berbeda pendapat dalam menafsirkan pesan rasulullah tersebut. Sebagian menafsirkan bahwa rasulullah bermaksud menyuruh agar para sahabat mempercepat perjalanan. Namun sebagian yang lain menafsirkan apa adanya kata-kata rasulullah tersebut. Akhirnya mereka beramal sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, yang boleh dilakukan oleh siapapun juga tanpa terkecuali. Seseorang yang belum layak berijtihad namun memaksakan diri untuk berijtihad sangat tidak dibenarkan oleh syari’ah, terlebih-lebih jika ijtihadnya menyangkut orang lain. Mengenai hal ini, kiranya kita patut mengambil ibrah dari suatu kejadian di masa rasulullah. Pada saat itu ada seseorang yang sakit parah dan akan melaksanakan shalat, sementara dia dalam keadaan junub. Dia bingung apakah harus mandi atau tidak. Karenanya dia segera bertanya pada para sahabat yang lain. Seorang sahabat memberanikan diri untuk menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Apa yang terjadi? Si sakit tersebut langsung tewas gara-gara menyentuh air mandi. Seorang sahabat yang lain segera melaporkan kejadian ini pada rasulullah. Betapa marahnya rasulullah mendengar hal itu. Beliau bersabda, ”Orang itu telah membunuhnya.”!!! Masya Allah, begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang yang berijtihad. Ijtihad bukan suatu main-main belaka. Karena itu ulama Hanafiyyah melarang minta fatwa kepada seseorang yang gemar berkelakar.
Sepeninggal rasulullah, barulah para sahabat dituntut untuk berijtihad karena begitu banyaknya permasalahan baru yang harus dipecahkan. Dalam hal ini, para sahabat akan mengutamakan tradisi nabi. Untuk keperluan ini, bahkan para sahabat rela bersusah-susah untuk mendapatkan informasi bagaimana nabi mengambil hukum dalam berbagai masalah.
Pada masa para tabi’in (generasi sepeningggal.para sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negeri (kota) yang berada dibawah kekuasaan dinasti Amawiyah. Guru-guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan Zaid ibn Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr ibn Ash di Mesir, dan sebagainya.
Pada generasi tabi’ut tabi’in, ijtihad pun masih berlangsung sampai pada akhirnya datanglah masa-masa yang suram dalam dunia Islam. Pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya para ulama yang seharusnya mengemban tugas sebagai mujtahid hanya mencukupkan diri dengan bertaqlid kepada para imam-imam sebelumnya. Sebetulnya kejadian menyedihkan ini bukannya tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Pada masa itu banyak orang-orang yang belum layak untuk berijtihad dengan lancangnya memberanikan diri untuk berijtihad. Melihat gejala inilah maka para ulama mengeluarkan seruan bahwa pintu ijthad telah tertutup. Fenomena seperti ini, dimana kaum muslimin terlalu jauh dalam meng-counter penyimpamgan yang terjadi, memang sering sekali terjadi dalam sejarah. Dalam hal ini, contoh lainnya adalah munculnya tasawuf yang terlalu jauh dari syari’ah dan terkesan rahbaniyyah (kerahib-rahiban). Tasawuf seperti ini banyak muncul di masa dinasti Amawiyyah yang dinilai menerapkan Islam sebagai sesuatu yang kering dan kehilangan ruhnya, dimana hal ini jauh berbeda dengan Islam yang ditempuh oleh generasi sebelumnya.
Namun alhamdulillah, Allah tidak membiarkan kondisi syari’ah mengalami kejumudan. Allah menghendaki munculnya para mujaddid dan mujtahid di muka bumi ini. Diantara mereka terdapat Syaikhul Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah, yang berusaha menggebrak pintu ijtihad yang telah ditutup itu, meskipun harus menghadapi kecaman dari banyak pihak. Setelah itu bermunculanlah para mujtahid dalam usahanya menyelamatkan syari’ah Allah yang mulia.
SARANA IJTIHAD
Dalam berijtihad, seseorang harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kualifikasi ini hanya bisa dicapai dengan usaha yang tidak ringan. Seseorang dituntut untuk tekun mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pendukung yang diperlukan, agar bisa mencapai derajat mujtahid. Kualifikasi seorang mujtahid antara lain:
1.Menguasai bahasa Arab dengan baik.
Hal ini mutlak karena seorang mujtahid harus berinteraksi dengan Alqur’an dan Alhadits yang ditulis dalam bahasa Arab. Kedua sumber hukum ini harus dipahami menurut pemahaman bahasa Arab dan tidak mungkin dipahami dengan cara pikir bahasa lain, karena bahasa Arab mempunyai segi-segi linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Lalu bagaimana kalau ada yang berijtihad dengan bersandarkan pada terjemahan semata?
2. Memahami ushul fiqih yang meliputi kaidah-kaidah lughawiyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah. Dalam hal kaidah-kaidah lughawiyah, dibutuhkan penguasaan bahasa Arab yang baik sebagaimana disebutkan sebelumnya.
3. Memahami tafsir ayat-ayat hukum dalam Alqur’an. Jumlah ayat-ayat hukum ini diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya kurang dari separuh Alqur’an. Ada pula yang berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan ayat-ayat hukum.
4. Menguasai ilmu-ilmu hadits baik riwayatul hadits maupun dirayatul hadits. Mengenai ini perlu dicamkan bahwa dalam ijtihad, seorang mujtahid akan jauh lebih banyak bersandar pada Alhadits daripada Alqur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena Alqur’an hanya memuat hal-hal pokok saja, sementara Alhadits merupakan penafsir Alqur’an.
5. Mengetahui ijma’ para fuqaha’ (dengan asumsi mengakui adanya ijma’ mereka) atau sekurang-kurangnya ijma’ para sahabat (jika berpendirian bahwa ijma’ hanya berlaku untuk para sahabat nabi).
6. Menguasai semua cabang syari’ah. Hal ini penting karena cabang-cabang syari’ah seringkali berkaitan satu sama lain.
Malang, 06 – 12 – 2010. Read More..
Menurut Yusuf al-Qardhawy, kecenderungan pemahaman fiqih dapat dibedakan menjadi tiga:
1. Pemahaman yang ekstem dan cenderung menyulitkan (ghuluw, tasyaddud)
2. Pemahaman yang moderat (i’tidal).
3. Pemahaman yang cenderung memudah-mudahkan dan jahil (tasahhul, tarakhkhush)
Pemahaman yang pertama ini biasanya timbul dari seseorang yang belum begitu memahami secara mendalam syari’ah Islam. Akibatnya , dalam memandang syari’ah, dia bagaikan seekor kuda bendi yang ditutup samping matanya sehingga hanya bisa melihat pada satu sisi saja.
Corak pemahaman yang ketiga biasanya terjadi pada seseorang yang sudah mempelajari seluk-beluk syari’ah, namun didalam hatinya ada penyakit. Hal ini antara lain karena
pemahaman aqidahnya belum benar , belum datangnya hidayah Allah, ataupun berbagai sebab yang lain. Tipe orang ini sangat membahayakan ummat sebab dia biasanya pandai berbicara dan mengemukakan argumentasi tetapi dibalik itu terbersit sesuatu yang sangat jahat.
Pemahaman yang paling tepat adalah yang kedua. Moderat disini hendaknya diartikan pada tempatnya dan jangan diartikan sebagaaimana kesalahkaprahan sebagian orang sekarang ini. Dalam corak pemahaman ini, syari’ah ditempatkan dalam posisi yang luwes, tergantung pada masa, situasi, dan kondisi namun tetap tidak akan pernah melampaui pokok-pokok syari’ah itu sendiri.
ANALISIS
Sebetulnya, syari’ah Islam sangatlah indah apabila berhasil dipahami dengan benar. Keindahan itu antara lain terletak pada elastisitasnya dan keadilannya. Elastisitas syari’ah Islam dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang menuntutnya, sehingga akan benar-benar tampak oleh mata betapa tinggi keadilan Islam.
Selama ini, kekakuan dan kejumudan dalam memahami syari’ ah antara lain disebabkan oleh pola pikir yang salah. Beberapa kalangan memahami fiqih hanya dengan cara taqlid semata. Mereka secara membabibuta berpegang dengan kuatnya pada salah satu madzhab tanpa pernah meneliti pada situasi dan kondisi seperti apa para imam madzhab tersebut mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Hal ini penting karena para imam tersebut tidaklah terlepas dari situasi dan kondisi tertentu dalam berfatwa.Karenanya, yang harus kita pegang teguh dari para imam tersebut adalah pola (kerangka) pikir mereka dan bukan hasil pemikiran mereka, karena hasil pemikiran dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, padahal situasi dan koindisi yang kita alami belum tentu sama dengan yang dialami oleh para imam tersebut.
Hal tersebut dengan jelas terbukti pada diri Imam Syafi’i. Pendapat-pendapatnya ketika berada di Mesir tidaklah sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya (ketika di Irak).Pendapat-pendapatnya selama di Irak kini dikenal dengan qaulul qadim sedangkan selama di Mesir dikenal denga qaulul jadid. Dengan demikian pola pikir kita adalah berdasarkan paradigma para imam tersebut (taqlid al-manhaj} dan bukan berdasarkan hasil pikir para imam tersebut (taqlid al-qaul).
Untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu maka kita harus mengetahui seperti apa pola pikir mereka. Dalam hal ini, kita harus mengetahui kaidah-kaidah yang mereka pergunakan dalam meng-istimbath hukum. Kaidah-kaidah ini meliputi kaidah ushuliyyah (kaidah lughowiyyah) dan kaidah fiqhiyyah. Topik tentang kaidah-kaidah ini masuk dalam kajian ushul fiqih dan fiqih itu sendiri.
Untuk bisa berijtihad dengan lebih tepat, masih ada lagi satu perangkat ilmu yang dibutuhkan yaitu falsafah at-tasyri’ (filsafat pensyariatan hukum-hukum Islam). Dengan perangkat ini, seorang mujtahid akan dapat meng-istimbath segala macam hukum dengan tepat dan luwes, jauh dari kesempitan, kepicikan, dan kejahilan, sesuai dengan tuntutan jaman, situasi, dan kondisi.
Falsafah at-tasyri’ merupakan kajian fiqih yang tertinggi. Kajian ini akan banyak bersinggungan (overlap) dengan kajian tasawuf. Dalam kajian ini, istilah-istilah fiqih dan ushul fiqih sudah jarang ditemui. Beberapa kalangan mempelajari kajian ini dengan nama yang lain, yaitu hikmah at-tasyri’ ataupun asrar al-ahkam ( rahasia-rahasia hukum Islam).
Karena itu, setelah seseorang mengkaji falsafah at-tasyri’, biasanya dia akan beralih ke kajian tasawuf. Inilah antara lain yang dimaksudkan oleh al-Junaid, seorang sufi besar, dengan perkataannya “Siapapun yang ingin masuk ke dunuia ini (maksudnya tasawuf) harus terlebih dulu memahami syariah dengan baik ”.Sebetulnya, kalau dipikirkan dengan mendalam, sangat benarlah apa yang dikatakan oleh al-Junaid. Tasawuf dipelajari oleh manusia dengan tujuan untuk untuk menggapai tujuan akhir (hakikat) ibadah, namun untuk menggapai tujuan tersebut kita harus melewati jalan yang bisa mengantarkan. Jalan itu tidak lain adalah syariah. Lalu bagaimana seseorang akan mampu menapaki jalan yang berujung pada hakikat kalau dia tidak tahu jalan tersebut.
Dalam menempuh jalan (thariqah) tasawuf, seorang salik (penempuh) sangatlah membutuhkan rambu-rambu agar tidak terjerumus kedalam kesesatan yang membinasakan. Rambu-rambu itu tidak lain adalah syariah. Untuk keperluan inilah, seorang salik harus didampingi oleh seorang mursyid.
SEJARAH IJTIHAD HUKUM-HUKUM ISLAM
Di jaman nabi saw dapat dikatakan tidak ada ijtihad karena segala persoalan dapat langsung ditanyakan pada nabi. Hanya dalam kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk bertanya pada nabi dan kondisi yang mengharuskan agar masalah segera diputuskan, para sahabat memberanikan diri untuk berijtihad. Namun setelah itupun mereka akan menanyakan kembali permasalahan tersebut kepada nabi pada kesempatan yang lain.
Suatu contoh, pada saat rasulullah berpesan pada sekelompok sahabat yang akan beliau utus menempuh perjalanan agar tidak menuaikan shalat ashar sebelum mencapai tujuan. Para sahabat berbeda pendapat dalam menafsirkan pesan rasulullah tersebut. Sebagian menafsirkan bahwa rasulullah bermaksud menyuruh agar para sahabat mempercepat perjalanan. Namun sebagian yang lain menafsirkan apa adanya kata-kata rasulullah tersebut. Akhirnya mereka beramal sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.
Ijtihad bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, yang boleh dilakukan oleh siapapun juga tanpa terkecuali. Seseorang yang belum layak berijtihad namun memaksakan diri untuk berijtihad sangat tidak dibenarkan oleh syari’ah, terlebih-lebih jika ijtihadnya menyangkut orang lain. Mengenai hal ini, kiranya kita patut mengambil ibrah dari suatu kejadian di masa rasulullah. Pada saat itu ada seseorang yang sakit parah dan akan melaksanakan shalat, sementara dia dalam keadaan junub. Dia bingung apakah harus mandi atau tidak. Karenanya dia segera bertanya pada para sahabat yang lain. Seorang sahabat memberanikan diri untuk menyuruh si sakit tadi untuk mandi. Apa yang terjadi? Si sakit tersebut langsung tewas gara-gara menyentuh air mandi. Seorang sahabat yang lain segera melaporkan kejadian ini pada rasulullah. Betapa marahnya rasulullah mendengar hal itu. Beliau bersabda, ”Orang itu telah membunuhnya.”!!! Masya Allah, begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang yang berijtihad. Ijtihad bukan suatu main-main belaka. Karena itu ulama Hanafiyyah melarang minta fatwa kepada seseorang yang gemar berkelakar.
Sepeninggal rasulullah, barulah para sahabat dituntut untuk berijtihad karena begitu banyaknya permasalahan baru yang harus dipecahkan. Dalam hal ini, para sahabat akan mengutamakan tradisi nabi. Untuk keperluan ini, bahkan para sahabat rela bersusah-susah untuk mendapatkan informasi bagaimana nabi mengambil hukum dalam berbagai masalah.
Pada masa para tabi’in (generasi sepeningggal.para sahabat), ijtihad terus berlangsung. Mereka tersebar di berbagai negeri (kota) yang berada dibawah kekuasaan dinasti Amawiyah. Guru-guru mereka adalah para sahabat nabi yang menyebar ke berbagai negeri, seperti Ibnu Umar dan Zaid ibn Tsabit di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Ibnu Abbas di Makkah, Amr ibn Ash di Mesir, dan sebagainya.
Pada generasi tabi’ut tabi’in, ijtihad pun masih berlangsung sampai pada akhirnya datanglah masa-masa yang suram dalam dunia Islam. Pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya para ulama yang seharusnya mengemban tugas sebagai mujtahid hanya mencukupkan diri dengan bertaqlid kepada para imam-imam sebelumnya. Sebetulnya kejadian menyedihkan ini bukannya tidak mempunyai alasan yang masuk akal. Pada masa itu banyak orang-orang yang belum layak untuk berijtihad dengan lancangnya memberanikan diri untuk berijtihad. Melihat gejala inilah maka para ulama mengeluarkan seruan bahwa pintu ijthad telah tertutup. Fenomena seperti ini, dimana kaum muslimin terlalu jauh dalam meng-counter penyimpamgan yang terjadi, memang sering sekali terjadi dalam sejarah. Dalam hal ini, contoh lainnya adalah munculnya tasawuf yang terlalu jauh dari syari’ah dan terkesan rahbaniyyah (kerahib-rahiban). Tasawuf seperti ini banyak muncul di masa dinasti Amawiyyah yang dinilai menerapkan Islam sebagai sesuatu yang kering dan kehilangan ruhnya, dimana hal ini jauh berbeda dengan Islam yang ditempuh oleh generasi sebelumnya.
Namun alhamdulillah, Allah tidak membiarkan kondisi syari’ah mengalami kejumudan. Allah menghendaki munculnya para mujaddid dan mujtahid di muka bumi ini. Diantara mereka terdapat Syaikhul Islam Taqiyuddin ibn Taimiyyah, yang berusaha menggebrak pintu ijtihad yang telah ditutup itu, meskipun harus menghadapi kecaman dari banyak pihak. Setelah itu bermunculanlah para mujtahid dalam usahanya menyelamatkan syari’ah Allah yang mulia.
SARANA IJTIHAD
Dalam berijtihad, seseorang harus memenuhi kualifikasi tertentu. Kualifikasi ini hanya bisa dicapai dengan usaha yang tidak ringan. Seseorang dituntut untuk tekun mendalami ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pendukung yang diperlukan, agar bisa mencapai derajat mujtahid. Kualifikasi seorang mujtahid antara lain:
1.Menguasai bahasa Arab dengan baik.
Hal ini mutlak karena seorang mujtahid harus berinteraksi dengan Alqur’an dan Alhadits yang ditulis dalam bahasa Arab. Kedua sumber hukum ini harus dipahami menurut pemahaman bahasa Arab dan tidak mungkin dipahami dengan cara pikir bahasa lain, karena bahasa Arab mempunyai segi-segi linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Lalu bagaimana kalau ada yang berijtihad dengan bersandarkan pada terjemahan semata?
2. Memahami ushul fiqih yang meliputi kaidah-kaidah lughawiyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah. Dalam hal kaidah-kaidah lughawiyah, dibutuhkan penguasaan bahasa Arab yang baik sebagaimana disebutkan sebelumnya.
3. Memahami tafsir ayat-ayat hukum dalam Alqur’an. Jumlah ayat-ayat hukum ini diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya kurang dari separuh Alqur’an. Ada pula yang berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan ayat-ayat hukum.
4. Menguasai ilmu-ilmu hadits baik riwayatul hadits maupun dirayatul hadits. Mengenai ini perlu dicamkan bahwa dalam ijtihad, seorang mujtahid akan jauh lebih banyak bersandar pada Alhadits daripada Alqur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena Alqur’an hanya memuat hal-hal pokok saja, sementara Alhadits merupakan penafsir Alqur’an.
5. Mengetahui ijma’ para fuqaha’ (dengan asumsi mengakui adanya ijma’ mereka) atau sekurang-kurangnya ijma’ para sahabat (jika berpendirian bahwa ijma’ hanya berlaku untuk para sahabat nabi).
6. Menguasai semua cabang syari’ah. Hal ini penting karena cabang-cabang syari’ah seringkali berkaitan satu sama lain.
Malang, 06 – 12 – 2010. Read More..
Label:
Artikel,
Ibnu Aqil,
Karya,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon,
Sejarah,
tugas Aqilians All
Minggu, 05 Desember 2010
Almamater Aqilians
InsyaAllah ini almamater resmi Rayon "perjuangan" Ibnu Aqil untuk seterusnya.
Pesan:
Harga Rp.65.000
untuk informasi lebih lanjut hubungi 085731946004 (Sahabat Takhfif)
Read More..
Pesan:
Harga Rp.65.000
untuk informasi lebih lanjut hubungi 085731946004 (Sahabat Takhfif)
http://www.facebook.com/afif.mrfivePesan:
Harga Rp.65.000
untuk informasi lebih lanjut hubungi 085731946004 (Sahabat Takhfif)
Read More..
Rabu, 24 November 2010
Theacher's Day
by: five@dewa19.com
Tepat pukul 1 lebih 3 detik mata masih mengeluarkan semangat untuk melihat layar laptop dengan modem yang begitu lemot sambil membuka www.google.co.id , seorang Netizen yang selalu membuka situs yang tidak lagi menjadi sahabat baru baginya. Dia mulai bertanya ada apa dengan mbah googlenya “wahhhh… google face off lagi ne” katanya dalam hatinya. Karena mulut sudah pegel ngomong seharian penuh.
Ternyata mbah google memperingati hari guru nasional 2011. Sedikit tentang hari guru nasional.
Sejarahnya
Begini ceritanya. PGRI atau Persatuan Guru Republik Indonesia lahir pada 25 November 1945. Awalnya, organisasi ini bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912. Lalu, pada tahun 1932, namanya berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Persatuan Guru Hindia Belanda atau Persatuan Guru Indonesia ini terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat. Organisasi guru ini ternyata berkembang menjadi beberapa organisasi lainnya, seperti organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan lain-lain.
Sayangnya, pada masa penjajahan Jepang, semua organisasi dilarang, sekolah ditutup, dan akhirnya Persatuan Guru Indonesia (PGI) tak bisa lagi beraktivitas. Namun, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, PGI kembali berkiprah dan berhasil mengadakan Kongres Guru Indonesia untuk yang pertama kalinya, tanggal 24-25 November 1945.
Begini ceritanya. PGRI atau Persatuan Guru Republik Indonesia lahir pada 25 November 1945. Awalnya, organisasi ini bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912. Lalu, pada tahun 1932, namanya berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Persatuan Guru Hindia Belanda atau Persatuan Guru Indonesia ini terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat. Organisasi guru ini ternyata berkembang menjadi beberapa organisasi lainnya, seperti organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan lain-lain.
Sayangnya, pada masa penjajahan Jepang, semua organisasi dilarang, sekolah ditutup, dan akhirnya Persatuan Guru Indonesia (PGI) tak bisa lagi beraktivitas. Namun, setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, PGI kembali berkiprah dan berhasil mengadakan Kongres Guru Indonesia untuk yang pertama kalinya, tanggal 24-25 November 1945.
SELAMAT BUAT PARA GURU.....
Read More..
Label:
Artikel,
Ibnu Aqil,
Karya,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon
himne orang pinggiran : untuk tuan-tuan
oleh:cah-angon
semestinya tak perlu kau tertib-rapikan
kau sendiri yang menyudutkan
menjadikan kami sebagai kebisingan
membikin kami serupa tangisan
ya!
kami lah tangisan
menggugah kegelian
merongrong kegelisahan
dan kau pun geram
tuan
lalu muncullah norma-aturan:
atas nama kemanusiaan, katanya
atas nama kesucian, da’wahnya
atas nama kenyamanan, tuturnya
atas nama kesejahteraan, kampanyenya
atas nama tuhan, sabdanya
atas nama…………
kepentingan,
kekuasaan,
kehormatan,
uang,
bisiknya……
hus………
jangan berisik, lirihnya
ha….ha….ha….
cerdik sekali kau tuan
sampai-sampai…….
kami nyenyak menyaksikan tuan,
lelap dalam kemerdekaan semu
cukup sekian, tuan
igauan-igauan kami;
orang-orang pinggiran.
Malang, Senin 17 Agustus 2009 Read More..
semestinya tak perlu kau tertib-rapikan
kau sendiri yang menyudutkan
menjadikan kami sebagai kebisingan
membikin kami serupa tangisan
ya!
kami lah tangisan
menggugah kegelian
merongrong kegelisahan
dan kau pun geram
tuan
lalu muncullah norma-aturan:
atas nama kemanusiaan, katanya
atas nama kesucian, da’wahnya
atas nama kenyamanan, tuturnya
atas nama kesejahteraan, kampanyenya
atas nama tuhan, sabdanya
atas nama…………
kepentingan,
kekuasaan,
kehormatan,
uang,
bisiknya……
hus………
jangan berisik, lirihnya
ha….ha….ha….
cerdik sekali kau tuan
sampai-sampai…….
kami nyenyak menyaksikan tuan,
lelap dalam kemerdekaan semu
cukup sekian, tuan
igauan-igauan kami;
orang-orang pinggiran.
Malang, Senin 17 Agustus 2009 Read More..
Label:
Ibnu Aqil,
Karya,
Perjuangan,
Rayon
Sabtu, 13 November 2010
Bahasa; sastra dan ilmiyah
by : Idung Aqilians
ada sebuah pertanyaan dari seorang sahabat "tentang adanya agam bahasa sehingga menimbulkan pemisahan antara ragam ilmiyah dan ragam sastra...????".
ada yang menjawab bahwa pemisahan tersebut berasal dari objek dan prosesnya... bahasa ilmiyah melihat keabsahan emoirisnya,,,, sedangkan sastra acuannya adalah dari imajinasi seseorang (non-empiris) walaupun sebenarnya imajinasinya muncul dari hal-hal yg empiris.
ada juga yg menjawab bahwa tidak ada masalah dengan keduanya. kalaupun kaum strukturalis membenarkan adanya mekanisme bahasa yang amat ergantung pada para penggunanya, tp itu sangat berbahya, sebab akan menciptakan klaster-klaster bahasa...
ada yang berpendapat; itu menunjukkan bahwa betapa bahsa berkembag tidak hanya sebagai media komunikasi, melainkan juga sebagai disiplin ilmu. Read More..
ada sebuah pertanyaan dari seorang sahabat "tentang adanya agam bahasa sehingga menimbulkan pemisahan antara ragam ilmiyah dan ragam sastra...????".
ada yang menjawab bahwa pemisahan tersebut berasal dari objek dan prosesnya... bahasa ilmiyah melihat keabsahan emoirisnya,,,, sedangkan sastra acuannya adalah dari imajinasi seseorang (non-empiris) walaupun sebenarnya imajinasinya muncul dari hal-hal yg empiris.
ada juga yg menjawab bahwa tidak ada masalah dengan keduanya. kalaupun kaum strukturalis membenarkan adanya mekanisme bahasa yang amat ergantung pada para penggunanya, tp itu sangat berbahya, sebab akan menciptakan klaster-klaster bahasa...
ada yang berpendapat; itu menunjukkan bahwa betapa bahsa berkembag tidak hanya sebagai media komunikasi, melainkan juga sebagai disiplin ilmu. Read More..
Label:
Artikel,
Filsafat,
Ibnu Aqil,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon
* * *
by:luthpi ahmad
sudah separoh malam mereka berjalan, melewati jalan setapak yang menyusuri sungai. Halauan mega putih nampak sekilas ditimur jauh mengundang ayam berkokok dan dentuman alu reyot.
Hanya suara jangkrik dan ayam yang kembali dalam kediamannya, sunyi. Padangnya bulan keperak-perakan menjadikan langkah 3 pemuda itu sedikit mengurangi rasa takut. Sudah 5 kuburan mereka sibak dan berpuluh kali juga kegamangan yg hinggap. Ya atau tidak. Terus atau kembali pulang.
Dari tapak ke tapak akhirnya mereka tiba juga, sebuah surau kecil disamping danau dan didepannya buah sawo berbuah ranum-ranum.
Read More..
Hanya suara jangkrik dan ayam yang kembali dalam kediamannya, sunyi. Padangnya bulan keperak-perakan menjadikan langkah 3 pemuda itu sedikit mengurangi rasa takut. Sudah 5 kuburan mereka sibak dan berpuluh kali juga kegamangan yg hinggap. Ya atau tidak. Terus atau kembali pulang.
Dari tapak ke tapak akhirnya mereka tiba juga, sebuah surau kecil disamping danau dan didepannya buah sawo berbuah ranum-ranum.
Label:
Ibnu Aqil,
Karya,
Perjuangan,
Rayon
Koordinator Merapi: Kita Harus Jadi Pelopor Gerakan.
by:hadiqun nuha aqilians
“Selamat sahabat, semoga MERAPI bisa menjadi pioner gerakan PMII Kota Malang”, ujar Aliful Maarif, ketua PMII Cabang Kota Malang, dalam pidato penutupan sekolah gerakan.
MERAPI merupakan singkatan dari Menyatukan Gerakan PMII, nama organ taktis bagi alumni sekolah gerakan yang diadakan jum'at - ahad (29 - 31/11) di Kantor PPP Singosari lalu.
“Semoga MERAPI benar-benar menjadi pelopor gerakan Mahasiswa yang berpijak pada idealisme yang sesungguhnya”, Ucap Fauzan, Koordinator MERAPI.
Banyak pernyataan yang muncul terkait gerakan mahasiswa pasca reformasi. Ada yang mengatakan gerakan mahasiswa sekarang mati suri, ada juga yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa sekarang mengalami disorientasi.
“Pasca agenda reformasi '98 kita seolah bingung mau dibawa kemana gerakan PMII”, ujarnya lagi, “Untuk menjawab segala pernyataan miring diatas, maka
sekolah gerakan ini patut diadakan.” Tambah mantan ketua Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil periode 2009-2010 ini.
Gelaran sekolah yang dihadiri oleh perwakilan seluruh Komisariat maupun Rayon se-Kota Malang tersebut mengambil tema “memecah kebuntuan gerakan mahasiswa berbasis realitas kebangsaan”.
Acara yang berlangsung tiga hari ini menyajikan beberapa materi yaitu; gerakan berbasis nilai-nilai PMII, gerakan sosial baru, free market idea atau paradigma arus balik, strategi gerakan militer, pengelolaan opini media massa, serta rekayasa sosial.
Pada hari pertama, peserta diajak nontong bareng film yang berjudul “Burning Session”, film ini bercerita tentang Chico Mendez, seorang tokoh perlawanan dari Brasil yang mempertahankan hak milik atas tanah yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang mengandalkan pohon karet melawan perselingkuhan antara pemodal dan pemerintah yang ingin membakar hutan mereka untuk dijadikan lahan peternakan sapi.
“Saya pikir setiap aktivis gerakan mahasiswa wajib menonton film ini, satu hal yang menarik dari film tersebut adalah kita tidak harus menggunakan kekerasan dalam rangka mencapai tujuan dari sebuah gerakan, Chico Mendez tidak pernah memerintahkan serikat pekerja untuk mengangkat senjata meskipun salah satu keluarga mereka tewas ditangan anak buah pemodal,” kata Fatkul, salah satu peserta saat membahas film tersebut.
“Peran media juga sangat menonjol dalam rangka mendukung keberhasilan Chico,” ujar Faiz, peserta delegasi Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil. (diq). Read More..
“Selamat sahabat, semoga MERAPI bisa menjadi pioner gerakan PMII Kota Malang”, ujar Aliful Maarif, ketua PMII Cabang Kota Malang, dalam pidato penutupan sekolah gerakan.
MERAPI merupakan singkatan dari Menyatukan Gerakan PMII, nama organ taktis bagi alumni sekolah gerakan yang diadakan jum'at - ahad (29 - 31/11) di Kantor PPP Singosari lalu.
“Semoga MERAPI benar-benar menjadi pelopor gerakan Mahasiswa yang berpijak pada idealisme yang sesungguhnya”, Ucap Fauzan, Koordinator MERAPI.
Banyak pernyataan yang muncul terkait gerakan mahasiswa pasca reformasi. Ada yang mengatakan gerakan mahasiswa sekarang mati suri, ada juga yang berpendapat bahwa gerakan mahasiswa sekarang mengalami disorientasi.
“Pasca agenda reformasi '98 kita seolah bingung mau dibawa kemana gerakan PMII”, ujarnya lagi, “Untuk menjawab segala pernyataan miring diatas, maka
sekolah gerakan ini patut diadakan.” Tambah mantan ketua Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil periode 2009-2010 ini.
Gelaran sekolah yang dihadiri oleh perwakilan seluruh Komisariat maupun Rayon se-Kota Malang tersebut mengambil tema “memecah kebuntuan gerakan mahasiswa berbasis realitas kebangsaan”.
Acara yang berlangsung tiga hari ini menyajikan beberapa materi yaitu; gerakan berbasis nilai-nilai PMII, gerakan sosial baru, free market idea atau paradigma arus balik, strategi gerakan militer, pengelolaan opini media massa, serta rekayasa sosial.
Pada hari pertama, peserta diajak nontong bareng film yang berjudul “Burning Session”, film ini bercerita tentang Chico Mendez, seorang tokoh perlawanan dari Brasil yang mempertahankan hak milik atas tanah yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya yang mengandalkan pohon karet melawan perselingkuhan antara pemodal dan pemerintah yang ingin membakar hutan mereka untuk dijadikan lahan peternakan sapi.
“Saya pikir setiap aktivis gerakan mahasiswa wajib menonton film ini, satu hal yang menarik dari film tersebut adalah kita tidak harus menggunakan kekerasan dalam rangka mencapai tujuan dari sebuah gerakan, Chico Mendez tidak pernah memerintahkan serikat pekerja untuk mengangkat senjata meskipun salah satu keluarga mereka tewas ditangan anak buah pemodal,” kata Fatkul, salah satu peserta saat membahas film tersebut.
“Peran media juga sangat menonjol dalam rangka mendukung keberhasilan Chico,” ujar Faiz, peserta delegasi Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil. (diq). Read More..
Label:
Artikel,
Ibnu Aqil,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon
Rabu, 10 November 2010
Employee of the Month Analisis Movie
by : 5
When I watch Employee of the Month’s movie I hear some soundtracks that make me interested to continuo watching it, one of them is "Kiss You All Over" that Performed by Exile and Nicolas Chinn. This kind of movie (genre) is comedy and romantic. I like it very much about it. So there are many characteristics in this movie, such as Zack, Amy, Vince, Lon, Glen Gary, Jorge, Semi, Glen Ross, Russell, Dirk, Granny, Greeter (Jerry), Gene, Grumpy Lady.
I saw this too at a sneak preview and I was not disappointed.
Zack is a really funny guy and this movie showed it. I liked the story line and their characters. I noticed that Amy only had like 20 lines and they probably just used her to sell the movie with the posters. Vince was funny as the bitter rival for Zack. Lon was refreshing as was the rest of the supporting cast. The Napoleon Dynamite dynasty keeps expanding with Jorge 's take on Vince's sidekick. The story was great and there are many funny scenes in this movie that makes it cool to work at one of those stores. Great movie, good laughs! I'd watch it again. There are some little twists to some parts of the movies and the end is alright, could be better though. Over all, good movie.
Vince Downey is the head cashier and winner of 17 consecutive Employee of the Month awards at Super Club. If he wins one more Employee of the Month, he will be put in the Super Club's Hall of Fame and win a new car. Zack Bradley, who is the ultimate slacker, has been working at the Super Club for 10 years, and is still at the bottom job, working as a box boy, Then Amy enters the picture; she is a new cashier transferring in from another Super Club store. Amy has a reputation of dating men who have won Employee of the Month at the other store, so Vince and Zack want to date Amy. The fight is on to win Employee of the Month! Douglas Young.
I wasn't expecting much, but I was pleasantly surprised. I laughed at several witty lines, especially one where Zach corrected Vince's grammar, but Vince didn't get it. Even Jessica Simpson didn't bother me because they didn't try to inflate her intelligence; they just made her a rather bland character.
The plot isn't original, but watching Vince pretend he was Tom Cruise from Cocktail made me laugh. When I watch this sort of movie I want to laugh and I did just that. Dane Cook was a pleasant surprise too. I had never seen anything with him. I thoroughly enjoyed the movie even though I didn't think that I would.
Read More..
When I watch Employee of the Month’s movie I hear some soundtracks that make me interested to continuo watching it, one of them is "Kiss You All Over" that Performed by Exile and Nicolas Chinn. This kind of movie (genre) is comedy and romantic. I like it very much about it. So there are many characteristics in this movie, such as Zack, Amy, Vince, Lon, Glen Gary, Jorge, Semi, Glen Ross, Russell, Dirk, Granny, Greeter (Jerry), Gene, Grumpy Lady.
I saw this too at a sneak preview and I was not disappointed.
Zack is a really funny guy and this movie showed it. I liked the story line and their characters. I noticed that Amy only had like 20 lines and they probably just used her to sell the movie with the posters. Vince was funny as the bitter rival for Zack. Lon was refreshing as was the rest of the supporting cast. The Napoleon Dynamite dynasty keeps expanding with Jorge 's take on Vince's sidekick. The story was great and there are many funny scenes in this movie that makes it cool to work at one of those stores. Great movie, good laughs! I'd watch it again. There are some little twists to some parts of the movies and the end is alright, could be better though. Over all, good movie.
Vince Downey is the head cashier and winner of 17 consecutive Employee of the Month awards at Super Club. If he wins one more Employee of the Month, he will be put in the Super Club's Hall of Fame and win a new car. Zack Bradley, who is the ultimate slacker, has been working at the Super Club for 10 years, and is still at the bottom job, working as a box boy, Then Amy enters the picture; she is a new cashier transferring in from another Super Club store. Amy has a reputation of dating men who have won Employee of the Month at the other store, so Vince and Zack want to date Amy. The fight is on to win Employee of the Month! Douglas Young.
I wasn't expecting much, but I was pleasantly surprised. I laughed at several witty lines, especially one where Zach corrected Vince's grammar, but Vince didn't get it. Even Jessica Simpson didn't bother me because they didn't try to inflate her intelligence; they just made her a rather bland character.
The plot isn't original, but watching Vince pretend he was Tom Cruise from Cocktail made me laugh. When I watch this sort of movie I want to laugh and I did just that. Dane Cook was a pleasant surprise too. I had never seen anything with him. I thoroughly enjoyed the movie even though I didn't think that I would.
Read More..
Label:
Artikel,
English,
Ibnu Aqil,
Makalah,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon,
tugas Aqilians All
Minggu, 07 November 2010
Google bak Bunglon
by: five@dewa19.com
Pagi yang fress untuk membuka situs www.google.com di pojok SC lantai 1, seketika itu mata melihat ada yang aneh pada situs itu. ternyata "wajah" google berganti lagi
Sedikit mengenai Sinar X atau sering terdengar X-Ray
Tentang sinar X
Sinar-X atau sinar Röntgen adalah salah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang berkisar antara 10 nanometer ke 100 picometer (mirip dengan frekuensi dalam jangka 30 PHz to 60 EHz). Sinar-X umumnya digunakan dalam diagnosis gambar medikal dan Kristalografi sinar-X. Sinar-X adalah bentuk dari radiasi ion dan dapat berbahaya.
Sejarah Sinar-X
Sinar x di temukan secara tidak sengaja oleh Wilhelm Conrad Rontgen (1845-1923).Ilmuwan Jerman pada November 1895.Pada waktu itu,Rontgen sedang mempelajari pancaran electron dari tabung katode.Lempeng logam yang letaknya di dekat tbung katode memencarkan sinar flueresens selama electron di alirkan.Oleh sebab itu,Rontgen menyimpulkan bahwa sinar tersebut di sebabkan oleh radiasi dari suatu atom.karena tidak di kenal dalm ilmu,maka Rontgen memberikan nama dengan sebutan SINAR X.
Biasanya,masyarakat awam menyebutnya dengan sebutan ‘’FOTO RONTGEN’’.Selain bermanfaat,sinar x mempunyai efek/dampak yang sangat berbahaya bagi tubuh kita yaitu apabila di gunakan secara berlebihan maka akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya,misalnya kanker.Oleh sebab itu para dokter tidak menganjurkan terlalu sering memakai ‘’FOTO RONTGEN’’ secara berlebihan.
Kegunaan Sinar X
Kedokteran
* Sinar X digunakan untuk mengambil gambar foto yang dikenal sebagai radiograf. Sinar X bisa menembus badan manusia tetapi diserap oleh bagian yang lebih keras seperti tulang. Gambar foto sinar X ini digunakan untuk mendeteksi kerusakan tulang.
* Sinar-X keras digunakan untuk memusnahkan sel-sel kanker. Kaedah ini dikenal sebagai radioterapi.
Industri
* Sinar X digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada kerusakan pada mesin
* Memeriksa retakan dalam struktur plastik
Manfaat lainnya
* Sinar X digunakan untuk mendeteksi suatu barang seni kuno apakah tiruan ato asli
* Di bandara, sinar-X lembut digunakan untuk memeriksa barang-barang dan tas penumpang.
So UCAPKAN ULTAH BUAT SINAR X hari ini yang ke115.
:) Read More..
Pagi yang fress untuk membuka situs www.google.com di pojok SC lantai 1, seketika itu mata melihat ada yang aneh pada situs itu. ternyata "wajah" google berganti lagi
Sedikit mengenai Sinar X atau sering terdengar X-Ray
Tentang sinar X
Sinar-X atau sinar Röntgen adalah salah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang berkisar antara 10 nanometer ke 100 picometer (mirip dengan frekuensi dalam jangka 30 PHz to 60 EHz). Sinar-X umumnya digunakan dalam diagnosis gambar medikal dan Kristalografi sinar-X. Sinar-X adalah bentuk dari radiasi ion dan dapat berbahaya.
Sejarah Sinar-X
Sinar x di temukan secara tidak sengaja oleh Wilhelm Conrad Rontgen (1845-1923).Ilmuwan Jerman pada November 1895.Pada waktu itu,Rontgen sedang mempelajari pancaran electron dari tabung katode.Lempeng logam yang letaknya di dekat tbung katode memencarkan sinar flueresens selama electron di alirkan.Oleh sebab itu,Rontgen menyimpulkan bahwa sinar tersebut di sebabkan oleh radiasi dari suatu atom.karena tidak di kenal dalm ilmu,maka Rontgen memberikan nama dengan sebutan SINAR X.
Biasanya,masyarakat awam menyebutnya dengan sebutan ‘’FOTO RONTGEN’’.Selain bermanfaat,sinar x mempunyai efek/dampak yang sangat berbahaya bagi tubuh kita yaitu apabila di gunakan secara berlebihan maka akan dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya,misalnya kanker.Oleh sebab itu para dokter tidak menganjurkan terlalu sering memakai ‘’FOTO RONTGEN’’ secara berlebihan.
Kegunaan Sinar X
Kedokteran
* Sinar X digunakan untuk mengambil gambar foto yang dikenal sebagai radiograf. Sinar X bisa menembus badan manusia tetapi diserap oleh bagian yang lebih keras seperti tulang. Gambar foto sinar X ini digunakan untuk mendeteksi kerusakan tulang.
* Sinar-X keras digunakan untuk memusnahkan sel-sel kanker. Kaedah ini dikenal sebagai radioterapi.
Industri
* Sinar X digunakan untuk mendeteksi kerusakan pada kerusakan pada mesin
* Memeriksa retakan dalam struktur plastik
Manfaat lainnya
* Sinar X digunakan untuk mendeteksi suatu barang seni kuno apakah tiruan ato asli
* Di bandara, sinar-X lembut digunakan untuk memeriksa barang-barang dan tas penumpang.
So UCAPKAN ULTAH BUAT SINAR X hari ini yang ke115.
:) Read More..
Label:
Artikel,
Ibnu Aqil,
Opini,
Pengetahuan,
Perjuangan,
Rayon,
Sejarah
Minggu, 31 Oktober 2010
Merawat dan Menindaklanjuti; Pekerjaan tersulit
Oleh : Abdur Rahim 'iDung
Diskusi tentang Gerakan Mahasiswa di Indonesia membuahkan PR besar...
Reformasi 1998 merupakan gerakan besar2an bangsa indonesia yang dipelopori oleh mahasiswa. Gerakan yang berangkat dari keresahan intelektual, keresahan ekonomi, dan keresahan-keresahan lainnya. misalnya, Tentara yang terlalu menguasai dan mendominasi segala lini. pada awalnya tentara (ABRI) bertujuan untuk mengakomodasi masyarakat dan dari Aksi dan Akomodasi, kemudian ke Dominasi tentara dan akhirnya pada tataran Hegemoni. dan lain sebagainya seperti:
kebebasan membentuk dan menjadi anggota organisasi, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak memilih, kesempatan menjadi pejabat pemerintah,dsb... Muncullah Reformasi 1998 yang menjadi Sejarah baru Bangsa Indonesia...
akan tetapi, Ada beberapa PR bagi bangsa Indonesia khususnya Mahasiswa pasca Reformasi 1998.
*****
- Involusi Refolusi: gerakan sekedar menurunkan Soeharto...???
- Partai Politik tidak menjalankan Fungsi-fungsinya, yang akhirnya muncul pragmatis-materialis, sehingga masyarakat pun Apatis terhadap Partai Politik.
- matinya cendekiawan...???
- rezim neo-lib mendikte negara.
*****
PR ini sampai hari ini masih belum terjawabkan. Banyak mahasiswa '98 sudah mulai luntur Idealismenya...salah satu faktornya adalah dibenturkan dengan yang namanya "Profesional-Birokratik" dan lain sebagainya... Indealisme yang ada pada masyarakat dan mahasiswa sulit untuk ditebak. pasalanya, idealisme itu (katanya) sudah mulai kalah dengan sistem kapitalisme, dan isme2 yang lain....
*****
Memang ketika berbicara masalah idealisme hari ini bisa dibilang tidak jauh seperti iman...yaziid wa yanqus...
Misalnya, Hari ini Mahasiswa banyak yang berkoar-koar dijalan membela Kaum buruh, dan sebagainya... akan tetapi terkadang suatu saat bisa di cek idealismenya..(kalau memang bisa diukur)... yang awalnya "Ingin Mebenahi Sistem dari Luar sistem", suatu saat akan berkata "Memperbaiki Sistem dari dalam Sistem (Ikut Memainkan sistem)"... iotu sudah lumrah terjadi...
*****
Pertanyaannya Sekarang, Bagaimana merawat dan menindaklanjuti Idealisme yang dulu pernah ada... baik idealisme Intelektual, Politik, dsb...????????????????
Wallahu a'lamu.
Read More..
Diskusi tentang Gerakan Mahasiswa di Indonesia membuahkan PR besar...
Reformasi 1998 merupakan gerakan besar2an bangsa indonesia yang dipelopori oleh mahasiswa. Gerakan yang berangkat dari keresahan intelektual, keresahan ekonomi, dan keresahan-keresahan lainnya. misalnya, Tentara yang terlalu menguasai dan mendominasi segala lini. pada awalnya tentara (ABRI) bertujuan untuk mengakomodasi masyarakat dan dari Aksi dan Akomodasi, kemudian ke Dominasi tentara dan akhirnya pada tataran Hegemoni. dan lain sebagainya seperti:
kebebasan membentuk dan menjadi anggota organisasi, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak memilih, kesempatan menjadi pejabat pemerintah,dsb... Muncullah Reformasi 1998 yang menjadi Sejarah baru Bangsa Indonesia...
akan tetapi, Ada beberapa PR bagi bangsa Indonesia khususnya Mahasiswa pasca Reformasi 1998.
*****
- Involusi Refolusi: gerakan sekedar menurunkan Soeharto...???
- Partai Politik tidak menjalankan Fungsi-fungsinya, yang akhirnya muncul pragmatis-materialis, sehingga masyarakat pun Apatis terhadap Partai Politik.
- matinya cendekiawan...???
- rezim neo-lib mendikte negara.
*****
PR ini sampai hari ini masih belum terjawabkan. Banyak mahasiswa '98 sudah mulai luntur Idealismenya...salah satu faktornya adalah dibenturkan dengan yang namanya "Profesional-Birokratik" dan lain sebagainya... Indealisme yang ada pada masyarakat dan mahasiswa sulit untuk ditebak. pasalanya, idealisme itu (katanya) sudah mulai kalah dengan sistem kapitalisme, dan isme2 yang lain....
*****
Memang ketika berbicara masalah idealisme hari ini bisa dibilang tidak jauh seperti iman...yaziid wa yanqus...
Misalnya, Hari ini Mahasiswa banyak yang berkoar-koar dijalan membela Kaum buruh, dan sebagainya... akan tetapi terkadang suatu saat bisa di cek idealismenya..(kalau memang bisa diukur)... yang awalnya "Ingin Mebenahi Sistem dari Luar sistem", suatu saat akan berkata "Memperbaiki Sistem dari dalam Sistem (Ikut Memainkan sistem)"... iotu sudah lumrah terjadi...
*****
Pertanyaannya Sekarang, Bagaimana merawat dan menindaklanjuti Idealisme yang dulu pernah ada... baik idealisme Intelektual, Politik, dsb...????????????????
Wallahu a'lamu.
Read More..
Label:
Artikel,
Opini,
Perjuangan,
Rayon
Senin, 11 Oktober 2010
"Writing" assignment by: Ilham Efendy Aqilians
1.The characteristics of Argument essay
1.Introduction
2.Main point of the case
a.The main argument of USA suing the Cooperative
3.The Court’s decision
4.Various aspects of the case
5.Conclusion
Examples:
Smoking cigarette is hazardous to your health. Several years ago, a united states government study was realize that linked the intake of tar and nicotine, found in cigarettes, with development of cancer in laboratory of animals. The evidence was over whelming that united states government required cigarette manufactures to put warning on the outside of each pocket of cigarettes, which yes, “warning
: the surgeon general has determined that cigarette smoking is hazardous to your health. “ Aside from the most serious and dreaded disease, cancer, cigarette smoking also can aggravate or promote other health problems. For example, smoking can increase the discomfort for people with asthma and emphysema. It can give one a “smoker’s cough” and contribute to bronchitis. Finally, resent studies have shown that cigarette smokers are more susceptible to common cold and flu. Whether you get an insignificant cold or the major killer, cancer, smoking cigarettes is hazardous. Is it worth it?
(L. Smalley and K. Ruetten. Refining composition skill, Second Edition. New York: Macmillan publishing Company. Page 8)
2. The Characteristics Of A Narrative Essay:
1. Plot
2. Character
3. Setting
4. Climax
5. Ending
The narrative essay format
1. It has no restrictions considering in what person is should be written, nevertheless, often it is written from the first person and therefore the “I” sentences are allowed.
2. This type of essay is to make a deep emotional impression on the reader through the technique of using concrete and sensory details as the dominant of the paper.
Example:
A memorable event in my life
I’m supposed to free write for ten minute about memorable event in my life. I don’t know what to write about. Maybe about my brother’s boat accident. We were so scared. We though he was going to down. He was trapped under an overturned bout and didn’t have any air. To breath. But ended all right. He was rescued and only had a broken arm. What else can I write about? Oh! Know. A day I always remember was the day I left my country to come to the united states. That was a sad/happy day. I felt sad and happy at the same time. Maybe I should write about something happy. Our family vacation lust summer was fun. We drove to coast and camped for a week on the beach. Then there was the day the day earthquake happened. Now that was definitely a member event. I will never forget it. I was at home with my older sister little brother.
(Oshima, Alice. Introduction to Academic Writing, Second Edition. Longman: page 25)
3. Writing a characteristics of description essay
• A certain experience
• A special memory
• An interesting place
• One person
• A thing/object
Descriptive essays outline
• Taste
• Smell
• Sight
• Sound
• Touch
Example:
The Stairway
By Toshiki Yamazaki
When I was on two or three years old, I lived in a house that had a strong atmosphere. I don’t remember enything about the house except the stairway. It was dark, squeaking, and quite narrow,. From the bottom of the stairway, it seem like an endless climb to the top. Beyond the darkness at the top of the stairway, there was a middle-aged, elegant lady leaning against the wall. I had to pass her every time I went to my room. For my room was the first room from the stair on the second floor. The lady was beautiful dress with quiet pattern and a tinge of blue, and peaceful eyes stared at me every time I went up the stairs.
(Oshima, Alice. Introduction to Academic Writing, Second Edition. Longman: page 49)
4. Persuasive essay format
The characteristics of the persuasive essay format are:
• A deep preliminary research
• Logical argumentation
• Evidence supported by reliable sources
• Additional necessary facts to convince the reader
• Clear reasoning
• Plausible arguments and facts
Persuasive essay structure:
1. Introduction
• The opening statement
• The thesis/the idea of the essay
2. Body paragraphs
• the point of argument
• the explanation of the argument
• facts/evidence that support the idea/thesis
• a small summary leading to the next argument
Read More..
1.Introduction
2.Main point of the case
a.The main argument of USA suing the Cooperative
3.The Court’s decision
4.Various aspects of the case
5.Conclusion
Examples:
Smoking cigarette is hazardous to your health. Several years ago, a united states government study was realize that linked the intake of tar and nicotine, found in cigarettes, with development of cancer in laboratory of animals. The evidence was over whelming that united states government required cigarette manufactures to put warning on the outside of each pocket of cigarettes, which yes, “warning
: the surgeon general has determined that cigarette smoking is hazardous to your health. “ Aside from the most serious and dreaded disease, cancer, cigarette smoking also can aggravate or promote other health problems. For example, smoking can increase the discomfort for people with asthma and emphysema. It can give one a “smoker’s cough” and contribute to bronchitis. Finally, resent studies have shown that cigarette smokers are more susceptible to common cold and flu. Whether you get an insignificant cold or the major killer, cancer, smoking cigarettes is hazardous. Is it worth it?
(L. Smalley and K. Ruetten. Refining composition skill, Second Edition. New York: Macmillan publishing Company. Page 8)
2. The Characteristics Of A Narrative Essay:
1. Plot
2. Character
3. Setting
4. Climax
5. Ending
The narrative essay format
1. It has no restrictions considering in what person is should be written, nevertheless, often it is written from the first person and therefore the “I” sentences are allowed.
2. This type of essay is to make a deep emotional impression on the reader through the technique of using concrete and sensory details as the dominant of the paper.
Example:
A memorable event in my life
I’m supposed to free write for ten minute about memorable event in my life. I don’t know what to write about. Maybe about my brother’s boat accident. We were so scared. We though he was going to down. He was trapped under an overturned bout and didn’t have any air. To breath. But ended all right. He was rescued and only had a broken arm. What else can I write about? Oh! Know. A day I always remember was the day I left my country to come to the united states. That was a sad/happy day. I felt sad and happy at the same time. Maybe I should write about something happy. Our family vacation lust summer was fun. We drove to coast and camped for a week on the beach. Then there was the day the day earthquake happened. Now that was definitely a member event. I will never forget it. I was at home with my older sister little brother.
(Oshima, Alice. Introduction to Academic Writing, Second Edition. Longman: page 25)
3. Writing a characteristics of description essay
• A certain experience
• A special memory
• An interesting place
• One person
• A thing/object
Descriptive essays outline
• Taste
• Smell
• Sight
• Sound
• Touch
Example:
The Stairway
By Toshiki Yamazaki
When I was on two or three years old, I lived in a house that had a strong atmosphere. I don’t remember enything about the house except the stairway. It was dark, squeaking, and quite narrow,. From the bottom of the stairway, it seem like an endless climb to the top. Beyond the darkness at the top of the stairway, there was a middle-aged, elegant lady leaning against the wall. I had to pass her every time I went to my room. For my room was the first room from the stair on the second floor. The lady was beautiful dress with quiet pattern and a tinge of blue, and peaceful eyes stared at me every time I went up the stairs.
(Oshima, Alice. Introduction to Academic Writing, Second Edition. Longman: page 49)
4. Persuasive essay format
The characteristics of the persuasive essay format are:
• A deep preliminary research
• Logical argumentation
• Evidence supported by reliable sources
• Additional necessary facts to convince the reader
• Clear reasoning
• Plausible arguments and facts
Persuasive essay structure:
1. Introduction
• The opening statement
• The thesis/the idea of the essay
2. Body paragraphs
• the point of argument
• the explanation of the argument
• facts/evidence that support the idea/thesis
• a small summary leading to the next argument
Read More..
Label:
Artikel,
English,
Ibnu Aqil,
Makalah,
Perjuangan,
tugas Aqilians All
Selasa, 05 Oktober 2010
Cara Kerja Ilmu Kemanusian
Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan seperti masalah: budaya, sosial, politik, ekonomi, yang terdapat pada masyarakat. Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek itu dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus yaitu manusia atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah...
antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu ekonomi.
Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action). Di dalam tindakan (perilaku) bermakna manusia atau seseorang manghasilkan karya-karya tertantu misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari Inggris, karya seni seperti tari Pendet, lukisan yang termashur yaitu Monalisa karya Michelangelo. Untuk itulah apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih mendalam haruslah digunakan metode yang tepat, agar objektivitas dan kebenaran ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami, meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia melakukan suatu karya seni ataupun terlibat dalam peristiwa sejarah, misalnya jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode wawancara mendalam (depth intervieuw), yang bertujuan untuk memahami dengan lebih baik dan mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada peristiwa sejarah ataupun saat membuat karya seni. Metode yang lain adalah metode deskripsi, yaitu metode yang digunakan oleh para peneliti untuk mencatat, melukiskan dan menggambarkan tentang seluruh sifat dan karakteristik dari objek penelitiannya.
Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang bertitik tolak pada nilai-nilai (value) kemanusiaan (nilai moral, nilai budaya, nilai agama, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data penelitiannya. Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmu-ilmu kemanusiaan di awal abad XX dan sampai saat ini telah menggabungkan metode statistik ke dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian pada psikologi, ilmu sosial, serta ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode statistik dalam mengolah data penelitiannya.
Read More..
antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu ekonomi.
Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action). Di dalam tindakan (perilaku) bermakna manusia atau seseorang manghasilkan karya-karya tertantu misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William Shakespeare dari Inggris, karya seni seperti tari Pendet, lukisan yang termashur yaitu Monalisa karya Michelangelo. Untuk itulah apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih mendalam haruslah digunakan metode yang tepat, agar objektivitas dan kebenaran ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami, meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia melakukan suatu karya seni ataupun terlibat dalam peristiwa sejarah, misalnya jatuhnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan metode wawancara mendalam (depth intervieuw), yang bertujuan untuk memahami dengan lebih baik dan mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat, misalnya pada peristiwa sejarah ataupun saat membuat karya seni. Metode yang lain adalah metode deskripsi, yaitu metode yang digunakan oleh para peneliti untuk mencatat, melukiskan dan menggambarkan tentang seluruh sifat dan karakteristik dari objek penelitiannya.
Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode kualitatif, yaitu metode yang bertitik tolak pada nilai-nilai (value) kemanusiaan (nilai moral, nilai budaya, nilai agama, nilai estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data penelitiannya. Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmu-ilmu kemanusiaan di awal abad XX dan sampai saat ini telah menggabungkan metode statistik ke dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian pada psikologi, ilmu sosial, serta ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode statistik dalam mengolah data penelitiannya.
Read More..
Cara Kerja Ilmu Hayat
Ilmu hayat adalah ilmu pengetahuan yang membahas gejala alam yang bersifat hidup, atau memiliki sifat kehidupan. Sifat ilmu hayat adalah empiris, artinya gejala alam yang dianggap hidup dapat diamati secara indrawi atau faktual, nyata. Contoh pada ilmu hayat adalah...
ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan (zoologi)
Sifat Ilmu Hayat
Ilmu hayat memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati, berkembang biak. Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu sistem yang memiliki nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu. Sebagai suatu sistem yang baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya hidup saling melengkapi, saling menunjang sehingga sistem itu berjalan dengan sempurna.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat
Pertama, metode kausal yang berguna untuk melihat hubungan sebab akibat yang berasal dari hubungan atau interaksi antar organ. Di dalam hubungan kausalitas itu sebenarnya terdapat semacam “informasi” di antara masing-masing organ, sehingga memungkinkan organ itu berproses swakendali atau disebut sebagai proses sibernetik. Proses sibernatik merupakan proses yang dikendalikan oleh adanya informasi umpan balik dari organ-organ yang berjalan secara teratur (mekanistis). Proses umpan balik tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik di antara organisme. Sebagai contoh, daun mangga ketika masih tunas (kecil) berwarna hijau muda, ketika tumbuh menjadi lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika daun itu mati berwarna kekuningan dan setelah mengering, maka daun itu gugur. Selama pohon mangga itu masih hidup, maka terulang proses pertumbuhan daun itu. dari tunas daun hingga daun berwarna hijau tua kemudian kekuningan dan proses tersebut disebut sebagai proses sibernetik (proses swakendali), Sementara itu karena adanya asupan informasi masing-masing organisme melalui sel fotografik maka proses itu dapat berjalan dan berlangsung secara teratur dan berkala.
Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya keteraturan tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya-daya hidup dari organisme. Metode mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut sebagai tujuan finalis (tujuan akhir) agar sistem organisme berjalan dengan sempurna.
Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji tentang penelusuran secara historis bagaimana terjadinya sebuah organ, sel ataupun jaringan tertentu.
Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-masing organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem organ itu berjalan dengan teratur dan baik.
Read More..
ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan (zoologi)
Sifat Ilmu Hayat
Ilmu hayat memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati, berkembang biak. Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu sistem yang memiliki nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu. Sebagai suatu sistem yang baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya hidup saling melengkapi, saling menunjang sehingga sistem itu berjalan dengan sempurna.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat
Pertama, metode kausal yang berguna untuk melihat hubungan sebab akibat yang berasal dari hubungan atau interaksi antar organ. Di dalam hubungan kausalitas itu sebenarnya terdapat semacam “informasi” di antara masing-masing organ, sehingga memungkinkan organ itu berproses swakendali atau disebut sebagai proses sibernetik. Proses sibernatik merupakan proses yang dikendalikan oleh adanya informasi umpan balik dari organ-organ yang berjalan secara teratur (mekanistis). Proses umpan balik tersebut diartikan sebagai hubungan timbal balik di antara organisme. Sebagai contoh, daun mangga ketika masih tunas (kecil) berwarna hijau muda, ketika tumbuh menjadi lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika daun itu mati berwarna kekuningan dan setelah mengering, maka daun itu gugur. Selama pohon mangga itu masih hidup, maka terulang proses pertumbuhan daun itu. dari tunas daun hingga daun berwarna hijau tua kemudian kekuningan dan proses tersebut disebut sebagai proses sibernetik (proses swakendali), Sementara itu karena adanya asupan informasi masing-masing organisme melalui sel fotografik maka proses itu dapat berjalan dan berlangsung secara teratur dan berkala.
Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya keteraturan tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya-daya hidup dari organisme. Metode mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut sebagai tujuan finalis (tujuan akhir) agar sistem organisme berjalan dengan sempurna.
Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji tentang penelusuran secara historis bagaimana terjadinya sebuah organ, sel ataupun jaringan tertentu.
Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-masing organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem organ itu berjalan dengan teratur dan baik.
Read More..
Cara Kerja Ilmu Alam
Ilmu alam adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala alam (gejala alam yang tidak hidup). Sifat ilmu alam adalah empiris, artinya gejala alam itu dianggap sebagai fenomena yang dapat dibuktikan secara indrawi, dan konkret. Contoh Ilmu-ilmu alam adalah..
geologi, astronomi, hidrologi, ilmu kimia, fisika, meteorologi, geodesi.
Sifat Ilmu Alam
Adanya praanggapan bahwa ada hukum alam, yang dapat dikenakan pada seluruh gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri yang melekat pada gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ciri kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu dan karenanya dapat dihitung, diukur secara matematis. Selain itu hukum alam memiliki sifat mekanistis, yaitu sifat keteraturan yang melekat pada gejala alam dan sifat keteraturan itu berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam
Pertama, melalui metode observasi atau pengamatan melalui panca indra manusia serta didukung oleh alat tertentu, alat yang dioperasionalkan untuk menunjang pengamatan tersebut. Kedua, metode deskripsi yang bertujuan untuk melukiskan, menggambarkan tentang gejala alam serta interaksi di antara gejala-gejala alam tersebut. Ketiga, metode erklaeren atau metode eksplanasi, adalah metode untuk menerangkan tentang berbagai hubungan gejala alam itu satu dengan yang lainnya. Keempat, metode kausalitas, yaitu metode yang mencoba menjelaskan gejala alam atas dasar hubungan sebab akibat.
Read More..
geologi, astronomi, hidrologi, ilmu kimia, fisika, meteorologi, geodesi.
Sifat Ilmu Alam
Adanya praanggapan bahwa ada hukum alam, yang dapat dikenakan pada seluruh gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri yang melekat pada gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Ciri kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam memiliki besaran tertentu dan karenanya dapat dihitung, diukur secara matematis. Selain itu hukum alam memiliki sifat mekanistis, yaitu sifat keteraturan yang melekat pada gejala alam dan sifat keteraturan itu berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu.
Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam
Pertama, melalui metode observasi atau pengamatan melalui panca indra manusia serta didukung oleh alat tertentu, alat yang dioperasionalkan untuk menunjang pengamatan tersebut. Kedua, metode deskripsi yang bertujuan untuk melukiskan, menggambarkan tentang gejala alam serta interaksi di antara gejala-gejala alam tersebut. Ketiga, metode erklaeren atau metode eksplanasi, adalah metode untuk menerangkan tentang berbagai hubungan gejala alam itu satu dengan yang lainnya. Keempat, metode kausalitas, yaitu metode yang mencoba menjelaskan gejala alam atas dasar hubungan sebab akibat.
Read More..
Cara Kerja Ilmu Empiris
Ilmu Empiris adalah ilmu yang bertitik tolak pada pengalaman indrawi. Pengalaman indrawi diartikan sebagai sentuhan, penglihatan, penciuman, pengecapan seseorang terhadap sesuatu yang diamatinya. Dengan demikian pengalaman indrawi dari seorang ilmuwan berkaitan dengan objek penelitian yang sifatnya sangat konkret, faktual. Dalam pengamatan atau observasi terhadap objek tersebut, seorang peneliti atau ilmuwan atau mahasiswa dapat menggunakan sarana untuk....
menunjang pengamatannya itu. Sarana itu dapat berupa alat-alat seperti mikroskop, teleskop, thermometer, neraca ataupun alat-alat pengukur lainnya. Tujuan pengamatan untuk memperoleh ataupun menangkap semua gejala terhadap semua objek yang diamatinya serta menjelaskan dengan benar. Hasil dari pengamatan itu berupa data awal yang harus dicatat dengan cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi analisis sebuah penelitian.
Objek Ilmu Empiris
Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari dua aspek, yaitu objek materi dan objek formal. Objek materi berupa apa saja yang dapat dimati oleh manusia, seperti alam semesta, mahluk hidup di dunia ini, dan manusia. Objek forma adalah pokok perhatian seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya yang sangat khusus. Objek forma atau aspek yang khusus dalam ilmu empiris dapat berupa misalnya minat yang sangat tinggi tentang kesehatan manusia, tentang pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuh-tumbuhan, dari hewan, serta adat istiadat suatu bangsa/masyarakat tertentu. Dari hasil objek forma yang beraneka ragam itulah memunculkan ilmu-ilmu tertentu yang sifatnya empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu teknik, botani, zoologi, antropologi, ilmu sosial.
Pendekatan atau Metode Ilmu Empiris
Pendekatan atau metode merupakan cara seorang ilmuwan atau peneliti atau mahasiswa mendapatkan data saat ia sedang melakukan pengamatan. Lazimnya di dalam ilmu empiris seorang ilmuwan atau mahasiswa menggunakan pendekatan atau metode induktif. Metode induktif adalah sebuah metode yang digunakan dalam ilmu empiris yang mencoba menarik kesimpulan dari penalaran yang bersifat khusus untuk sampai pada penalaran yang umum sifatnya. Pada penalaran yang sifatnya khusus itu, seorang pengamat akan mengamati beberapa hal atau sesuatu yang memiliki ciri-ciri yang khusus. Sebagai contoh, saat Takhfif melihat buah jeruk yang diletakkan di dalam sebuah keranjang, ia melihat bahwa keduapuluh jeruk itu berwarna kuning dan bentuknya bulat. Atas dasar itulah Takhfif menyimpulkan bahwa jeruk (yang berjumlah 20 yang berada di dalam keranjang semuanya berwarna kuning dan bentuknya bulat. Metode induksi berguna bagi ilmu empiris karena mendasarkan pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan berpijak pada ilmu empiris.
Read More..
menunjang pengamatannya itu. Sarana itu dapat berupa alat-alat seperti mikroskop, teleskop, thermometer, neraca ataupun alat-alat pengukur lainnya. Tujuan pengamatan untuk memperoleh ataupun menangkap semua gejala terhadap semua objek yang diamatinya serta menjelaskan dengan benar. Hasil dari pengamatan itu berupa data awal yang harus dicatat dengan cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi analisis sebuah penelitian.
Objek Ilmu Empiris
Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari dua aspek, yaitu objek materi dan objek formal. Objek materi berupa apa saja yang dapat dimati oleh manusia, seperti alam semesta, mahluk hidup di dunia ini, dan manusia. Objek forma adalah pokok perhatian seseorang terhadap sesuatu yang menjadi minatnya yang sangat khusus. Objek forma atau aspek yang khusus dalam ilmu empiris dapat berupa misalnya minat yang sangat tinggi tentang kesehatan manusia, tentang pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuh-tumbuhan, dari hewan, serta adat istiadat suatu bangsa/masyarakat tertentu. Dari hasil objek forma yang beraneka ragam itulah memunculkan ilmu-ilmu tertentu yang sifatnya empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu teknik, botani, zoologi, antropologi, ilmu sosial.
Pendekatan atau Metode Ilmu Empiris
Pendekatan atau metode merupakan cara seorang ilmuwan atau peneliti atau mahasiswa mendapatkan data saat ia sedang melakukan pengamatan. Lazimnya di dalam ilmu empiris seorang ilmuwan atau mahasiswa menggunakan pendekatan atau metode induktif. Metode induktif adalah sebuah metode yang digunakan dalam ilmu empiris yang mencoba menarik kesimpulan dari penalaran yang bersifat khusus untuk sampai pada penalaran yang umum sifatnya. Pada penalaran yang sifatnya khusus itu, seorang pengamat akan mengamati beberapa hal atau sesuatu yang memiliki ciri-ciri yang khusus. Sebagai contoh, saat Takhfif melihat buah jeruk yang diletakkan di dalam sebuah keranjang, ia melihat bahwa keduapuluh jeruk itu berwarna kuning dan bentuknya bulat. Atas dasar itulah Takhfif menyimpulkan bahwa jeruk (yang berjumlah 20 yang berada di dalam keranjang semuanya berwarna kuning dan bentuknya bulat. Metode induksi berguna bagi ilmu empiris karena mendasarkan pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan berpijak pada ilmu empiris.
Read More..
FILSAFAT ILMU
Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang keduanya dengan filsafat.Pengenalan tentang berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam menentukan dasar seseorang dalam...
memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia ilmiah.
PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Pengertian Pengetahuan
Bagi manusia hal utama yang sangat penting bagi dirinya adalah keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, buku ,dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan, yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat membuktikan secara indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang mengatakan, bahwa benda itu, misalnya kursi, memang benar ada dan berada di ruang kerja seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi: karena sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya, maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana sebenarnya pengetahuan berasal? Pengetahuan muncul karena adanya gejala. Gejala-gejala yang melekat pada sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh manusia, aroma bau tertentu karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang menyengat karena sudah lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul dihadapan kita. Kita harus “menangkap” gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, observasi yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih menekankan adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Selain telah mengenal adanya pengetahuan yang bersifat empiris, maka pengetahuan empiris tersebut harus dideskripsikan, sehingga kemudian kita mengenal adanya pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, gejala yang nampak olehnya, dan penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal yang diamatinya itu.
Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu dan terjadi berulang kali juga dapat membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Takhfif merasa bahwa ia akan terlambat kuliah di kampus (kuliah di mulai pukul 9 pagi) apabila berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus membutuhkan waktu 2 jam. Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari Rayon pukul 7.30 pagi. Untuk itu ia telah berpikir dan memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat pukul 6.30 agar tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemikiran manusia atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber pengetahuan dalam upaya mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau empiris, kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi) lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang tidak menekankan pada pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi, bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam logika muncul pertanyaan: “jika benda A tidak ada, maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A tidak dapat hadir di sini”, dalam matematika, perhitungan 2+2=4, penjumlahan itu sebagai sesuatu yang pasti dan sangat logis.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Sebuah pernyataan yang muncul dibenak setiap orang, sebenarnya ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu apa? Apakah ada perbedaan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Untuk menjawab hal itu perlulah kita mengulasnya dengan cermat. Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman manusia ketika ia mendapatkan pengetahuan tertentu melalui proses yang khusus. Sebuah cerita tentang Newton, bagaimana ia menemukan teori gravitasi dalam ilmu fisika bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel yang jatuh dan menimpa kepalanya saat sedang duduk di bawah pohon apel. Pengalaman tentang sesuatu itulah yang menyebabkan orang kemudian berpikir dan berpikir lebih lanjut tentang sebab peristiwa tersebut. Berkat ketekunan, kesabaran, keingintahuan serta didukung dengan kepandaian dan intelegensi yang memadai dan daya kreativitas yang tinggi seseorang dapat menciptakan teori-teori atau hukum atau dalil dan teori-teori tersebut agar dapat diterapkan bagi kepentingan umat manusia. Munculnya teknologi atau hasil dari ilmu pengetahuan (berupa benda-benda di sekeliling manusia seperti misalnya mobil, pesawat terbang, kereta api, komputer, telpon selular, dan sebagainya), dari masa ke masa telah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memang mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tetapi pengalaman yang bersifat indrawi belumlah cukup untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami proses ilmiah yang lebih lanjut, dan hal ini dikenal sebagai proses metodologis. Proses metodologis adalah suatu proses kerja di dalam kegiatan ilmiah (misalnya dapat berada dalam suatu laboratorium) untuk mengolah gejala-gejala pengetahuan dan bertujuan mendapatkan kebenaran dari gejala-gejala tersebut. Untuk itulah di dalam setiap proses metodologis atau proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat terhadap objek penelitian haruslah diperhatikan dengan benar. Pengamatan secara empiris atau indrawi yang didukung dengan alat bantu tertentu seperti misalnya mikroskop, tape recorder atau kuesioner sangat membantu bagi seorang peneliti dalam mencari dan menemukan fakta penelitiannya. Hasil dari ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pengamatan indrawi dan faktual disebut sebagai ilmu pengetahuan empris. Ini berarti bahwa ilmu empiris bergantung pada objek penelitian yang sangat konkret dan terlihat, tersentuh, terdengar dan tercium oleh panca indra manusia. Di sisi lain, ilmu pengetahuan haruslah dapat dilukiskan, digambarkan, diuraikan secara tertulis tentang segala ciri-ciri, sifat maupun bentuk dari gejala-gejalanya, dan ilmu pengetahuan semacam itu disebut sebagai ilmu pengetahuan deskriptif. Contoh ilmu empiris adalah antara lain: ilmu kedokteran, antropologi, arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, ilmu fisika, sedang contoh ilmu deskriptif adalah antara lain: ilmu filsafat, susastra, ilmu kedokteran, biologi, ilmu keperawatan, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Bagi seorang ilmuwan lingkup ilmiah sangat mendukung dalam proses penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah sangat dikenal dan diakrabinya. Ia harus mengenal tentang langkah-langkah dalam kegiatan penelitiannya atau istilah teknis dalam kegiatan penelitian. Ia harus dapat berpikir logis, runtut dalam setiap langkah ataupun tahapan dalam setiap penelitiannya. Tahapan penelitian atau cara kerja ilmiah lazimnya dilalui dengan proses penalaran yang meliputi , misalnya :
a). Observasi yaitu pengamatan terhadap objek penelitian yang sifatnya konkret seperti manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, penyakit dan sebagainya dan objek penelitian tersebut merupakan fenomena bagi penelitian seseorang atau peneliti.
b). Fakta yaitu suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang saya lihat atau sesuatu tentang apa yang terjadi yang berkaitan dengan gejala dalam fenomena seseorang.
c). Data yaitu hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari fakta yang telah ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti telah menemukan gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan konkret/faktual dari objek penelitiannya, misalnya jumlah rumah sakit swasta yang ada di DKI Jakarta ada 30 buah; penderita diabetes mellitus pada Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret 2006 berjumlah 10 orang, dan sebagainya.
d). Konsep merupakan pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang berasal dari fakta), dan pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu dipikirkan oleh manusia, dan oleh karenanya menjadi pemikiran manusia. Bagi seseorang atau peneliti yang memiliki konsep tertentu atau konsep tentang sesuatu maka konsep tersebut harus dituliskan agar dapat dipahami oleh orang lain.
e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori adalah mengelompokkan gejala atau data penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun kategori atas dasar kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau penggolongan ataupun kategori haruslah memiliki ciri, sifat yang homogen atau sama. Apabila ciri, sifat dari gejala itu tidak sama, maka klasifikasi dari suatu gejala atau data penelitian tersebut tidak menunjukkan kadar ilmiah yang benar.
f) Definisi yaitu merumuskan tentang sesuatu atau apa yang disebut (definiendum) dengan perumusan tertentu atau apa yang dinamakan (definiens). Definisi membantu seorang peneliti atau ilmuwan untuk merumuskan tentang sesuatu/ hal itu agar orang lain lebih mudah memahami perumusan tersebut. Untuk itu ada beberapa jenis definisi yang dijelaskan sebagai berikut :
(1). Definisi etimologis yaitu menjelaskan sesuatu atas dasar asal katanya. Misalnya kata biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan logos), yang artinya ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup
(2). Definisi stipulatif adalah merumuskan sesuatu atau istilah tertentu yang akan digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah suatu pengerti-an yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi buku dan dalam kegiatan ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru dimunculkan.
(3). Definisi deskriptif merumuskan tentang sesuatu atas dasar sejarah, ciri, sifat, kriteria-kriteria yang ada pada sesuatu atau gejala-gejala itu.
(4). Definisi operasional merumuskan tentang pelaksanaan atau cara kerja dari fungsi dan peran gejala, alat atau benda tertentu. Definisi operasional lazim digunakan dalam ilmu teknik, ilmu pengetahuan kealaman.
(5). Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan tersebut dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif sering dipakai dalam kegiatan periklanan yang ditayangkan dalam media elektronik maupun media cetak, kegiatan kampanye politik dan sebagainya.
Definisi yang telah disebutkan di atas ternyata harus dipahami bahwa setiap perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan bahasa. Bagi ilmu pengetahuan maka bahasa memegang peran penting, karena dapat mengungkapkan segala kegiatan penelitian seorang ilmuwan baik itu secara lisan maupun tertulis. Terutama dalah bahasa tulisan, maka bahasa ilmiah (bahasa ilmu) yaitu bahasa yang digunakan seorang ilmuwan dalam penelitiannya sangatlah penting karena segala upaya pembenaran metodologisnya berada di dalamnya seperti penjelasan dalam perumusan hipotesa, konsep, definisi, teori dan sebagainya.
Langkah proses penalaran pada penelitian berikutnya yaitu:
g). Hipotesa adalah suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesa tersebut, perumusan masalah sangatlah penting. Seorang peneliti harus mampu merumuskan permasalaan penelitian dengan cermat dan teliti. Dan atas dasar hipotesa tersebut, maka ilmuwan atau peneliti akan menganalisanya lebih lanjut.
h). Teori adalah hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan gejala lainnya dan hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Sebenarnya, teori yang telah teruji kebenarannya berasal dari hipotesa yang telah ada (yang sebenarnya berasal dari kerja keras si ilmuwan, usaha yang tak mengenal lelah dan selalu melakukan trial dan error, uji coba dan pada akhirnya si ilmuwan itu membuahkan hasil teori yang sahih).
Read More..
memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia ilmiah.
PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Pengertian Pengetahuan
Bagi manusia hal utama yang sangat penting bagi dirinya adalah keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, buku ,dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan, yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat membuktikan secara indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang mengatakan, bahwa benda itu, misalnya kursi, memang benar ada dan berada di ruang kerja seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi: karena sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya, maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. Bagaimana sebenarnya pengetahuan berasal? Pengetahuan muncul karena adanya gejala. Gejala-gejala yang melekat pada sesuatu misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh manusia, aroma bau tertentu karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang menyengat karena sudah lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul dihadapan kita. Kita harus “menangkap” gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, observasi yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih menekankan adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan empiris atau pengetahuan aposteriori. Selain telah mengenal adanya pengetahuan yang bersifat empiris, maka pengetahuan empiris tersebut harus dideskripsikan, sehingga kemudian kita mengenal adanya pengetahuan deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat melukiskan, menggambarkan segala ciri, sifat, gejala yang nampak olehnya, dan penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal yang diamatinya itu.
Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu dan terjadi berulang kali juga dapat membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Takhfif merasa bahwa ia akan terlambat kuliah di kampus (kuliah di mulai pukul 9 pagi) apabila berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus membutuhkan waktu 2 jam. Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari Rayon pukul 7.30 pagi. Untuk itu ia telah berpikir dan memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat pukul 6.30 agar tidak terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemikiran manusia atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber pengetahuan dalam upaya mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau empiris, kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang kemudian dikenal sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada kekuatan akal budi) lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya apriori, suatu pengetahuan yang tidak menekankan pada pengalaman. Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi, bukan dari pengalaman. Sebagai contoh, dalam logika muncul pertanyaan: “jika benda A tidak ada, maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A tidak dapat hadir di sini”, dalam matematika, perhitungan 2+2=4, penjumlahan itu sebagai sesuatu yang pasti dan sangat logis.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Sebuah pernyataan yang muncul dibenak setiap orang, sebenarnya ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu apa? Apakah ada perbedaan antara pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Untuk menjawab hal itu perlulah kita mengulasnya dengan cermat. Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman manusia ketika ia mendapatkan pengetahuan tertentu melalui proses yang khusus. Sebuah cerita tentang Newton, bagaimana ia menemukan teori gravitasi dalam ilmu fisika bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel yang jatuh dan menimpa kepalanya saat sedang duduk di bawah pohon apel. Pengalaman tentang sesuatu itulah yang menyebabkan orang kemudian berpikir dan berpikir lebih lanjut tentang sebab peristiwa tersebut. Berkat ketekunan, kesabaran, keingintahuan serta didukung dengan kepandaian dan intelegensi yang memadai dan daya kreativitas yang tinggi seseorang dapat menciptakan teori-teori atau hukum atau dalil dan teori-teori tersebut agar dapat diterapkan bagi kepentingan umat manusia. Munculnya teknologi atau hasil dari ilmu pengetahuan (berupa benda-benda di sekeliling manusia seperti misalnya mobil, pesawat terbang, kereta api, komputer, telpon selular, dan sebagainya), dari masa ke masa telah menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan memang mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tetapi pengalaman yang bersifat indrawi belumlah cukup untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami proses ilmiah yang lebih lanjut, dan hal ini dikenal sebagai proses metodologis. Proses metodologis adalah suatu proses kerja di dalam kegiatan ilmiah (misalnya dapat berada dalam suatu laboratorium) untuk mengolah gejala-gejala pengetahuan dan bertujuan mendapatkan kebenaran dari gejala-gejala tersebut. Untuk itulah di dalam setiap proses metodologis atau proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat terhadap objek penelitian haruslah diperhatikan dengan benar. Pengamatan secara empiris atau indrawi yang didukung dengan alat bantu tertentu seperti misalnya mikroskop, tape recorder atau kuesioner sangat membantu bagi seorang peneliti dalam mencari dan menemukan fakta penelitiannya. Hasil dari ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pengamatan indrawi dan faktual disebut sebagai ilmu pengetahuan empris. Ini berarti bahwa ilmu empiris bergantung pada objek penelitian yang sangat konkret dan terlihat, tersentuh, terdengar dan tercium oleh panca indra manusia. Di sisi lain, ilmu pengetahuan haruslah dapat dilukiskan, digambarkan, diuraikan secara tertulis tentang segala ciri-ciri, sifat maupun bentuk dari gejala-gejalanya, dan ilmu pengetahuan semacam itu disebut sebagai ilmu pengetahuan deskriptif. Contoh ilmu empiris adalah antara lain: ilmu kedokteran, antropologi, arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, ilmu fisika, sedang contoh ilmu deskriptif adalah antara lain: ilmu filsafat, susastra, ilmu kedokteran, biologi, ilmu keperawatan, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Bagi seorang ilmuwan lingkup ilmiah sangat mendukung dalam proses penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah sangat dikenal dan diakrabinya. Ia harus mengenal tentang langkah-langkah dalam kegiatan penelitiannya atau istilah teknis dalam kegiatan penelitian. Ia harus dapat berpikir logis, runtut dalam setiap langkah ataupun tahapan dalam setiap penelitiannya. Tahapan penelitian atau cara kerja ilmiah lazimnya dilalui dengan proses penalaran yang meliputi , misalnya :
a). Observasi yaitu pengamatan terhadap objek penelitian yang sifatnya konkret seperti manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, penyakit dan sebagainya dan objek penelitian tersebut merupakan fenomena bagi penelitian seseorang atau peneliti.
b). Fakta yaitu suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang saya lihat atau sesuatu tentang apa yang terjadi yang berkaitan dengan gejala dalam fenomena seseorang.
c). Data yaitu hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari fakta yang telah ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang peneliti telah menemukan gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan konkret/faktual dari objek penelitiannya, misalnya jumlah rumah sakit swasta yang ada di DKI Jakarta ada 30 buah; penderita diabetes mellitus pada Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret 2006 berjumlah 10 orang, dan sebagainya.
d). Konsep merupakan pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang berasal dari fakta), dan pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio manusia. Konsep selalu dipikirkan oleh manusia, dan oleh karenanya menjadi pemikiran manusia. Bagi seseorang atau peneliti yang memiliki konsep tertentu atau konsep tentang sesuatu maka konsep tersebut harus dituliskan agar dapat dipahami oleh orang lain.
e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori adalah mengelompokkan gejala atau data penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun kategori atas dasar kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau penggolongan ataupun kategori haruslah memiliki ciri, sifat yang homogen atau sama. Apabila ciri, sifat dari gejala itu tidak sama, maka klasifikasi dari suatu gejala atau data penelitian tersebut tidak menunjukkan kadar ilmiah yang benar.
f) Definisi yaitu merumuskan tentang sesuatu atau apa yang disebut (definiendum) dengan perumusan tertentu atau apa yang dinamakan (definiens). Definisi membantu seorang peneliti atau ilmuwan untuk merumuskan tentang sesuatu/ hal itu agar orang lain lebih mudah memahami perumusan tersebut. Untuk itu ada beberapa jenis definisi yang dijelaskan sebagai berikut :
(1). Definisi etimologis yaitu menjelaskan sesuatu atas dasar asal katanya. Misalnya kata biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan logos), yang artinya ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup
(2). Definisi stipulatif adalah merumuskan sesuatu atau istilah tertentu yang akan digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah suatu pengerti-an yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi buku dan dalam kegiatan ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru dimunculkan.
(3). Definisi deskriptif merumuskan tentang sesuatu atas dasar sejarah, ciri, sifat, kriteria-kriteria yang ada pada sesuatu atau gejala-gejala itu.
(4). Definisi operasional merumuskan tentang pelaksanaan atau cara kerja dari fungsi dan peran gejala, alat atau benda tertentu. Definisi operasional lazim digunakan dalam ilmu teknik, ilmu pengetahuan kealaman.
(5). Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan tersebut dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif sering dipakai dalam kegiatan periklanan yang ditayangkan dalam media elektronik maupun media cetak, kegiatan kampanye politik dan sebagainya.
Definisi yang telah disebutkan di atas ternyata harus dipahami bahwa setiap perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan bahasa. Bagi ilmu pengetahuan maka bahasa memegang peran penting, karena dapat mengungkapkan segala kegiatan penelitian seorang ilmuwan baik itu secara lisan maupun tertulis. Terutama dalah bahasa tulisan, maka bahasa ilmiah (bahasa ilmu) yaitu bahasa yang digunakan seorang ilmuwan dalam penelitiannya sangatlah penting karena segala upaya pembenaran metodologisnya berada di dalamnya seperti penjelasan dalam perumusan hipotesa, konsep, definisi, teori dan sebagainya.
Langkah proses penalaran pada penelitian berikutnya yaitu:
g). Hipotesa adalah suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian yang harus dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesa tersebut, perumusan masalah sangatlah penting. Seorang peneliti harus mampu merumuskan permasalaan penelitian dengan cermat dan teliti. Dan atas dasar hipotesa tersebut, maka ilmuwan atau peneliti akan menganalisanya lebih lanjut.
h). Teori adalah hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan gejala lainnya dan hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya. Sebenarnya, teori yang telah teruji kebenarannya berasal dari hipotesa yang telah ada (yang sebenarnya berasal dari kerja keras si ilmuwan, usaha yang tak mengenal lelah dan selalu melakukan trial dan error, uji coba dan pada akhirnya si ilmuwan itu membuahkan hasil teori yang sahih).
Read More..
Bahasa dan Dinamika Masyarakat : Sebuah Wacana Tentang Identitas Kebersamaan
A.Pendahuluan
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya...
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa nggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.
B. Fungsi Bahasa
Lebih dahulu marilah kita berdiskusi tentang fungsi atau peranan. Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan fungsionalisme."Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang. Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara. Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
C. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yangtanpa arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".
Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.
Mengenai apa itu simbol maka bisa kita rujuk pendapat dari William A. Folley (1997: 26); "A simbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.
TVRI bisa jadi dianggap sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia karena dia mampu menyebarkan informasi dengan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok negara. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang berbeda etnis maupun bahasa ibu, sebagai bahasa resmi kenegaraan termasuk bahasa dokumen atau arsip maupun buku-buku pelajaran di sekolah, dan bahasa resmi bagi penyebaran informasi di media massa. TVRI memiliki makna mendalam karena dia dihubungkan dengan keberadaan bahasa Indonesia maupun keberadaan bangsa Indonesia. TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis maupun kultural adalah masyarakat majemuk.
Media televisi, terutama dalam siaran berita misalnya TVRI (siaran Dunia dalam Berita, Berita Malam), RCTI (siaran Nuansa Pagi, Buletin Siang), Indosiar (siaran Fokus), SCTV (siaran Liputan 6 pagi, Liputan 6 Siang) dan lain-lain, kalau diamati maka pasti para penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia baku. Akan tetapi dalam berbagai siaran yang lain misalnya berbagai siaran iklan, pertunjukan musik, siaran kuis, atau siaran kesenian maka akan terlihat bahasa pop atau "bahasa gaul" dengan berbagai varian menjadi bahasa pengantar. Di sini bisa dilihat adanya aspek langue (pada bahasa berita) sekaligus adanya aspek parole (pada berbagai siaran yang lain) dalam siaran televisi di Indonesia. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam siaran berita menggunakan bahasa Indonesia baku, sedangkan dalam siaran yang lain menggunakan bahasa pop ? Tentu tidak akan mudah untuk menjawabnya secara rasional, sistematis, dan jernih. Fenomena bahasa berita di media televisi ini menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa berita bisa meng-hegemoni sebagian masyarakat pemirsa televisi sehingga mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan). Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat, beroperasi di wilayah publik serta wilayah domestik.
Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, di mana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasaan dominasi itu dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan dominasi karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemegang dominasi.
Bahasa siaran berita televisi beroperasi pada wilayah hegemoni, akan tetapi pada saat tertentu juga beroperasi pada wilayah dominasi. Contoh dari dominasi ini adalah saat sang pembaca berita memerintahkan kepada pemirsa, "Jangan kemana-mana dulu karena kami akan hadir lagi setelah jeda iklan berikut ini" atau "Tetaplah bersama saluran kami". Kalimat-kalimat imperatif dan "tembak langsung" ini sering kita jumpai pada siaran berita di televisi. Di dalam membacakan berita maupun format penghadiran berita maka juga bisa dilihat adanya aspek seni. Sentuhan seni ini juga menjadi daya tarik khalayak untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Dari sini terlihat, seni telah dimanfaatkan oleh para pembaca berita pada siaran televisi untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang berhubungan dengan informasi kepada khalayak pemirsa televisi. Mengenai makna seni, maka dapat diperhatikan pendapat dari Taufik Abdullah, "…pada tahap awal seni adalah suatu pilihan dari berbagai cara untuk melukiskan dan mengkomunikasikan sesuatu. Tentu saja setiap bentuk seni sesungguhnya adalah perkembangan dari cara-cara yang biasa dilakukan dalam hidup manusia--sajak tentu berawal dari ucapan, dan tarian tentu berawal dari gerakan" (Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11). Keinginan para pembaca berita di televisi untuk mendapat perhatian dan tawaran ketertarikan menyaksikan berita, dikomunikasikan kepada masyarakat pemirsa melalui seni membaca berita. Seni menjadi media yang dimanfaatkan untuk menghadirkan pesona siaran berita.
D. Integrasi Sosial
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Ernst Cassirer (1987: 186) mengatakan bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidahkaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya". Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu.
Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial. Langue yang memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu menjadi media integrasi sosial lewat siaran berita televisi. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara langue juga bisa bersifat politis. Seperti yang ditulis oleh Eriyanto, "Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan bahasa, sastra, dan kebudayaan. Pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun 1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah. Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau 'pemakaian bahasa yang baik dan benar'. Perundangan kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa bahasa harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar" (Eriyanto, 2000; 74-75). Langkah pemerintah itu bisa jadi adalah usaha untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia lewat kebijakan bahasa Indonesia. Kebijakan ini tentu berdampak terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat karena bahasa Indonesia yang dibakukan kemudian menjadi referensi tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulisan dalam berbagai surat keputusan, surat- menyurat resmi, arsip-arsip birokrasi, acara protokoler, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, siaran-siaran resmi di televisi atau di radio adalah realitas sosial yang secara langsung akan mengikuti kebijakan bahasa oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini bukannya berjalan mulus tanpa hambatan.
Sebagian kaum akademisi secara kritis dan tajam mengoreksi kebijakan bahasa dari pemerintah ini. Contoh dari mereka ini adalah Virginia Matheson Hooker dan Ariel Heryanto, yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah salah satu bentuk manipulasi pemerintah untuk mengukuhkan kekuasaan terhadap rakyat. Bahasa yang baik dan benar bisa dianggap sebagai simbol adanya pusat kebenaran yang harus memiliki kewibawaan, di mana semua kebijakannya harus ditaati oleh masyarakat. Bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh pemerintah, sedangkan yang digunakan oleh masyarakat adalah sebaliknya, sehingga masyarakat harus mengikuti pusat kebenaran yaitu pemerintah.
Pembakuan bahasa, oleh kalangan pengritik juga dianggap sebagai pengingkaran terhadap dinamika sosial-masyarakat sebab bahasa adalah bagian dari sebuah dinamika sosial-masyarakat yang sifatnya natural (alamiah). Dari hal ini kita bisa melihat bahwa fenomena bahasa Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik dalam kehidupan bernegara. Bahasa Indonesia yang diposisikan sebagai bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia secara otomatis telah menciptakan fenomena bahasa berdampingan dengan fenomena politik, dalam hal ini adalah politik kebahasaan. Mengenai bahasa yang identik dengan dinamika sosial-masyarakat ini juga bisa kita telah dari pandangannya de
Saussure (1996; 361) bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol dan mudah diamati dari suatu masyarakat.
Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-perbedaan. Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat di Indonesia, maka bahasa Indonesia yang digunakan pada masa perjuangan tahun 1945-1949 memiliki karakter heroik, sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru bahasa Indonesia karakternya sarat dengan eufemisme atau penghalusan kata untuk menyembunyikan makna yang sesungguhnya.
Lain lagi karakter bahasa Indonesia pada masa puncak reformasi tahun 1998 hingga 1999 yang syarat dengan hujatan, caci-maki, dan pembongkaran aib mantan penguasa. Fenomena kebahasaan pada tahun 1998-1999 itu bisa disaksikan pada berbagai liputan berita (bukan pembacaan siaran berita--pen) stasiun-stasiun televisi tentang peristiwa yang terjadi di lapangan. Begitu cepatnya berita-berita tentang kerusuhan sebagai ekses proses peralihan kekuasaan di Jakarta dan beberapa kota di Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.Pada sisi kecepatan penyampaian berita sehingga menyebar kepada masyarakat Indonesia, juga bisa dilihat bahwa siaran berita televisi bisa menjadi media pembangun integrasi sosial karena masyarakat luas tidak tersekat atau terpisahkan oleh ruang dan waktu. E. Kesimpulan Pada bagian ini dengan memperhatikan uraian di muka dapatlah ditarik sebuah benang merah yang berupa kesimpulan. Dengan mengambil kasus siaran berita yang menggunakan bahasa Indonesia baku pada stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI maupun stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Metro TV dan lain-lain maka tulisan ini telah berusaha mengkaji fenomena bahasa dan dinamika masyarakat di Indonesia.
Bahasa Indonesia baku yang digunakan dalam siaran berita berbagai stasiun televisi tersebut telah menjadi salah satu media integrasi sosial bangsa Indonesia. Siaran berita dengan bahasa Indonesia baku ini merupakan aspek langue dari kajian tentang siaran televisi. Langue beroperasi pada wilayah sosial dan bukannya pada wilayah individual, sehingga langue bisa disebut sebagai fakta sosial. Bahasa dan dinamika masyarakat adalah fenomena yang bersifat natural, akan tetapi bisa juga berubah menjadi fenomena politis karena adanya campur tangan dari penguasa. Bahasa kemudian dijadikan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan lebih jauh lagi adalah untuk mengokohkan kekuasaan atau malah untuk mewujudkan integrasi sosial. Integrasi sosial bisa juga terjadi karena adanya identitas kebersamaan yang bisa menjadi pembeda dengan entitas sosial yang lain, yang kadang-kadang diikuti oleh kebanggaan terhadap entitas sendiri dan tidak jarang mengganggap remeh entitas sosial yang lain. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial.
Semiotika Alquran yang Membebaskan
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
***
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.
***
Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.
Berkenalan Dengan Post Strukturalisme
Pengantar singkat wacana post strukturalisme dalam kesusasteraan
Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure* bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan.
Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).
Derrida menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan “penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**-nya ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya pada New Criticsm.
Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik sastra.
Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual bahasa dan makna secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis.
Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
De Man berpendapat bahwa ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.Edward W Said menerima pandangan post strukturalis tapi menolak pada apa yang dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui dimensi sosial dan politis teks.
Catatan:
* Ferdinand de Saussure, 1857-1913, dari sinilah kemudian berkembang “gerakan” strukturalisme Prancis. Sebagaimana filsuf Prancis sezamannya, filsafat Derrida tak lepas dari linguistik, terutama linguistik modern yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure.
** Konsep dekonstruksinya (Derrida sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya) telah mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana pemikiran filsafat kontemporer seperti struturalisme, pascastrukturalisme, pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).
MAKNA LEKSIKAL DARI SUDUT PANDANG SINGKRONIK DAN DIAKRONIK
Dapat dibedakan tiga komponen dalam makna leksikal (Maslov, 1987): (a)hubungan dengan denotasi; (b) hubungan dengan kategori logik; (c) hubungandengan makna konseptual dan makna konotatif dengan perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Masalah penting semantik sinkronik merujuk kepada hubungan makna pusat dan makna pinggiran. Beberapa banyak ahli bahasa berbicara tentang makna bebas dan makna bersandar. Saya mengikut penggunan ini karena ia nampaknya mencerminkan hakikat sebenarnya. Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil
perkembangan yang panjang. Kajian perkembangan ini merupakan masalah utama semantik sejarah dan diakronik.Satu dari pada hukum umum yang terkenal dalam perkembangan semantik ialah perubahan dari pada konkrit kepada abstrak. Dalam tulisan ini beberapa contoh dari pada bahasa Bulgaria, Rusia, Iran, Greek, dan sebagainya.
Teori Ferdinand de Saussure penting secara asasi bagi perkembangaan semantik. Pertama karena adanya konsepsi beliau tentang tanda linguistik. Makna merupakan ramuan yang perlu bagi tanda linguistik, signifie lawan 'auditif atau akustik imej', yaitu Signifiant. Hari ini terdapat beberapa takrifan makna yang berlainan, tetapi Saussure tidak boleh diabaikan. Satu lagi sumbangan teori linguistic Saussure merujuk kepada pertimbangan bahasa dari sudut pandangan sinkronik dan diakronik. Kesahihan dikotomi ini diketahui untuk semua aras bahasa, termasuk aras semantik.
Masalah yang berikut, yang telah diselediki secara intensif oleh ahli bahasa ahli psikologi, ahli falsafah, dansebagainya, tergolong dalam aras sinkronik :
(1). Sifat makna sebagai fenomena linguistik dan hubungannya dengan konsep
sebagai kategori logikal;
(2). Hubungan makna leksikal lawan makna struktural (atau tatabahasa); makna leksikal dan rujukan dalam masalah kata nama, kata kerja, kata sifat, adverba, (yang dinamakan Offene klasse "kelas terbuka") dan dalam masalah makna struktural yang dikaitkan dengan kelas tertutup kategori tatabahasa dan hubungan (kasus, modus, aspek, bandingan, dan sebagainya);
(3). Hubungan semantik perkataan (yaitu; semantik leksikal Wortsemantik) dengan semantik kalimat;
(4). Kategori semantik dalam rangka kerja morfosintaksis.
(5). Masalah polisemi dan perkataan.
Topik tulisan ini terbatas pada makna leksikal. Antara takrif berlainan idea ini, saya mengikut takrif yaug diberikan oleh ahli bahasa Soviet, Maslov (1987:90): "Rujukan terhadap satu kandugan tertentu, yaug spesifik bagi satu perkataan hanya sebagai perbedaan dengan semua perkataan lain, dinamakan makna leksikal". Seperti yang kita ketahui, makna leksikal biasanya sarna dalam semua bentuk tatabahasa (dalam semua aloleks) perkataan termasuk bentuk analitis atau deskriptif, yaitu ia tergolong dalam leksem.
2003 Digital by USU digital library 2
Menurut Maslov (1987:91) kita dapat membedakan tiga komponen dalam
makna leksikal :
(1). Hubungan dengan denotasi. Inilah yang dinamakan rujukan objek perkataan (bahasa Rusia : predmetnaja otuesennost' slova);
(2). Hubungan dengan kategori logik, terutama dengan konsep, yaitu rujukan konsep (bahasa Rusia : ponjatijnaja otnesennost');
(3). Hubungan dengan makna konseptual dan makna konotatif perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Aspek makna ini kadangkala dinamakan valeur dalam bahasa Prancis (bahasa Rusia : znacimost').
Suatu masalah penting semantik sinkronik memperkatakan hubungan makna pokok (asas) (Hauptbedutung) dan makna skunder tambahan yang sisian (pinggiran) (bahasa Rusia : vtorostepennoje, dopolnitel'noje znacenie). Hjelmslev (1961 : 28) mendakwa bahwa tidak ada tanda yang mempunyai makna "dalam pengasingan mutlak". Menurut beliau makna berasal pertamanya dalam konteks situasi atau konteks eksplisit. Pandangan yang bertentangan dipegang oleh kebanyakan ahli bahasa, yaitu bahwa perkataan mempunyai makna teras atau makna asas dalam sistem bahasa bebas dari pada konteks (bahasa Jerman: kontextunabhängig). Lihat Kurylowicz (1955), Pike (1960), Harmann (1965), Ullman (1967), Brekle (1972), dan sebagainya Maslov (1987 : 102-103) berbicara tentang makna bebas perkataan dan makna bersandar masing-masing, dengan makna yang kemudian terjadi dalam teks. Saya bersetuju dengan analisis ini yang nampaknya mencerminkan hakikat yang sebenarnya. Sebagai contoh, jika kita mendengar perkataan Inggeris apple, street, go, window di luar teks, kita dapat menentukan makna leksikal masing-masing kata tanpa ragu-ragu, yang berupa makna asas (pokok). Yang sama juga benar bagi perkataan Rusia yang sepadan jabloko "apple", ulica "street", itti" go", okno "window". Bagaimanapun ada masalah apabila makna asa perkataan Inggeris tidak dapat dipahami tanpa konteks, sebagai contoh, green (adj. atau Subst) ketimbang perkataan Rusia zel'onyj "green", yang berautonomi dari segi semantik.
Struktur semantik perkataan, yang kita boleh katakan sebagai semen, mewakili kuantiti makna (alosem), makna asas dan makna sebilangan makna terbitan. Semen sepadan dengan leksem sebagai mikrokosme pada paksi paradigma. Dalam parole, semen direalisasikan bersama-sama alosem. Huraian semen tergolong dalam semantik sinkronik. Satu kaedah huraian adalah analisis komponen, yang didasarkan pada prinsip logik. Kaedah huraian semen belum lagi digunakan dalam kamus.
Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil perkembangan yang panjang, melewati beberapa abad. Kajian perkembangan ini merupakan tugas utama semantik sejarah, atau kajian perubahan makna mengikut masa. Dalam peristilahan Saussure ini dinamakan semantik diakronik. Sebenarnya semantik diakronik berkaitan dengan perkembangan semen perkataan individu. Semantik sejarah berkaitan dengan perkembangan subsistem semantik. Adalah menakjubkan bahwa istilah semantik pertama kali digunakan untuk merujuk kepada perkembangan dan perubahan makna. Disini saya ingin memperlihatkan masalah penting semantik sejarah sehubungan dengan linguisti umum: adakah terdapat hukum-hukum umum dalam perkembangan semantik atau tidak? Ia merupakan perkara remeh untuk menyebutkan perubahan makna dari pada konkrit kepada abstrak. Sebagai contoh bahasa Bulgaria griza "care", dari pada griz'a "nibble"; bahasa Iran Kuno suxra "red" memberikan akar suk- "fire'; to burn (Abaev, 1956: 292); Bulgaria Kuno goresti "bitterness", bahasa Bulgaria gorest "sorrow" kepada akar gor- dalam bahasa Bulgaria Kuno ,goresti to burn", dan akar yang sama dalam bahasa Bulgaria gorak "bitter", bahasa Rusia gor'kij, bahasa Serbo-Cr. gorak. Dalam bahasa Bulgaria gorak juga bermaksud "misereble, por, unfortunate", Osset. Arf
2003 Digital by USU digital library 3
"deep" kepada Iran Kuno *apra- dari pada ap- "water", dengan itu "depth" ("water depth"; bahasa Rusia krutoj "steep" kepada Lit. krantas "river bank" (Abaev, 1956 : 292). Contoh-contoh ini juga menunjukan kepada kekoherenan sempit antara semantik diakronik dengan etimologi. Salah satu tugas etimologi adalah untuk menemukan sufat yang bertindak sebagai kelahiran sesuatu perkataan, yaitu apa yang dinamakan makna etimologi (dalam peristilahan golongan Neogramarian dieinnere Form). Sebagai contoh, lit. karve "caw", Bulgaria Kuno krava Bulgaria krava, "caw", bahasa Poland Kuno karw (krwo-s) "old ox" mengandungi akar I.E. *ker- "upper part of the body; head; horn; summit". Antara makna terbina semula ini kita menemukan "horn" dan dari pada itu kita sampai kepada "caw", "old ox" atau "stag", hewan bertanduk (bahasa Jerman gehornte Tiere). Bandingkan bahasa Greek keras "horn" dan keraos "with horns".
Makna etimologi telah dibina semula berdasarkan perkataan teratur dalam teks lama bahasa-bahasa Indo-Eropah. Penyelidikan etimologi mesti dalam masalah ini menyingkirkan makna-makna yang mungkin sebagai perkembangan yang sudah lewat. Sebagai contoh, perkataan untuk kata "mother" dalam bahasa-bahasa Indo-Eropah : I.E. *mater, yang berasal dari pada perkataan raban (bahasa Jerman Lallwort) telah mengekalkan makna kata ini ke dalam Olnd. Matar-,Av,-matar -, Greek meter, Dor. mater, Phryg. matar, materan, Lat. Mater (-tris), Bulgaria Tua mati (-ere), OHG muoter, Lett mate, Iran Kuno mathir, Arm. mair; tetapi dalam bahasa Albania, perkataan ti sepadan motre yang bermakna "sister" Coba lihat (Pokorny, 1959 : 700) "die ltere, Mutterstelle vertretende Schwester", dan dalam Lit. mote (Gen. moters) yang mempunyai makna dalam bahasa Ingerisnya adalah "women, and wife" dan juga di dalam bahasa Latinnya yang bermakna dari pada perkataan mater, kata tersebut telah di telusuri mempunyai dua makna yang baru ; yakni "amme" yang di dalam bahasa Inggerisnya mempunyai makna adalah "wet nurse" dan juga mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris dengan sebuah perkataan yakni "source". Jadi keselarian (kesesuaian) semantik sangatlah penting sekali dalam setiap kajian etimologi. Sebagai contoh, di dalam bahasa Inggeris perkataan dari pada "town" setelah diselidiki bahwa kata tersebut mempunyai kaitan dengan bahasa Jerman, yaitu kata tersebut sepadan dengan perkataan yang terdapat di Jerman "zaun", sedangkan makna yang sepadan dengan perkataan di Inggeris adalah sebuah perkataan "fence" dan kata kerjanya setelah diselidiki adalah "zaunen" di dalam bahasa Jerman, juga telah diselidiki di dalam bahasa Inggerisnya perkataan tersebut ketika menjadi sebuah kata kerja menjadi sebuah perkataan "to fence". Sebenarnya ini adalah yang merupakan sebuah makna etimologi atau (die innere Form) yang mana telah penulis jelaskan di atas tadinya. Sebagai suatu tafsiran yang disebut di dalam bahasa Inggris sebuah perkataan dari pada kata "town" setelah diselediki telah mempunyai padanan dan kesamaan semantik yang sangat baik sekali di dalam bahasa Slavik: adalah salah satu dari pada bahasa Bulgaria Kuno dengan perkataannya adalah gradu, yang mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris yakni dari sebuah perkataan yang mempunyai makna yang sama ialah kata "town", sedangkan di dalam bahasa Bulgaria perkataan tersebut sudah dikenal dengan kata grad, dan di dalam bahasa Rusia dikenal dengan perkataan tersebut gorod, yang berarti mempunyai makna di dalam bahasa Inggrisnya adalah juga "town", sedangkan sebagaimana yang tergolong didalam bahasa Bulgaria Konu ograditi adalah masuk ke dalam golongan kata kerja, yang di dalam bahasa Inggrisnya mempunyai makna menjadi "to fence". Ini semua adalah sejarah etimologi dari sebuah perkataan yang ada di daerah Indo-Eropah, dari pada hasil penyelidikan para ahli bahasa khususnya dibidang etimologi pada waktu itu berdasarkan leteratur yang saya ketemukan bahwa penyebab itu semua karena pada Zaman Pertenghan yang mana kota-kota sedang dipagari. Sehingga penyelidikan
2003 Digital by USU digital library 4
mengenai perjalan sejarah etimilogi didaratan Indo-Eropah sangat terhambat untuk dilaksanakan.Kajian tentang makna leksikal adalah salah satu jenis-jenis kajian makna yang ada dasarnya mempunyai andil yang sangat penting. Sebab makna leksikal juga menjadi dasar dari pada perubahan makna yaitu kajian sejarah etimologi bagii setiap perkembangan setiap bahasa yang terdapat di dunia ini. Di dalam kajian makna kita tidak luput dari pada sub bagian yang terpenting sekali, yakni tentang perubahan makna suatu perkataan dalam satu bahasa yang ada. Kita juga dapat melihat perubahan makna tersebut dari apa yang telah dinamakan etimologi rakyat, sebagaimana tanggapan kita tentang etimologi rakyat itu sekarang ini diartikan dengan 'pentafsiran semula'. Di dalam tulisan ini menulis akan memberikan satu contoh perkataan yang berasal dari pada bahasa Latin.
Perkataan yang berasal dari bahasa Latin tersebut para ahli bahasa dan sejarah etimologi adalah sebuah perkataan yang selalu dipergunakan oleh masyarakat setempat, dan telah diselidiki ternyata kata periculum mempunyai persamaan maknanya di dalam bahasa Inggris yakni ; "danger", sedangkan di dalam bahasa Inggris sendiri perkataan tersebut telah mempunyai padanan maknanya yangasalnya bermaksud dengan perkataan "ettempt, trial, venture, experience" dan '" kata-kata tersebut adalah berasal dari pada kata experiri yang mempunyai makna sesungguhnya adalah "to attempt, to try", juga berasal dari kata peritus yang mempunyai makna "competent". Kemudian, perkataan ini dihubungkan sebagai akibat tafsiran kepada perkataan bahasa Latin perire menjadi "perish" dan memperoleh makna baru "danger, a risky business or enterprise". (pisani, 1967: 150-151; terjemahan saya: I.D.).
KESIMPULAN
Kajian makna leksikal dari sudut pandangan singkronik dan diakronik merupakan suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti dalam rangka untuk sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu linguistik dibidang semantik, karena makna leksikal adalah sebagai salah satu asas yang terpenting untuk kajian perubahan makna yang lagi hangat-hangatnya dibidang linguistic (semantik) untuk pengembangan ilmu makna.
semiotik
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut.
Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Read More..
Etnik atau ethnic groups secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu misalnya bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain. Mengenai bahasa, maka makalah ini berusaha mengkaji fungsi bahasa baik secara konseptual maupun secara praksis. Bahasa sebagai salah satu identitas, di mana bahasa bisa menjadi identitas kolektif etnik, tetapi bahasa bisa juga menjadi identitas yang lebih luas dari etnik yaitu bangsa. Ciri yang menonjol dari identitas bangsa Indonesia tercermin dari adanya...
bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Walaupun dalam perkembangannya secara historis bahasa Indonesia yang baru muncul pada tahun 1928 dalam peristiwa Sumpah Pemuda kemudian mendapat beragam pengaruh kosa kata dari berbagai bahasa, akan tetapi bahasa Indonesia memiliki akar tradisi etnik yaitu bahasa Melayu.Fenomena ini berbeda misalnya dengan Philipina yang memiliki 2 bahasa nasional yaitu bahasa Tagalog dan bahasa nggris (Amerika), atau India yang bahasa nasionalnya adalah bahasa Inggris, atau Negara Aljazair yang bahasa nasionalnya bahasa Prancis, atau Singapura yang bahasa nasionalnya bahasa Inggris dan meninggalkan bahasa nenek moyangnya yaitu bahasa Melayu. Akar budaya kaum kolonial yang tercermin di dalam bahasanya itulah kemudian yang menjiwai negara-negara tersebut di muka yang telah mengadopsi bahasa bekas negara penjajahnya untuk dijadikan bahasa persatuan sebagai perekat etnik.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena dia berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dll, dan menurut Ferdinand de Saussure (1996: 80) hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku (ejaan yang disempurnakan / EYD) dalam konteks Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu. Sosialisasi Bahasa Indonesia baku secara massal dan berkesinambungan misalnya dilakukan oleh TVRI atau TV-TV swasta yang menggunakan bahasa baku dalam siarannya. Untuk itu maka makalah ini akan mencoba mengkaji kasus pemanfaatan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada siaran televisi-televisi yang siarannya berjangkauan nasional.
B. Fungsi Bahasa
Lebih dahulu marilah kita berdiskusi tentang fungsi atau peranan. Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi maka mau tidak mau akan menyandarkan pijakan paradigma pada pendekatan fungsionalisme."Fungsionalisme sebagai perspektif teoritik dalam antropologi bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, sistem sosial-budaya dianalogikan sebagai sistem organisme, yang bagian-bagiannya atau unsur-unsurnya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga memberikan peranan bagi pemeliharaan, stabilitas, integrasi, dan kelestarian hidup organisme itu. Dengan analogi seperti itu maka semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (David Kaplan & Albert Manners, 2000: 77-78).
Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh dua orang antropolog Inggris yaitu Bronislaw Malinowski dan Radcliffe Brown (Adam Kuper, 1996; 40). Dengan mengacu pada pendekatan fungsional itu maka stabilitas dan integrasi sistem sosial-budaya sangat tergantung pada fungsi dari unsur-unsur yang menjadi bagian dari sistem. Kalau suatu sistem organisme/makhluk hidup itu unsur-unsurnya adalah kaki, mata, telinga, tangan, mulut, atau hidung maka sistem sosial-budaya yang bernama negara (sebagai contoh) unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, birokrasi, aparat keamanan, wilayah, bahasa, mata uang, atau penduduk. Semua unsur tersebut tidak hanya saling berhubungan akan tetapi juga saling menyumbangkan fungsinya masing-masing agar integrasi sistem tetap terjaga. Apabila salah satu unsur mengalami disfungsi atau tidak mampu menyumbangkan peran sesuai kapasitasnya, maka akibatnya akan dirasakan oleh unsur-unsur yang lain. Pada akhirnya integrasi sistem akan goncang. Salah satu kelemahan dari pendekatan fungsionalisme ini adalah pada asumsinya bahwa kondisi sistem sosial-budaya itu selalu dalam keadaan stabil dan terintegrasi. Maka pendekatan fungsional tidak mampu menjelaskan adanya perubahan sistem sosial budaya secara menyeluruh. Hal ini wajar karena semua pendekatan teoritik selalu memiliki kelebihan dan kekuarangan. Kita kembali pada sistem sosial-budaya yang bernama negara, yaitu negara Indonesia, yang unsur-unsurnya akan terdiri dari pemerintah, bangsa, wilayah, bahasa, atau penduduk. Dalam hal ini kita ambil salah satu unsur negara yaitu bahasa.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia. Apabila Bahasa Indonesia sebagai unsur dari sistem negara pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, atau identitas bangsa maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Dalam peristiwa kenegaraan pasti akan terjadi kekacauan karena tidak ada bahasa kenegaraan. Semua orang akan membenarkan bahasa yang mereka gunakan sesuai etnisnya walau masing-masing berbeda bahasa. Tidak akan ada bahasa persatuan yang menjadi bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang etnis dan bahasa beraneka macam. Tidak akan ada bahasa yang dijadikan identitas kebersamaan bahwa semua unsur itu menjadi bagian dari sistem yang bernama negara Indonesia. Inilah yang disebut sebagai disintegrasi atau distabilitas sistem negara. Sebagai identitas bangsa atau negara maka bahasa Indonesia menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan bangsa lain atau negara lain. Identitas ini bisa saja menjadi salah satu faktor kebanggaan pada sebuah bangsa, yang kadang-kadang diiringi dengan sikap merendahkan atau menganggap aneh identitas bangsa lain. Identitas ini tidak stabil atau baku akan tetapi selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa Bahasa Indonesia maka bisa jadi ini adalah awal dari disintegrasi negara Indonesia. Tidak ada lagi alat komunikasi sesama warga Indonesia yang menjadi kebanggaan bersama, masing-masing merasa bangga dengan bahasa daerahnya atau bangga dengan bahasa manca negara sehingga bahasa Indonesia akan ditinggalkan.
C. Bahasa Indonesia dan Siaran Televisi Nasional
Apabila Bahasa Indonesia masih tetap diperlukan sebagai salah satu identitas kebersamaan bagi warga negara Indonesia maupun bahasa persatuan yang bisa menjaga integrasi negara Indonesia, maka tentu saja harus ada sosialisasi dan pewarisan (transmission). Beberapa cara bisa dilakukan untuk hal itu, dan salah satu cara yang diungkapkan di sini adalah peranan stasiun televisi bersiaran nasional baik milik pemerintah (TVRI) maupun milik swasta (RCTI, SCTV, TPI, ANTV, Indosiar, dll). Tidak semua materi siaran televisi itu selalu menggunakan bahasa Indonesia baku, yang oleh Ferdinand de Saussure (1996:360-361) disebut sebagai aspek langue dari bahasa. Bahasa dalam siaran televisi ini menarik untuk dikaji karena dia menjadi bagian dari dinamika masyarakat di Indonesia.
Teknologi canggih bernama televisi yang berbasis pada media satelit palapa ini mulai muncul di Indonesia pada tahun 1960-an. Fenomena sosial-budaya yang begitu banyak dan begitu luas kemudian "bisa dilipat-lipat" untuk dihadirkan di dalam ruang-ruang yang sempit sekalipun seperti ruang keluarga di dalam rumah. Teknologi televisi-lah beserta hard ware-nya yang bisa menjadi salah satu media transformasi dari dunia yang luas kemudian bisa hadir di tengah-tengah ruang keluarga. "Dunia yang begitu luas dan besar kini bisa 'dilipat-lipat' dalam bentuk televisi, surat kabar, majalah, internet, dan radio sehingga bisa hadir di tengah-tengah keluarga dan di ruang yang sempit sekalipun" (Yasraf Amir Piliang, 1999).
TVRI selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal stasiun penyiaran televisi di Indonesia yang telah menjangkau berbagai pelosok Indonesia. Baru pada paruh ke-dua tahun 1980-an mulai muncul stasiun televisi swasta di Jakarta dengan siaran lokal yaitu RCTI. Setelah itu kemudian muncul stasiun TPI, SCTV, Indoesiar dan lain-lain yang jangkauan siarannya berskala nasional seperti halnya TVRI. Walaupun begitu dalam hal misi, tentu saja TVRI lebih terlihat sebagai stasiun televisi yang lebih mengedepankan aspek non-komersial dengan meniadakan siaran iklan, yang kemudian disusul dengan membatasi siaran iklan. Sumber operasional TVRI berasal dari dana pemerintah dan hak siar iklan dari televisi-televisi swasta. Slogan "TVRI menjalin persatuan dan kesatuan" bukanlah sekedar jargon yangtanpa arti. Di balik slogan ini terkandung semangat untuk menjadi agen atau media perekat bagi berbagai etnis di Indonesia agar tetap dalam kondisi terintegrasi, tidak terpecah-belah. Slogan TVRI itu hampir mirip dengan slogan "sekali di udara tetap di udara" milik Radio Republik Indonesia (RRI) yang menyimpan semangat untuk terus mengudara melakukan siaran walau segenting apa pun keadaan negara. Kalau masyarakat Indonesia dalam kondisi selalu terpisahkan oleh ruang dan waktu dengan saudara-saudaranya sesama warga Indonesia yang lain, maka siaran berita televisi berusaha menjadi media pemersatu ke dalam "waktu yang sama", dan seolah-olah para pemirsa televisi berada di dalam "satu ruang yang sama".
Ada kelebihan pada siaran TV jika dibanding dengan siaran radio. Siaran radio hanya menyuguhkan aspek audio sehingga masyarakat hanya bisa mendengar tanpa bisa melihat wajah dan ekspresi penyiar radio. Siaran televisi selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus bisa melihat wajah dan ekspresi sang penyiar televisi. Dari hal ini muncul kesan seolah-olah antara penyiar televisi dengan masyarakat pemirsa berada di dalam suatu "ruang dan waktu" yang sama. Pada hal-hal tertentu TVRI bisa dianggap sebagai sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia melalui siaran-siarannya yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, atau masyarakat Indonesia di negara tetangga yang masih bisa menangkap siaran TVRI.
Mengenai apa itu simbol maka bisa kita rujuk pendapat dari William A. Folley (1997: 26); "A simbol is a sign in which the relationship between its form and meaning is stricly conventional, neither due to physical similarity or contextual constraints". Jadi sebuah simbol adalah sesuatu yang akan memiliki makna apabila sesuatu itu dihubungkan dengan hal yang lain. Pemberian makna ini tentu saja mengacu kepada konteks sosial-budaya masyarakat si pemilik simbol. Mungkin saja sesuatu itu oleh sekelompok masyarakat dianggap sebagai simbol yang penuh makna, akan tetapi bisa saja objek yang sama itu oleh masyarakat yang lain dianggap tidak memiliki makna apa-apa atau hampa makna.
TVRI bisa jadi dianggap sebagai salah satu simbol pemersatu bagi masyarakat Indonesia karena dia mampu menyebarkan informasi dengan bahasa Indonesia ke seluruh pelosok negara. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar bagi masyarakat Indonesia yang berbeda etnis maupun bahasa ibu, sebagai bahasa resmi kenegaraan termasuk bahasa dokumen atau arsip maupun buku-buku pelajaran di sekolah, dan bahasa resmi bagi penyebaran informasi di media massa. TVRI memiliki makna mendalam karena dia dihubungkan dengan keberadaan bahasa Indonesia maupun keberadaan bangsa Indonesia. TVRI menjadi simbol jembatan bagi masyarakat Indonesia yang secara geografis maupun kultural adalah masyarakat majemuk.
Media televisi, terutama dalam siaran berita misalnya TVRI (siaran Dunia dalam Berita, Berita Malam), RCTI (siaran Nuansa Pagi, Buletin Siang), Indosiar (siaran Fokus), SCTV (siaran Liputan 6 pagi, Liputan 6 Siang) dan lain-lain, kalau diamati maka pasti para penyiarnya menggunakan bahasa Indonesia baku. Akan tetapi dalam berbagai siaran yang lain misalnya berbagai siaran iklan, pertunjukan musik, siaran kuis, atau siaran kesenian maka akan terlihat bahasa pop atau "bahasa gaul" dengan berbagai varian menjadi bahasa pengantar. Di sini bisa dilihat adanya aspek langue (pada bahasa berita) sekaligus adanya aspek parole (pada berbagai siaran yang lain) dalam siaran televisi di Indonesia. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa dalam siaran berita menggunakan bahasa Indonesia baku, sedangkan dalam siaran yang lain menggunakan bahasa pop ? Tentu tidak akan mudah untuk menjawabnya secara rasional, sistematis, dan jernih. Fenomena bahasa berita di media televisi ini menarik untuk dikaji karena pada tingkatan tertentu bahasa berita bisa meng-hegemoni sebagian masyarakat pemirsa televisi sehingga mereka harus mengikutinya (melihat, mendengar, membenarkan dan memperbincangkan). Hegemoni sendiri sering diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui kesepakatan dan bukan paksaan. Daya jangkau hegemoni sangat dalam, mencakup pikiran dan perasaan masyarakat, beroperasi di wilayah publik serta wilayah domestik.
Hegemoni sering dibedakan dengan dominasi, di mana dominasi diartikan sebagai kekuasaan yang dicapai melalui paksaan dan kekerasan, daya jangkau kekuasaan dominasi hanya sampai permukaan. Hegemoni secara halus menuntun orang untuk bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan hegemoni bahkan kadang-kadang orang tidak merasa terpaksa atau melakukan sesuatu dengan suka rela. Sedangkan kekuasaan dominasi itu dilakukan secara paksaan, orang sanggup bersikap atau berperilaku sesuai dengan pemegang kekuasaan dominasi karena daya resistensi orang tersebut kalah kuat dari daya paksa pemegang dominasi.
Bahasa siaran berita televisi beroperasi pada wilayah hegemoni, akan tetapi pada saat tertentu juga beroperasi pada wilayah dominasi. Contoh dari dominasi ini adalah saat sang pembaca berita memerintahkan kepada pemirsa, "Jangan kemana-mana dulu karena kami akan hadir lagi setelah jeda iklan berikut ini" atau "Tetaplah bersama saluran kami". Kalimat-kalimat imperatif dan "tembak langsung" ini sering kita jumpai pada siaran berita di televisi. Di dalam membacakan berita maupun format penghadiran berita maka juga bisa dilihat adanya aspek seni. Sentuhan seni ini juga menjadi daya tarik khalayak untuk menyaksikan siaran berita televisi.
Dari sini terlihat, seni telah dimanfaatkan oleh para pembaca berita pada siaran televisi untuk mengkomunikasikan berbagai hal yang berhubungan dengan informasi kepada khalayak pemirsa televisi. Mengenai makna seni, maka dapat diperhatikan pendapat dari Taufik Abdullah, "…pada tahap awal seni adalah suatu pilihan dari berbagai cara untuk melukiskan dan mengkomunikasikan sesuatu. Tentu saja setiap bentuk seni sesungguhnya adalah perkembangan dari cara-cara yang biasa dilakukan dalam hidup manusia--sajak tentu berawal dari ucapan, dan tarian tentu berawal dari gerakan" (Analisis Kebudayaan, tahun I; No.2 1980/1981: 11). Keinginan para pembaca berita di televisi untuk mendapat perhatian dan tawaran ketertarikan menyaksikan berita, dikomunikasikan kepada masyarakat pemirsa melalui seni membaca berita. Seni menjadi media yang dimanfaatkan untuk menghadirkan pesona siaran berita.
D. Integrasi Sosial
Dengan mengutip pandangan dari de Saussure, Ernst Cassirer (1987: 186) mengatakan bahwa, "de Saussure menarik garis tajam antara la langue dengan la parole. Bahasa (la langue) bersifat universal, sedangkan proses tuturan (la parole) sebagai proses temporal dan bersifat individual. Setiap individu memiliki gaya bahasa sendiri. Akan tetapi dalam analisis ilmiah tentang bahasa, kita mengabaikan perbedaan-perbedaan individual itu, kita menelaah fakta sosial yang mengikuti kaidah-kaidah umum yaitu kaidah-kaidah yang tidak tergantung kepada si penutur individual. Tanpa kaidahkaidah umum seperti itu maka bahasa tidak akan dapat menunaikan tugas utamanya; bahasa tidak dapat dipakai sebagai media komunikasi di antara anggota-anggota masyarakatnya". Dari kutipan ini terlihat bahwa langue yang memiliki kaidah-kaidah umum adalah fakta sosial, yang posisinya lebih tinggi dari fakta individu.
Fakta sosial ini beroperasinya adalah lintas individu dan bersandar pada kaidah-kaidah umum bahasa, agar bahasa bisa menjadi media komunikasi sosial. Langue yang memiliki sifat sebagai media komunikasi sosial bahkan pada tataran tertentu mampu menjadi media integrasi sosial lewat siaran berita televisi. Bahkan pada fenomena kehidupan bernegara langue juga bisa bersifat politis. Seperti yang ditulis oleh Eriyanto, "Pada tahun 1974 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA II) juga mencakup sasaran khusus untuk pengembangan bahasa, sastra, dan kebudayaan. Pada tahun 1974 dibentuk proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pada tahun 1984 proyek ini dibagi menjadi dua bagian yaitu Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah. Salah satu perhatian utama dari kebijakan bahasa oleh pemerintah adalah mengadakan pembakuan bahasa Indonesia dan menerapkan serta menghimbau 'pemakaian bahasa yang baik dan benar'. Perundangan kebijakan ini dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 yang menyatakan bahwa bahasa harus dibina dan dikembangkan serta digunakan secara baik dan benar" (Eriyanto, 2000; 74-75). Langkah pemerintah itu bisa jadi adalah usaha untuk menjaga integrasi bangsa Indonesia lewat kebijakan bahasa Indonesia. Kebijakan ini tentu berdampak terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat karena bahasa Indonesia yang dibakukan kemudian menjadi referensi tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulisan dalam berbagai surat keputusan, surat- menyurat resmi, arsip-arsip birokrasi, acara protokoler, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, siaran-siaran resmi di televisi atau di radio adalah realitas sosial yang secara langsung akan mengikuti kebijakan bahasa oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah ini bukannya berjalan mulus tanpa hambatan.
Sebagian kaum akademisi secara kritis dan tajam mengoreksi kebijakan bahasa dari pemerintah ini. Contoh dari mereka ini adalah Virginia Matheson Hooker dan Ariel Heryanto, yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa yang baik dan benar adalah salah satu bentuk manipulasi pemerintah untuk mengukuhkan kekuasaan terhadap rakyat. Bahasa yang baik dan benar bisa dianggap sebagai simbol adanya pusat kebenaran yang harus memiliki kewibawaan, di mana semua kebijakannya harus ditaati oleh masyarakat. Bahasa yang baik dan benar adalah yang digunakan oleh pemerintah, sedangkan yang digunakan oleh masyarakat adalah sebaliknya, sehingga masyarakat harus mengikuti pusat kebenaran yaitu pemerintah.
Pembakuan bahasa, oleh kalangan pengritik juga dianggap sebagai pengingkaran terhadap dinamika sosial-masyarakat sebab bahasa adalah bagian dari sebuah dinamika sosial-masyarakat yang sifatnya natural (alamiah). Dari hal ini kita bisa melihat bahwa fenomena bahasa Indonesia juga tidak bisa dipisahkan dari nuansa politik dalam kehidupan bernegara. Bahasa Indonesia yang diposisikan sebagai bahasa persatuan bagi masyarakat Indonesia secara otomatis telah menciptakan fenomena bahasa berdampingan dengan fenomena politik, dalam hal ini adalah politik kebahasaan. Mengenai bahasa yang identik dengan dinamika sosial-masyarakat ini juga bisa kita telah dari pandangannya de
Saussure (1996; 361) bahwa "Di antara etnis dan langue terjadi hubungan timbal balik. Hubungan sosial cenderung menciptakan adanya masyarakat bahasa dan kemungkinan mencetak ciri-ciri tertentu pada langue yang dipakai. Sebaliknya, masyarakat bahasalah yang dalam batas-batas tertentu juga bisa membentuk satuan etnis. Pada umumnya satuan etnis cukup menjelaskan tentang masyarakat bahasa". Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa adalah ciri yang menonjol dan mudah diamati dari suatu masyarakat.
Bahasa tertentu identik dengan masyarakat tertentu, misalnya bahasa Bali identik dengan etnis Bali atau bahasa Bugis akan identik dengan etnis Bugis. Jadi bahasa mampu menciptakan etnis. Begitu juga sebaliknya ternyata bahasa itu menjadi ada karena diciptakan oleh suatu etnis. Misalnya bahasa Indonesia itu menjadi ada karena diciptakan oleh masyarakat Indonesia, walau fondasinya adalah bahasa Melayu akan tetapi dua bahasa itu kemudian memiliki perbedaan-perbedaan. Fenomena inilah yang biasa disebut sebagai bahasa dan dinamika masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa bahasa sebenarnya adalah dinamika masyarakat itu sendiri. Karena adanya suatu dinamika masyarakat di Indonesia, maka bahasa Indonesia yang digunakan pada masa perjuangan tahun 1945-1949 memiliki karakter heroik, sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru bahasa Indonesia karakternya sarat dengan eufemisme atau penghalusan kata untuk menyembunyikan makna yang sesungguhnya.
Lain lagi karakter bahasa Indonesia pada masa puncak reformasi tahun 1998 hingga 1999 yang syarat dengan hujatan, caci-maki, dan pembongkaran aib mantan penguasa. Fenomena kebahasaan pada tahun 1998-1999 itu bisa disaksikan pada berbagai liputan berita (bukan pembacaan siaran berita--pen) stasiun-stasiun televisi tentang peristiwa yang terjadi di lapangan. Begitu cepatnya berita-berita tentang kerusuhan sebagai ekses proses peralihan kekuasaan di Jakarta dan beberapa kota di Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.Pada sisi kecepatan penyampaian berita sehingga menyebar kepada masyarakat Indonesia, juga bisa dilihat bahwa siaran berita televisi bisa menjadi media pembangun integrasi sosial karena masyarakat luas tidak tersekat atau terpisahkan oleh ruang dan waktu. E. Kesimpulan Pada bagian ini dengan memperhatikan uraian di muka dapatlah ditarik sebuah benang merah yang berupa kesimpulan. Dengan mengambil kasus siaran berita yang menggunakan bahasa Indonesia baku pada stasiun televisi milik pemerintah yaitu TVRI maupun stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Metro TV dan lain-lain maka tulisan ini telah berusaha mengkaji fenomena bahasa dan dinamika masyarakat di Indonesia.
Bahasa Indonesia baku yang digunakan dalam siaran berita berbagai stasiun televisi tersebut telah menjadi salah satu media integrasi sosial bangsa Indonesia. Siaran berita dengan bahasa Indonesia baku ini merupakan aspek langue dari kajian tentang siaran televisi. Langue beroperasi pada wilayah sosial dan bukannya pada wilayah individual, sehingga langue bisa disebut sebagai fakta sosial. Bahasa dan dinamika masyarakat adalah fenomena yang bersifat natural, akan tetapi bisa juga berubah menjadi fenomena politis karena adanya campur tangan dari penguasa. Bahasa kemudian dijadikan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat dan lebih jauh lagi adalah untuk mengokohkan kekuasaan atau malah untuk mewujudkan integrasi sosial. Integrasi sosial bisa juga terjadi karena adanya identitas kebersamaan yang bisa menjadi pembeda dengan entitas sosial yang lain, yang kadang-kadang diikuti oleh kebanggaan terhadap entitas sendiri dan tidak jarang mengganggap remeh entitas sosial yang lain. Bahasa adalah salah satu simbol identitas kebersamaan yang bisa berfungsi untuk mewujudkan integrasi sosial.
Semiotika Alquran yang Membebaskan
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
***
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.
***
Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.
Berkenalan Dengan Post Strukturalisme
Pengantar singkat wacana post strukturalisme dalam kesusasteraan
Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure* bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Tokoh utama yang paling berpengaruh pada era kritik sastra post-strukturalis adalah seorang filsuf perancis Jacques Derrida. Selain itu, buah karya pemikiran psikoanalis Jacques Lacan dan ahli teori kebudayaan Michael Foucault juga berperan penting dalam kemunculan post strukturalisme tersebut.
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan.
Derrida menilai bahwa Saussure tak dapat membebaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak ia mengunggulkan bahasa di atas tulisan. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).
Derrida menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Perumusan dasar “differance” Derrida disusun dengan mempermainkan pada kata perancis ‘difference’, yang dapat berarti ‘pertentangan’ dan “penundaan”, merusak logonsentrisme dengan menyatakan bahwa makna tak pernah dapat mewakili seluruhnya karena makna tersebut selalu ditangguhkan. Praktik “dekonstruksi ”**-nya ini berdasar pada teks yang dia teliti yang berpengaruh besar pada kritik sastra, misalnya pada New Criticsm.
Essainya yang berjudul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences” , pertama kali disampaikan di John Hopkins University pada tahun 1966, sangat berpengaruh dalam teori kritik sastra.
Essay Roland Barthes, “The Death of the Author” pertama kali dipublikasikan pada tahun 1968, mengadopsi sebuah pandangan tekstual bahasa dan makna secara radikal dan dengan jelas menunjukkan perannya dalam post strukturalis.
Pemikiran post strukturalis juga berkembang di di Amerika pada tahun 1970-an, khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstrusionis Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
De Man berpendapat bahwa ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Hal ini menciptakan sebuah signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.Edward W Said menerima pandangan post strukturalis tapi menolak pada apa yang dia lihatnya sebagai pendekatan tekstual sempit ala Derrida. Dia berpendapaat bahwa karya Foucault memungkinkan kritik sastra melampaui dimensi sosial dan politis teks.
Catatan:
* Ferdinand de Saussure, 1857-1913, dari sinilah kemudian berkembang “gerakan” strukturalisme Prancis. Sebagaimana filsuf Prancis sezamannya, filsafat Derrida tak lepas dari linguistik, terutama linguistik modern yang diperkenalkan Ferdinand de Saussure.
** Konsep dekonstruksinya (Derrida sendiri menolak merumuskan dekonstruksi sebagai konsep, teori, atau semacamnya) telah mewarnai wacana pemikiran di berbagai bidang, dari sastra hingga tata busana, dari senirupa hingga arsitektur. Dekonstruksi selalu menyertai wacana pemikiran filsafat kontemporer seperti struturalisme, pascastrukturalisme, pasacamodernisme, pascakolonialisme, teori kritis, dan kritik baru (new criticism).
MAKNA LEKSIKAL DARI SUDUT PANDANG SINGKRONIK DAN DIAKRONIK
Dapat dibedakan tiga komponen dalam makna leksikal (Maslov, 1987): (a)hubungan dengan denotasi; (b) hubungan dengan kategori logik; (c) hubungandengan makna konseptual dan makna konotatif dengan perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Masalah penting semantik sinkronik merujuk kepada hubungan makna pusat dan makna pinggiran. Beberapa banyak ahli bahasa berbicara tentang makna bebas dan makna bersandar. Saya mengikut penggunan ini karena ia nampaknya mencerminkan hakikat sebenarnya. Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil
perkembangan yang panjang. Kajian perkembangan ini merupakan masalah utama semantik sejarah dan diakronik.Satu dari pada hukum umum yang terkenal dalam perkembangan semantik ialah perubahan dari pada konkrit kepada abstrak. Dalam tulisan ini beberapa contoh dari pada bahasa Bulgaria, Rusia, Iran, Greek, dan sebagainya.
Teori Ferdinand de Saussure penting secara asasi bagi perkembangaan semantik. Pertama karena adanya konsepsi beliau tentang tanda linguistik. Makna merupakan ramuan yang perlu bagi tanda linguistik, signifie lawan 'auditif atau akustik imej', yaitu Signifiant. Hari ini terdapat beberapa takrifan makna yang berlainan, tetapi Saussure tidak boleh diabaikan. Satu lagi sumbangan teori linguistic Saussure merujuk kepada pertimbangan bahasa dari sudut pandangan sinkronik dan diakronik. Kesahihan dikotomi ini diketahui untuk semua aras bahasa, termasuk aras semantik.
Masalah yang berikut, yang telah diselediki secara intensif oleh ahli bahasa ahli psikologi, ahli falsafah, dansebagainya, tergolong dalam aras sinkronik :
(1). Sifat makna sebagai fenomena linguistik dan hubungannya dengan konsep
sebagai kategori logikal;
(2). Hubungan makna leksikal lawan makna struktural (atau tatabahasa); makna leksikal dan rujukan dalam masalah kata nama, kata kerja, kata sifat, adverba, (yang dinamakan Offene klasse "kelas terbuka") dan dalam masalah makna struktural yang dikaitkan dengan kelas tertutup kategori tatabahasa dan hubungan (kasus, modus, aspek, bandingan, dan sebagainya);
(3). Hubungan semantik perkataan (yaitu; semantik leksikal Wortsemantik) dengan semantik kalimat;
(4). Kategori semantik dalam rangka kerja morfosintaksis.
(5). Masalah polisemi dan perkataan.
Topik tulisan ini terbatas pada makna leksikal. Antara takrif berlainan idea ini, saya mengikut takrif yaug diberikan oleh ahli bahasa Soviet, Maslov (1987:90): "Rujukan terhadap satu kandugan tertentu, yaug spesifik bagi satu perkataan hanya sebagai perbedaan dengan semua perkataan lain, dinamakan makna leksikal". Seperti yang kita ketahui, makna leksikal biasanya sarna dalam semua bentuk tatabahasa (dalam semua aloleks) perkataan termasuk bentuk analitis atau deskriptif, yaitu ia tergolong dalam leksem.
2003 Digital by USU digital library 2
Menurut Maslov (1987:91) kita dapat membedakan tiga komponen dalam
makna leksikal :
(1). Hubungan dengan denotasi. Inilah yang dinamakan rujukan objek perkataan (bahasa Rusia : predmetnaja otuesennost' slova);
(2). Hubungan dengan kategori logik, terutama dengan konsep, yaitu rujukan konsep (bahasa Rusia : ponjatijnaja otnesennost');
(3). Hubungan dengan makna konseptual dan makna konotatif perkataan lain dalam rangka kerja sistem leksikal yang sepadan. Aspek makna ini kadangkala dinamakan valeur dalam bahasa Prancis (bahasa Rusia : znacimost').
Suatu masalah penting semantik sinkronik memperkatakan hubungan makna pokok (asas) (Hauptbedutung) dan makna skunder tambahan yang sisian (pinggiran) (bahasa Rusia : vtorostepennoje, dopolnitel'noje znacenie). Hjelmslev (1961 : 28) mendakwa bahwa tidak ada tanda yang mempunyai makna "dalam pengasingan mutlak". Menurut beliau makna berasal pertamanya dalam konteks situasi atau konteks eksplisit. Pandangan yang bertentangan dipegang oleh kebanyakan ahli bahasa, yaitu bahwa perkataan mempunyai makna teras atau makna asas dalam sistem bahasa bebas dari pada konteks (bahasa Jerman: kontextunabhängig). Lihat Kurylowicz (1955), Pike (1960), Harmann (1965), Ullman (1967), Brekle (1972), dan sebagainya Maslov (1987 : 102-103) berbicara tentang makna bebas perkataan dan makna bersandar masing-masing, dengan makna yang kemudian terjadi dalam teks. Saya bersetuju dengan analisis ini yang nampaknya mencerminkan hakikat yang sebenarnya. Sebagai contoh, jika kita mendengar perkataan Inggeris apple, street, go, window di luar teks, kita dapat menentukan makna leksikal masing-masing kata tanpa ragu-ragu, yang berupa makna asas (pokok). Yang sama juga benar bagi perkataan Rusia yang sepadan jabloko "apple", ulica "street", itti" go", okno "window". Bagaimanapun ada masalah apabila makna asa perkataan Inggeris tidak dapat dipahami tanpa konteks, sebagai contoh, green (adj. atau Subst) ketimbang perkataan Rusia zel'onyj "green", yang berautonomi dari segi semantik.
Struktur semantik perkataan, yang kita boleh katakan sebagai semen, mewakili kuantiti makna (alosem), makna asas dan makna sebilangan makna terbitan. Semen sepadan dengan leksem sebagai mikrokosme pada paksi paradigma. Dalam parole, semen direalisasikan bersama-sama alosem. Huraian semen tergolong dalam semantik sinkronik. Satu kaedah huraian adalah analisis komponen, yang didasarkan pada prinsip logik. Kaedah huraian semen belum lagi digunakan dalam kamus.
Struktur semantik setiap perkataan polisemantik merupakan hasil perkembangan yang panjang, melewati beberapa abad. Kajian perkembangan ini merupakan tugas utama semantik sejarah, atau kajian perubahan makna mengikut masa. Dalam peristilahan Saussure ini dinamakan semantik diakronik. Sebenarnya semantik diakronik berkaitan dengan perkembangan semen perkataan individu. Semantik sejarah berkaitan dengan perkembangan subsistem semantik. Adalah menakjubkan bahwa istilah semantik pertama kali digunakan untuk merujuk kepada perkembangan dan perubahan makna. Disini saya ingin memperlihatkan masalah penting semantik sejarah sehubungan dengan linguisti umum: adakah terdapat hukum-hukum umum dalam perkembangan semantik atau tidak? Ia merupakan perkara remeh untuk menyebutkan perubahan makna dari pada konkrit kepada abstrak. Sebagai contoh bahasa Bulgaria griza "care", dari pada griz'a "nibble"; bahasa Iran Kuno suxra "red" memberikan akar suk- "fire'; to burn (Abaev, 1956: 292); Bulgaria Kuno goresti "bitterness", bahasa Bulgaria gorest "sorrow" kepada akar gor- dalam bahasa Bulgaria Kuno ,goresti to burn", dan akar yang sama dalam bahasa Bulgaria gorak "bitter", bahasa Rusia gor'kij, bahasa Serbo-Cr. gorak. Dalam bahasa Bulgaria gorak juga bermaksud "misereble, por, unfortunate", Osset. Arf
2003 Digital by USU digital library 3
"deep" kepada Iran Kuno *apra- dari pada ap- "water", dengan itu "depth" ("water depth"; bahasa Rusia krutoj "steep" kepada Lit. krantas "river bank" (Abaev, 1956 : 292). Contoh-contoh ini juga menunjukan kepada kekoherenan sempit antara semantik diakronik dengan etimologi. Salah satu tugas etimologi adalah untuk menemukan sufat yang bertindak sebagai kelahiran sesuatu perkataan, yaitu apa yang dinamakan makna etimologi (dalam peristilahan golongan Neogramarian dieinnere Form). Sebagai contoh, lit. karve "caw", Bulgaria Kuno krava Bulgaria krava, "caw", bahasa Poland Kuno karw (krwo-s) "old ox" mengandungi akar I.E. *ker- "upper part of the body; head; horn; summit". Antara makna terbina semula ini kita menemukan "horn" dan dari pada itu kita sampai kepada "caw", "old ox" atau "stag", hewan bertanduk (bahasa Jerman gehornte Tiere). Bandingkan bahasa Greek keras "horn" dan keraos "with horns".
Makna etimologi telah dibina semula berdasarkan perkataan teratur dalam teks lama bahasa-bahasa Indo-Eropah. Penyelidikan etimologi mesti dalam masalah ini menyingkirkan makna-makna yang mungkin sebagai perkembangan yang sudah lewat. Sebagai contoh, perkataan untuk kata "mother" dalam bahasa-bahasa Indo-Eropah : I.E. *mater, yang berasal dari pada perkataan raban (bahasa Jerman Lallwort) telah mengekalkan makna kata ini ke dalam Olnd. Matar-,Av,-matar -, Greek meter, Dor. mater, Phryg. matar, materan, Lat. Mater (-tris), Bulgaria Tua mati (-ere), OHG muoter, Lett mate, Iran Kuno mathir, Arm. mair; tetapi dalam bahasa Albania, perkataan ti sepadan motre yang bermakna "sister" Coba lihat (Pokorny, 1959 : 700) "die ltere, Mutterstelle vertretende Schwester", dan dalam Lit. mote (Gen. moters) yang mempunyai makna dalam bahasa Ingerisnya adalah "women, and wife" dan juga di dalam bahasa Latinnya yang bermakna dari pada perkataan mater, kata tersebut telah di telusuri mempunyai dua makna yang baru ; yakni "amme" yang di dalam bahasa Inggerisnya mempunyai makna adalah "wet nurse" dan juga mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris dengan sebuah perkataan yakni "source". Jadi keselarian (kesesuaian) semantik sangatlah penting sekali dalam setiap kajian etimologi. Sebagai contoh, di dalam bahasa Inggeris perkataan dari pada "town" setelah diselidiki bahwa kata tersebut mempunyai kaitan dengan bahasa Jerman, yaitu kata tersebut sepadan dengan perkataan yang terdapat di Jerman "zaun", sedangkan makna yang sepadan dengan perkataan di Inggeris adalah sebuah perkataan "fence" dan kata kerjanya setelah diselidiki adalah "zaunen" di dalam bahasa Jerman, juga telah diselidiki di dalam bahasa Inggerisnya perkataan tersebut ketika menjadi sebuah kata kerja menjadi sebuah perkataan "to fence". Sebenarnya ini adalah yang merupakan sebuah makna etimologi atau (die innere Form) yang mana telah penulis jelaskan di atas tadinya. Sebagai suatu tafsiran yang disebut di dalam bahasa Inggris sebuah perkataan dari pada kata "town" setelah diselediki telah mempunyai padanan dan kesamaan semantik yang sangat baik sekali di dalam bahasa Slavik: adalah salah satu dari pada bahasa Bulgaria Kuno dengan perkataannya adalah gradu, yang mempunyai makna yang sepadan di dalam bahasa Inggeris yakni dari sebuah perkataan yang mempunyai makna yang sama ialah kata "town", sedangkan di dalam bahasa Bulgaria perkataan tersebut sudah dikenal dengan kata grad, dan di dalam bahasa Rusia dikenal dengan perkataan tersebut gorod, yang berarti mempunyai makna di dalam bahasa Inggrisnya adalah juga "town", sedangkan sebagaimana yang tergolong didalam bahasa Bulgaria Konu ograditi adalah masuk ke dalam golongan kata kerja, yang di dalam bahasa Inggrisnya mempunyai makna menjadi "to fence". Ini semua adalah sejarah etimologi dari sebuah perkataan yang ada di daerah Indo-Eropah, dari pada hasil penyelidikan para ahli bahasa khususnya dibidang etimologi pada waktu itu berdasarkan leteratur yang saya ketemukan bahwa penyebab itu semua karena pada Zaman Pertenghan yang mana kota-kota sedang dipagari. Sehingga penyelidikan
2003 Digital by USU digital library 4
mengenai perjalan sejarah etimilogi didaratan Indo-Eropah sangat terhambat untuk dilaksanakan.Kajian tentang makna leksikal adalah salah satu jenis-jenis kajian makna yang ada dasarnya mempunyai andil yang sangat penting. Sebab makna leksikal juga menjadi dasar dari pada perubahan makna yaitu kajian sejarah etimologi bagii setiap perkembangan setiap bahasa yang terdapat di dunia ini. Di dalam kajian makna kita tidak luput dari pada sub bagian yang terpenting sekali, yakni tentang perubahan makna suatu perkataan dalam satu bahasa yang ada. Kita juga dapat melihat perubahan makna tersebut dari apa yang telah dinamakan etimologi rakyat, sebagaimana tanggapan kita tentang etimologi rakyat itu sekarang ini diartikan dengan 'pentafsiran semula'. Di dalam tulisan ini menulis akan memberikan satu contoh perkataan yang berasal dari pada bahasa Latin.
Perkataan yang berasal dari bahasa Latin tersebut para ahli bahasa dan sejarah etimologi adalah sebuah perkataan yang selalu dipergunakan oleh masyarakat setempat, dan telah diselidiki ternyata kata periculum mempunyai persamaan maknanya di dalam bahasa Inggris yakni ; "danger", sedangkan di dalam bahasa Inggris sendiri perkataan tersebut telah mempunyai padanan maknanya yangasalnya bermaksud dengan perkataan "ettempt, trial, venture, experience" dan '" kata-kata tersebut adalah berasal dari pada kata experiri yang mempunyai makna sesungguhnya adalah "to attempt, to try", juga berasal dari kata peritus yang mempunyai makna "competent". Kemudian, perkataan ini dihubungkan sebagai akibat tafsiran kepada perkataan bahasa Latin perire menjadi "perish" dan memperoleh makna baru "danger, a risky business or enterprise". (pisani, 1967: 150-151; terjemahan saya: I.D.).
KESIMPULAN
Kajian makna leksikal dari sudut pandangan singkronik dan diakronik merupakan suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti dalam rangka untuk sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu linguistik dibidang semantik, karena makna leksikal adalah sebagai salah satu asas yang terpenting untuk kajian perubahan makna yang lagi hangat-hangatnya dibidang linguistic (semantik) untuk pengembangan ilmu makna.
semiotik
Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut.
Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia).
Awal mulanya konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang dtandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. Louis Hjelmslev, seorang penganut Saussurean berpandangan bahwa sebuah tanda tidak hanya mengandung hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya. Bagi Hjelmslev, sebuah tanda lebih merupakan self-reflective dalam artian bahwa sebuah penanda dan sebuah petanda masing-masing harus secara berturut-turut menjadi kemampuan dari ekspresi dan persepsi. Louis Hjelmslev dikenal dengan teori metasemiotik (scientific semiotics). Sama halnya dengan Hjelmslev, Roland Barthes pun merupakan pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktivan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Read More..
Langganan:
Postingan (Atom)